Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Minggu, 02 Mei 2021

Penderitaan dan Ketaatan Manusia

 Covid-19 menciptakan ketakutan global, kecemasan, dan penderitaan bagi seluruh umat manusia saat ini. Pandemi global ini telah menjadi monster pembunuh yang merenggut nyawa banyak orang. Di tengah situasi tragis ini, manusia mengajukan pertanyaan dan keraguan tentang kemahakuasaan dan kebaikan Tuhan. Sederhananya, virus korona adalah sesuatu yang berada di atas manusia. Faktanya jelas, hingga saat ini ia masih menjadi bumerang bagi manusia. Corona yang begitu ganas membuat banyak sekali persepsi yang bertebaran di masyarakat. Beberapa memproyeksikan korona dengan "dewa" postmodern. Bahkan ada yang mengatakan bahwa korona adalah akibat langsung dari dosa manusia. Atau bentuk hukuman dari Tuhan untuk manusia. Apakah korona dan Tuhan disamakan atau dibedakan?

Pertanyaan lainnya yang mendesak untuk dijawab adalah bagaimana mungkin Tuhan membiarkan pandemi covid itu terjadi? Jika Tuhan itu maha baik, mengapa Dia masih diam dan apatis di depan penderitaan umat manusia? Di manakah Tuhan saat jutaan orang meninggal karena virus corona? Jika Tuhan Mahakuasa, mengapa Dia tidak dapat menyelamatkan umat manusia dari pandemi global ini? Jurgen Moltmann dalam Teologi Harapan, menekankan bahwa janji Tuhan untuk melakukan sesuatu untuk masa depan lebih penting daripada apa yang telah dia lakukan di masa lalu. Penderitaan saat ini hanya bisa dipahami dan diubah dengan harapan untuk masa depan. Hanya dalam perspektif harapan eskatologis kita dapat menemukan makna dan nilai di balik realitas penderitaan saat ini.

Dalam literatur hikmat alkitab, ada satu hal mendasar yang menyatakan bahwa takut akan Tuhan, yaitu hikmat; dan menjauhi kejahatan adalah pengertian. Seseorang yang mengikuti dan mempraktikkan instruksi ini akan diberkati oleh Tuhan. Pandangan ini mengasumsikan hubungan antara hukum ilahi dan penderitaan. Namun, penderitaan Ayub dalam Kitab Ayub adalah semacam kontra-argumen terhadap pandangan dunia yang dominan ini, bahwa penderitaan adalah penghakiman ilahi atas perilaku manusia yang berdosa. Berdasarkan pemahaman ini, penderitaan Ayub adalah kisah pemurnian dan tangga jiwa manusia. Siklus pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya menunjukkan kepada kita bahwa penderitaan selalu berlebihan di mata pikiran, penderitaan selalu melebihi kemampuan manusia untuk memahaminya secara utuh melalui kategori-kategori konseptual kita. Jika kita menerima penderitaan dengan watak batin yang sesuai, itu mampu mengangkat jiwa manusia melampaui realitas duniawi ini.

Refleksi tentang penderitaan manusia membawa kita pada pertanyaan tentang posisi manusia dalam sejarah dan realitas. Dalam pemikirannya tentang humanisme teoretis, Louis Althusser berupaya untuk menghindari kesalahpahaman bahwa dia menentang humanisme, menekankan martabat manusia dan hak asasi manusia. Ia menolak pendirian yang menjadikan manusia sebagai pusat sejarah dan pusat realitas. Bagi Althusser, pendirian ini adalah humanisme bagi teori Marx dan Lenin, tentang sejarah.

Refleksi ini berlanjut ketika kita melihat hubungan manusia dengan alam. Manusia sangat menyadari bahwa masalah utama kehidupan manusia saat ini bukanlah masalah kehabisan atau membatasi sumber daya alam, melainkan masalah kerusakan alam yang semakin parah. Semakin diakui bahwa menipisnya sumber daya alam masih dapat diimbangi dengan penemuan teknologi baru. Oleh karena itu, masalah keterbatasan atau menipisnya sumber daya alam karena dikelola oleh manusia bukanlah masalah hidup atau mati. Adapun soal hidup atau mati bagi kita saat ini adalah krisis lingkungan. Jadi masalah yang lebih mendesak adalah kerusakan lingkungan yang sudah memprihatinkan, khususnya lingkungan di perkotaan. Yang mutlak harus dibatasi adalah meningkatnya tekanan pada sistem ekologi akibat pengaruh negatif dari aktivitas manusia. Kapasitas alam untuk menampung tekanan pencemaran udara dan pencemaran air, degradasi lahan di kota tidak bisa diimbangi dengan teknologi baru.

Upaya manusia untuk menjalin relasi yang harmonis dengan lingkungan, antara lain bisa bersumber dari contoh ketaatan Yesus sendiri kepada Allah Bapa. Praktik ketaatan para Abdi Dalem direfleksikan agar menjadi titik balik untuk memahami ketaatan Yesus Kristus kepada Tuhan. Ketaatan didasarkan pada kebebasan manusia, seperti Kristus yang mengosongkan dirinya untuk menaati Bapa. Jadi praktik ketaatan mengandung unsur-unsur kenosis dalam praktik kekosongan diri, pengendalian diri, dan kerendahan hati. Praktik ketaatan juga didasarkan pada kebebasan manusia yang diarahkan pada kemakmuran dan keselamatan. Kepatuhan akan mendatangkan “berkat” baginya, keluarganya, dan masyarakat di mana dia berada. Ketaatan yang sempurna membutuhkan dasar: iman kepada Kristus yang telah menyatakan dirinya, menderita, mati, dan kemudian bangkit untuk membawa penebusan bagi umat manusia.

Untuk menghayati ketaatan kita belajar dari ketaatan Santo Yosef. Ada kemungkinan dikembangkan suatu teologi dari ketaatan Santo Yosef. Sebagai disiplin ilmu, teologi santo Yosef, atau Yosefologi, menggambarkan ketaatan pada iman dan kesalehan perilaku santo Yosef yang dilakukan Tuhan dalam pekerjaan keselamatan. Cara menekuni teologi Santo Yusuf atau Yosefologi, tidak hanya dengan membaca buku-buku pengetahuan tentang keunggulan dan keunikan bapa umat beriman ini, tetapi juga dengan tekun dalam doa renungan bersamanya.

Secara khusus bagi umat Katolik Indonesia yang merupakan kelompok minoritas, gagasan "Menjadi Umat Katolik Indonesia" perlu terus digali. Sebagai Gereja minoritas sering dihadapkan pada situasi sulit dan menimbulkan ketakutan umat untuk terlibat aktif dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Menjadi Katolik Indonesia berarti Gereja terlibat aktif dalam menghidupkan kembali fondasi bangsa Indonesia, Pancasila dalam hidup dengan cahaya iman Kristen. Umat Katolik dipanggil untuk tidak takut menyuarakan kebenaran di masyarakat, karena umat Katolik dipanggil untuk menjadi garam dan terang dalam komunitas di mana pun mereka diutus. Umat Katolik selalu mengembangkan sikap dialog yang proaktif di tengah kemajemukan.

Pada akhirnya, pemahaman tentang mistisisme membawa kita melintasi batas dan rintangan dogmatis untuk melihat bagaimana kekayaan kualitas ditampilkan dalam keheningan dan kesunyian. Upaya untuk menghubungkan Tuhan dengan hati yang merenung melalui pertapaan, meditasi dan penyiksaan diri adalah upaya untuk menengahi diri sendiri dengan Hal Ilahi. Harta ilahi dari kekayaan spiritualitas ini, membuka diskusi untuk menyembuhkan luka rasionalisasi Tuhan dengan mengerdilkan Yang Tak Terbatas menjadi pikiran yang terbatas. Seolah-olah rasionalisasi Tuhan adalah bentuk penangkapan yang sempurna yang tidak tertantang oleh pemahaman itu sendiri. Sekarang kita dibawa untuk melihat eklektisisme dan tuntutan keragaman perspektif ketuhanan untuk menemukan pemahaman bersama dalam memperlakukan Tuhan, alam semesta dan lain-lain. Tuhan dalam penangkapan mistisisme, monisme diimplementasikan dalam berbagai bentuk, dan itu tercermin dalam pemahaman tentang karma. Karma adalah keseimbangan dogmatis yang sering diartikan secara serampangan untuk menghancurkan alam atas nama keinginan akan uang dan menghilangkan orang lain atas nama pandangan tertentu. Dari sini kita belajar untuk mengatur alam dan menghormati orang lain karena bagi mistisisme perang sejati adalah perang melawan diri sendiri, bukan orang lain dengan alasan apapun.


Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget