Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Sabtu, 19 Maret 2011

KETAATAN DALAM HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN LITURGI

Mendengar kata “taat” atau “ketaatan” dalam hubungan dengan hal-hal liturgis bisa muncul macam-macam reaksi, entah biasa-biasa dan indiferen, atau menolak keras dalam arti sama sekali tidak mau taat, atau menerima dengan catatan kritis tetapi rela melaksanakan apa yang seharusnya, atau menerima lalu melaksanakannya secara buta dan kaku. Mungkin baik kalau kita memahami secara singkat dan menyeluruh apa yang harus ditaati, kepada siapa kita taat, latarbelakang historis singkat mengenai ketaaatan dan gejala-gejala ketidaktaatan serta tujuan atau maksud ketaatan dalam hal-hal liturgis.

APA YANG HARUS DITAATI?
Bila kita tidak mengetahui dengan jelas apa yang seharusnya ditaati maka ada kemungkinan kita akan bersikap “membeo” atau bagai “kerbau dicocok hidung”, sebaliknya bisa saja kita kurang atau sama sekali tidak menghargai ketaatan itu. Maka perlu kita menyadari apa sebetulnya yang kita taati dalam hal-hal yang berhubungan dengan perayaan liturgis. Hal paling utama yang harus ditaati adalah inti misteri iman yang dirayakan dalam liturgi. Ini yang harus ditaati sebagai isi dari setiap perayaan liturgi. Yang dirayakan adalah karya-karya agung Allah yang menyelamatkan yang mencapai puncaknya dalam karya-agung Yesus Kristus atau Misteri Paskah Yesus Kristus. “Karya penebusan manusia dan pemuliaan sempurna Allah ini, telah dimulai dengan karya agung ilahi dalam Perjanjian Lama. Karya ini diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri paskah” (SC, no. 5).

Kehendak Tuhan, Sabda dan hukum-hukum-Nya. Hal ini terungkap dalam Kitab Suci maka kita perlu mencari dan menemukan lalu mentaati kehendak Tuhan yang diwahyukan kepada kita lewat Kitab Suci khususnya mengenai ibadat atau liturgi dan berusaha melaksanakannya dengan setia. Hal ini ditegaskan dalam Liturgicae Instaurationes (Instruksi Pelaksana 3, no. 1 sbb: “Kedayagunaan perayaan liturgis tidak terletak dalam sering mengadakan eksperimen dan mengubah upacara baru atau mencari bentuk yang lebih sederhana, tetapi dalam pemahaman yang semakin mendalam tentang sabda Allah dan misteri yang dirayakan; kehadiran sabda dan misteri ini diteguhkan justru dengan mematuhi upacara-upacara Gereja, bukannya oleh upacara-upacara yang ditentukan oleh seorang imam atas dasar minat pribadi” (SBL 2A no. 183, hal 76-77). Upacara-upacara Gereja harus mematuhi apa yang dikehendaki Kristus. “Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa atas hal-hal yang ditetapkan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak berubah dalam Liturgi” (Redemptionis Sacramentum no. 10)

Ajaran Gereja dalam kaitan dengan liturgi (bdk, RS no. 2). Hal-hal ini hampir selalu ditegaskan dalam Peraturan atau Hukum Gereja dan dalam pedoman-pedoman umum atau pedoman khusus yang ditulis sebagai pengantar perayaan-perayaan liturgis dan biasanya ditemukan di bagian awal buku-buku liturgi acuan. “Maklumlah Liturgi Suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks-teks dan tata cara yang tidak disahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara lex orandi dan lex credendi” (RS no. 10). Umumnya ajaran Gereja dan peraturan atau hukumnya disusun berdasarkan Kitab Suci (bdk RS no. 9).

Dokumen Gereja yang secara khusus merumuskan ajaran tentang liturgi adalah Konstitusi Liturgi (SC) dan Instruksi Pelaksanaan isi tertentu dari Konstitusi mengenai liturgi seperti instruksi terakhir mengenai liturgi Ekaristi (Redemptionis Sacramentum) yang dikeluarkan oleh Takhta Apostolik 25 Maret 2004. Secara lebih rinci dan praktis ajaran itu dijabarkan dalam Pedoman-pedoman umum (Praenotanda) dan pedoman khusus serta rubrik yang terdapat didalam buku-buku liturgi acuan (bdk. RS, no. 7).

Jadi yang harus ditaati adalah hal-hal yang benar dan tepat sebagai inti hakekat dari liturgi. Ada hal yang jelas diungkapkan sebagai suatu keharusan. Sifatnya normatif. Berarti harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Tetapi ada juga hal-hal yang dirumuskan sebagai alternatif. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk memilih cara atau bentuk yang lebih cocok. Maka perlu diketahui hal yang benar dan tepat (sama dan tak berubah) yang mau diungkapkan oleh variasi bentuk itu. Dengan demikian ada ketaatan kepada isi/makna dan hakekat liturgi, dan bukan terutama kepada bentuk lahiriah. Ketaatan terhadap bentuk kurang/tidak berarti kalau tidak dibarengi dengan ketaatan kepada isi. Maka sikap taat secara lahiriah harus selaras dengan sikap taat secara batiniah. “Upacara-upacara liturgis, hendaknya dirayakan sesempurna mungkin; untuk itu ... rubrik hendaknya ditaati dengan teliti, dan upacara diselenggarakan dengan khidmat, di bawah pengawasan yang cermat dari para pembesar gerejawi; semua perayaan itu harus dilatih lebih dulu” (Inter Oecumenici [Instruksi Pelaksana I], no. 13.

TAAT KEPADA SIAPA?
Dalam hubungan dengan hal-hal liturgis kita harus taat pertama-tama kepada Tuhan: taat pada rencana dan kehendak Tuhan, pada ajaran Yesus Kristus, pada dorongan Roh Kudus.

Kepada Pimpinan Gereja: taat pada keputusan-keputusan Takhta Apostolik (Paus, Kongregasi Ibadat dan Disiplin Sakramen [plenaria]), Uskup setempat ([Konferensi Wali Gereja Setempat] bdk SC, no. 22, 26, 39-42).

Kepada Umat. Taat melayani umat yang punya hak untuk mengambil bagian dalam liturgi yang tepat dan benar (bdk RS 12). Ketaatan ini dituntut dari semua petugas atau penanggungjawab dalam merencanakan dan melaksanakan liturgi. Khusus kepada seorang imam dituntut ketaatan ini. “Hendaknya disadari bahwa seorang imam yang melancarkan pemugaran pribadi atas upacara-upacara suci merongrong martabat kaum beriman; pun pula ia membuka jalan untuk bentuk-bentuk individual menurut selera pribadi dalam merayakan upacara-upacara kudus yang jelas merupakan wewenang seluruh Gereja. Sebab tugas pelayanan yang disandang oleh setiap imam adalah melayani seluruh Gereja, dan itu hanya dapat diamalkan dalam ketaatan, dalam persekutuan dengan hirarki, dan dalam pelayanan kepada Allah serta serta sesama saudara. Ciri hirarkis dan daya sakramental liturgi serta ketundukan yang harus diberikan kepada jemaat kaum beriman menuntut agar setiap imam menunaikan tugas liturgisnya sebagai seorang ‘hamba setia yang kepadanya dipercayakan rahasia-rahasia Allah’; hendaknya ia tidak menambahkan upacara apa pun yang tidak ditentukan atau disetujui oleh buku-buku liturgi” (Liturgicae Instaurationes, Instruksi Pelaksana 3, no. 1).

Jadi ketaatan kepada Tuhan dan pimpinan Gereja tidak bertentangan dengan ketaatan kepada umat beriman. Karena “menjadi hak sekalian orang beriman bahwa Liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya. Demikian pula, umat Katolik berhak untuk Kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan ajaran Gereja. Dan akhirnya, adalah hak komunitas Katolik bahwa Ekaristi yang Mahakudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, seraya menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja” (RS no. 12). Ini tidak berarti semua yang diinginkan oleh umat harus diikuti atau ditaati oleh pemimpin perayaan. Ada keinginan umat yang bertentangan dengan pedoman-instruksi yang ada. Jelas tidak perlu mengikuti keinginan-keinginan seperti ini. Jadi ketaatan itu sebenarnya dituntut dari semua, bari dari para pemimpin dan penanggungjawab dalam hal-hal liturgis maupun dari umat beriman.

SEKILAS PENGALAMAN HISTORIS
Yesus Kristus taat pada peraturan-peraturan ibadat Yahudi tetapi sekaligus menyempurnakannya atau memberi arti baru berdasarkan kesadaran akan diri-Nya sebagai Putera Allah yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Ibadat-Nya (doa, hidup dan karya-Nya) adalah ibadat sejati karena dijalankan sesuai dengan rencana dan kehendak Bapa. Bagi Yesus melaksanakan rencana dan kehendak Allah untuk mengasihi atau hukum kasih mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan ketaatan lahairiah pada sebuah peraturan ibadat yang bisa menghalangi orang untuk berbuat baik sebagai wujud dari kasih itu. Tidak heran kalau Yesus berani mengubah sejumlah peraturan Perjanjian Lama dan menggantinya dengan hukum baru seraya menegaskan bahwa aturan ibadat pada hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hari Sabat. Para pengikut Yesus meneruskan semangat ibadat sejati ini “dalam roh dan kebenaran”. Ketaatan kepada Roh (bimbingan Roh Kudus) dan Kebenaran (Yesus dan ajaran serta contoh hidup-Nya) merupakan jaminan bagi umat Gereja purba dalam menjalankan ibadatnya yang sejati. Ketaatan itu dituntut oleh pimpinan umat (uskup, paus, patriark) terutama pada masa merebaknya kebebasan yang berlebihan dalam menafsirkan ajaran Yesus Kristus dengan akibat munculnya kesesatan-kesesatan.

Dalam sejarah hidup Gereja ada masa (khususnya pada abad-abad pertengahan) di mana ketidaktaatan dalam hal-hal liturgis menjadi sebab perpisahan, perpecahan, meskipun ketidaktaatan itu menyangkut hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ada masa rubrikisme yang kaku di mana ketaatan dituntut sampai pada hal-hal yang amat kecil. Hal ini mengakibatkan sikap rigoristis dan skrupel dalam menjalankan semua peraturan.

Sejak Konsili Vatikan II, sikap taat yang skrupel ini hendak dihindarkan dan diganti dengan ketaatan dalam kebebasan dan tanggungjawab. Taat bukan karena terpaksa tetapi dengan penuh kesadaran karena tahu dan yakin mengapa demikian. Dalam hal ini dibutuhkan keserasian di antara pemikiran dan kata-kata, di antara sikap lahir dan sikap batin (RS, no. 5). Jadi bukan ketaatan buta.

Namun ketika jendela rumah pembaruan dibuka lebar oleh Konsili Vatikan II, ternyata bukan hanya angin segar-sejuk yang masuk tetapi juga angin ribut dan kencang yang pada saat tertentu memporak-porandakan isi rumah. Ada yang tidak setuju dengan aneka pembaruan dan berusaha mempertahankan tradisi liturgi pra Vatikan II tanpa mengubah sedikitpun (Uskup Lefebre dkk). Ketidaktaatan mereka pada semangat pembaruan Konsili Vatikan II memisahkan mereka dari Gereja Katolik. Tetapi ada juga yang amat progresif dan mulai membuat macam-macam eksperimen sesuka hati tanpa menghiraukan pedoman-pedoman pembaruan/penyesuaian yang telah dikeluarkan oleh Pimpinan Gereja. Ketidaktaatan ini membingungkan banyak umat (terutama yang sederhana dan setia) hingga kehilangan arah yang benar.

GEJALA-GEJALA KETIDAKTAATAN
Ada ketidaktaatan yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yaitu yang melawan atau bertentangan dengan inti hakekat liturgi dan bertentangan dengan tradisi serta melawan wewenang pimpinan Gereja (RS, no. 4).

Ada pelanggaran yang mengaburkan iman yang benar dan doktrin Katolik mengenai Sakramen yang agung. Ada yang tidak memupuk rasa hormat yang mendalam terhadap keagungan Tuhan (RS, no. 6). Perayaan-perayaan liturgis lalu menjadi kegiatan yang kurang lebih sama dengan kegiatan profan: pertunjukan, sandiwara, resepsi, rekreasi (bdk RS, no. 78).

Ada pelanggaran yang disebabkan oleh tafsiran berlebihan tentang kebebasan. Kebebasan dimengerti sebagai keinginan untuk melaksanakan apa saja yang dikehendaki. Padahal kebebasan yang dimaksudkan adalah kerelaan untuk melakukan apa yang pantas dan layak (RS no. 7).

Ada praktek Ekaristi ekumenis yang sebenarnya berlawanan dengan pandangan Gereja Katolik tentang Ekaristi (RS no. 8).

Juga ada pelanggaran melawan sifat sakral dan dimensi universal dari Ekaristi (RS, no. 11).

Selain itu ketidaktaatan itu dapat terjadi karena “ketidaktahuan”. Tidak tahu arti dari kegiatan liturgis dan tidak tahu latar belakang historis (RS no. 9).
Jadi ketidaktaatan atau pelanggaran ini bisa terjadi tanpa sadar (lalai, lupa, tidak tahu), tetapi bisa juga terjadi dengan penuh kesadaran (tahu baik yang seharusnya dan dengan sengaja melanggarnya). Ada pelanggaran yang disebut graviora delicta (kejahatan besar), ada yang disebut pelanggaran berat dan ada yang disebut pelanggaran/penyelewengan biasa (bdk RS, no. 172-175).

Berhadapan dengan gejala-gejala ketidaktaatan atau pelanggaran ini kita diajak untuk belajar menjadi taat dalam menjalankan pedoman-pedoman atau instruksi yang ada. Pedoman-pedoman atau instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja sesudah Konsili Vatikan II sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia, bukan terutama untuk membatasi kegiatan umat beriman dengan rubrik-rubrik. Maka baiklah kita melihat lebih jauh apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari ketaatan orang beriman dalam hal-hal liturgis menurut pedoman atau instruksi yang telah digariskan tentang hal itu.

TUJUAN DARI KETAATAN
Tujuan dari ketaatan itu adalah bukan demi ketaatan itu sendiri, tetapi agar keutuhan misteri yang kudus dapat dialami dan dengan itu seluruh umat dapat mengambil bagian secara aktip dan penuh dalam misteri keselamatan itu. “Oleh karena itu para gembala rohani hendaknya memperhatikan dengan saksama, agar dalam perayaan liturgi tidak hanya hukum-hukumnya ditaati demi sah dan halalnya perayaan, tetapi agar umat berpartisipasi secara sadar, nyata dan penuh makna” (SC, no. 11; SBL 2A, no. 11). Dengan kata lain bila kaidah-kaidah umum yang berlaku dalam liturgi ditaati dengan setia diharapkan “iman para peserta dipupuk dan hati mereka diangkat kepada Allah untuk memberikan penghormatan yang wajar serta menerima rahmat dengan lebih limpah” (SC no. 33).

Ketaatan itu menolong menciptakan kesatuan hati dan budi (bukan terutama kesatuan bentuk lahiriah) sebagai satu kesaksian yang meyakinkan tentang persatuan-persaudaraan dalam Tuhan, dalam roh dan kebenaran (bdk RS, no. 11). Dengan demikian diharapkan bahwa aspek universal dari ibadat dapat dihayati. Maka ketaatan itu membantu umat beriman untuk mengalami unitas yang sejati bukan terutama uniformitas.
Dengan ketaatan ini sifat sakral dari ibadat (Ekaristi) dapat dipelihara dan dialami. “Pemugaran upacara-upacara suci sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dinamakan ‘deskralisasi’, dan secara bagaimana pun juga tidak mau memberi angin kepada apa yang disebut ‘sekularisasi dunia’. Oleh karena itu ciri-ciri khas upacara-upacara liturgis, yakni luhur, khidmat dan kudus harus tetap dipertahankan” (Liturgicae Instaurationes [Instruksi Pelaksana 3, no. 1).

Ketaatan itu juga akan menjamin keutuhan iman yang dirayakan dan dihayati dalam liturgi sesuai dengan adagium lex orandi, lex credendi (bdk RS, no. 10), yang pada waktunya akan menolong umat beriman untuk taat setia (pada Tuhan dan kehendak serta ajaran-Nya) dalam hidup dan karyanya (lex vivendi).

KESIMPULAN
Ketaatan yang dituntut sebenarnya mempunyai tujuan luhur dan bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan umat beriman dalam melaksanakan kegiatan liturgis. Maka perlu mempelajari pedoman-pedoman dan peraturan yang ada dan memahami makna/maksud yang ada di baliknya, serta latarbelakang penyusunan pedoman atau instruksi yang ada (latar belakang biblis, teologis, liturgis, pastoral). Juga perlu menghindarkan sikap rubrikisme, rigoristis, skrupel dan sekaligus mengembangkan sikap taat dalam kebebasan dan tanggungjawab. Dengan semangat ini kiranya kita membaca dan memahami serta melaksanakan instruksi Redemptionis Sacramentum.

Jakarta, Juni 2004.
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD

Rabu, 02 Maret 2011

Hal-hal pokok dan tidak pokok dalam Perayaan Ekaristi

Sebuah Ceramah oleh Bernardus Boli Ujan, SVD

Presidium KWI dalam rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai berikut: “Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan yang amat besar”.

Mewujudkan semangat pembaharuan Konsili Vatikan II
Sikap ini sesuai dengan pandangan Bapa-Bapa Konsili Vatikan II, yang sudah dirumuskan secara jelas dalam Konstitusi Liturgi (SC) n. 50 dalam kaitan dengan pemugaran Tata perayaan Ekaristi (huruf tebal dan miring pada teks-teks dokumen adalah tambahan sekedar memperjelas kalimat/bagian/kata yang berkaitan dengan tema):
“Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif. Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.”

Bandingkan penegasan umum tentang syarat yang harus diperhatikan agar pembaharuan liturgi dapat lebih menjamin upaya memperoleh rahmat berlimpah (KL, n.21):
“Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam Liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan saksama pembaharuan umum Liturgi sendiri. Sebab dalam Liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan harus mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakekat Liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok.”

Berdasarkan semangat pembaharuan liturgi ini, Paus Paulus VI menegaskan lagi dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum yang dikeluarkan tgl 3 April 1969:
“Sejauh menyangkut Ordo Missae, ‘tata cara dibuat lebih sederhana dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok,’ dengan menghilangkan ‘pengulangan dan tambahan tidak perlu yang muncul dalam perjalanan sejarah,’ dalam kaitan dengan tata cara persembahan roti serta anggur dan tata cara pemecahan roti serta komuni”.
Hal pokok berdasarkan isi perayaan.

Yang menjadi inti pokok atau asas dasar setiap perayaan liturgi termasuk Ekaristi adalah Mysteri Paskah yang puncaknya adalah peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Selain KL nn. 5 dan 6, Liturgi Romawi dan Inkulturasi, Instruksi IV tentang Pelaksanaan Yang Benar Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40, menyatakan dengan jelas tentang hal ini dalam no.12:
“Sebelum menumpahkan darah-Nya untuk mensahkan ‘Mysteri Paskah’ yang merupakan unsur hakiki ibadat kristen, Kristus berkenan menetapkan Ekaristi, kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya, sampai Ia datang kembali. Di sinilah ditemukan asas dasar liturgi kristen dan intisari ungkapan ritualnya.”

Pandangan yang sama dirumuskan oleh Paulus VI dalam Surat Apostolik Mysterii paschalis, 14 Pebruari 1969, AAS 61(1969), 222-226. Unsur hakiki atau asas dasar liturgi ini tidak dapat diganti dengan yang lain. Ketika tata perayaan Ekaristi dibaharui sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II yang tertuang dalam KL (SC), inti pokok itu (mysteri Paskah sebagai puncak dari mysteri penyelamatan) tetap dipertahankan.

Hal pokok dalam arti bagian-bagian pokok yang membentuk tata perayaan.
Bagian pokok dalam Ekaristi ada dua: Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Konstitusi Liturgi n. 56 (ditegaskan lagi oleh Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 28) merumuskannya sbb.:
“Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib.”

Liturgi Sabda

Berdasarkan Konstitusi Liturgi n. 56 ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan menghilangkan bagian Liturgi Sabda dengan kegiatan lain atau hanya merayakan bagian Liturgi Ekaristi.

Bahwa unsur Sabda Allah dalam liturgi merupakan hal penting atau pokok, juga telah digariskan oleh Konstitusi Liturgi n. 24:
“Dalam perayaan Liturgi, Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.”
Instruksi Liturgi Romawi dan Inkulturasi n. 23 mengungkapkan hal yang sama mengenai unsur Sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai hal pokok sehingga tidak dapat diganti oleh yang lain:
“Gereja dihidupi oleh Sabda Allah yang tersurat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ketika Gereja mewartakan Sabda di dalam liturgi, Gereja menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus. ‘Dialah yang berbicara pada waktu Alkitab dibacakan di dalam Gereja’. Oleh karena itu Sabda Allah begitu penting di dalam liturgi, sehingga Alkitab tak boleh diganti oleh teks apa pun, tidak perduli betapa terhormatnya bacaan pengganti itu. Apalagi Alkitab adalah sumber yang tak tergantikan dari bahasa liturgi, dari tanda-tanda dan dari doa-doanya, lebih-lebih dalam mazmur.”

Jadi pembacaan Sabda Allah dari Kitab Suci adalah unsur yang amat penting dan tak tergantikan. Bandingkan Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 29 dan 57:
PUMR n. 29: “Oleh karena itu, pembacaan Sabda Allah merupakan unsur yang sangat penting dalam liturgi. Umat wajib mendengarkannya dengan penuh hormat.”
PUMR n. 57: “Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.”

Karena merupakan unsur penting dalam liturgi, Sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci dihidangkan secara lebih melimpah dalam kurun waktu tertentu. KL n. 51 menyatakan sebagai berikut:
“Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada Umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci dibacakan kepada Umat.”
Bandingkan rumusan Paulus VI dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum, yang dikeluarkan tgl 3 April 1969:
“Konsili Vatikan II juga menentukan agar ‘dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting dari Alkitab dibacakan kepada umat.’ Oleh karena itu, seluruh khazanah bacaan hari Minggu diatur dalam lingkaran tiga tahun. Kecuali itu, pada setiap hari Minggu dan hari raya pembacaan surat-surat dan Injil didahului dengan satu bacaan lain, yang diambil dari Perjanjian Lama atau – dalam Masa Paskah – dari Kisah Para Rasul. Dengan ini kesinambungan proses dalam sejarah keselamatan menjadi lebih jelas, sebagaimana tampak dalam sabda-sabda yang diwahyukan Allah sendiri. Khazanah bacaan Alkitab yang melimpah ini, yang pada hari Minggu dan hari raya menyajikan bagian-bagian yang paling penting, akan dilengkapi dengan kutipan-kutipan lain dari Alkitab, yang dibawakan pada hari-hari lain.”

Dalam Liturgi Sabda, bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok. Lihat penegasan Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 55:
“Bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda”. Bandingkan PUMR n. 61 yang mengungkapkan bahwa mazmur tanggapan merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda.

Selanjutnya Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 60 menegaskan bahwa dari bagian pokok ini, pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda:
“Pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Liturgi sendiri mengajarkan bahwa pemakluman Injil harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hormat. Ini jelas dari aturan liturgi, sebab bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain.”

Liturgi Ekaristi

Liturgi Ekaristi sebagai bagian pokok dari perayaan Ekaristi sudah dirumuskan oleh Konstitusi Liturgi n. 56 dan ditegaskan lagi oleh Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 28 (lihat di atas, hal. 2).

PUMR n. 72 menyatakan bahwa Liturgi Ekaristi terdiri dari tiga bagian yang disusun sesuai dengan kata-kata dan tindakan Kristus. Maka ketiga bagian itu tidak dapat diubah atau diganti dengan bagian lain atau dihilangkan (bdk KL n. 21).
PUMR n.72:
“Liturgi Ekaristi disusun oleh Gereja sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kata-kata dan tindakan Kristus tersebut:
1. Waktu persiapan persembahan, roti dan anggur serta air dibawa ke altar; itulah bahan-bahan yang sama yang juga digunakan Kristus.
2. Dalam Doa Syukur Agung dilambungkan syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya penyelamatan, dan kepada-Nya dipersembahkan roti dan anggur yang menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
3. Melalui pemecahan roti dan komuni, umat beriman, meskipun banyak, disatukan karena menyambut Tubuh dan Darah Kristus yang satu, sama seperti dahulu para rasul menerimanya dari tangan Kristus sendiri.”

Yang menjadi pusat dan puncak dari bagian ini adalah Doa Syukur Agung. Bagian ini merupakan doa syukur dan pengudusan. Bagian-bagian yang paling penting dari Doa Syukur Agung adalah: Ucapan syukur, Aklamasi (Kudus), Epiklesis, Kisah Institusi dan konsekrasi, Anamnesis, Persembahan, Permohonan, Doksologi-Amin (Lihat PUMR n. 78 dan 79). PUMR n. 78 merumuskan hal ini sbb.:
“Pusat dan puncak seluruh perayaan sekarang dimulai, yakni Doa Syukur Agung, suatu doa syukur dan pengudusan. Imam mengajak jemaat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dengan berdoa dan bersyukur. ... Adapun maksud doa ini ialah agar seluruh umat beriman menggabungkan diri dengan Kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan dalam mempersembahkan kurban.”

PUMR n. 79:
“Bagian-bagian yang paling penting dalam Doa Syukur Agung ialah:
a. Ucapan syukur, ...
b. Aklamasi. ...
c. Epiklesis. ...
d. Kisah Institusi dan konsekrasi. ...
e. Anamnesis. ...
f. Persembahan. ...
g. Permohonan. ...
h. Doksologi Penutup. ... Amin.”
Unsur-unsur penting ini tidak boleh dihilangkan dari satu Doa Syukur Agung.
Bagian Pembukaan dan Penutup
Bagian Pembukaan dan Penutup bukan bagian pokok dalam arti berfungsi sebagai “pelengkap” yaitu “membuka” dan “mengakhiri” Perayaan Ekaristi. Karena itu seturut kaidah-kaidah buku-buku liturgis bagian-baigian ini dapat dihilangkan atau dilaksanakan secara khusus. Inilah pedoman mengenai ritus pembuka dalam PUMR n. 46 (dapat berlaku juga untuk ritus penutup):
“Seturut kaidah buku-buku liturgis, Ritus Pembuka dihilangkan atau dilaksanakan secara khusus, kalau Misa didahului perayaan lain.”
Contoh: Misa yang didahului oleh Ibadat Pagi, Ekaristi pada hari Minggu Palma, Misa yang disusul oleh Upacara pemberkatan jenazah dan pemakaman, Ekaristi pada hari Kamis Putih malam yang disusul dengan upacara perarakan Sakramen Mahakudus dan pengosongan altar.

Penyesuaian

Penyesuaian tidak hanya dibuat dalam hubungan dengan bagian tidak pokok, tetapi juga pada bagian pokok. Misalnya pada bagian Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi dapat dibuat penyesuaian dalam hal bahasa/teks, musik/nyanyian, tata gerak, tata perayaan, simbol, seni bangunan/hias/perabot/warna, sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam edisi acuan. Dalam hal ini perlu diperhatikan tujuan penyesuaian, kebutuhan umat sesuai dengan situasi/kebudayaannya, wewenang dalam menentukan penyesuaian (Tahta Suci, Uskup/Konferensi Keuskupan, Pastor/Imam yang memimpin perayaan Ekaristi), bentuk dan tahap/proses yang perlu ditempuh untuk membuat penyesuaian, kesatuan hakikih (yang terdapat dalam editio typica ritus Romawi). Bandingkan LRI n. 34-45.

Khususnya dalam perayaan Ekaristi, LRI n. 54 menyebutkan dengan jelas hal-hal yang dapat disesuaikan dengan ciri khas bangsa/daerah/kelompok:
“Untuk perayaan Ekaristi, Buku Misale Romawi (Missale Romanum), ‘meskipun mengizinkan (...) adanya perbedaan-perbedaan yang sah dan penyesuaian-penyesuaian menurut ketentuan Konsili Vatikan II’, harus tetap menjadi ‘tanda dan alat persatuan’ Ritus Romawi dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Pedoman Umum Misale Romawi menggariskan bahwa ‘sesuai dengan Konstitusi Liturgi, setiap Konferensi Waligereja memiliki kuasa menentukan kaidah-kaidah untuk wilayahnya sendiri, yang cocok dengan tradisi dan ciri khas bangsa, daerah, dan kelompok yang berbeda-beda.’ Hal yang sama berlaku dalam tatagerak dan sikap badan umat beriman, cara-cara menghormati altar dan buku Injil, syair nyanyian pembukaan, nyanyian persiapan persembahan, dan nyanyian komuni, cara salam damai, syarat-syarat mengatur komuni dengan piala, bahan-bahan altar dan perabot liturgi, bahan dan bentuk bejana suci, busana liturgi. Konferensi Waligereja juga dapat menentukan cara menerimakan komuni.”

Hal-hal ini dirumuskan lagi dalam PUMR (IGMR) 2000, n. 390:
“Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan penyerasian-penyerasian yang ditunjukkan dalam Pedoman Umum dan dalam Tata Perayaan Ekaristi. Sesudah keputusan mereka diketahui oleh Takhta Aapostolik, mereka harus mencantumkan penyerasian-penyerasian itu dalam buku Misale (bdk. n. 25 di atas). Penyerasian-penyerasian itu mencakup:
# tata gerak dan sikap tubuh umat beriman (bdk. n. 43);
# cara menghormati altar dan Kitab Injil (bdk. no. 273);
# teks nyanyian pembuka, persiapan persembahan, dan komuni (bdk. no. 48, 74, 87);
# bacaan Alkitab untuk kesempatan-kesempatan khusus (bdk. no. 362);
# bentuk atau tata gerak salam-damai (bdk. no. 82);
# tata cara komuni (bdk. 160, 283);
# bahan untuk altar dan perlengkapan liturgi, khususnya bejana-bejana kudus; juga bahan, bentuk, dan warna busana liturgis (bdk. no. 301, 326, 3229, 342, 343, 346).
Setelah diketahui oleh Takhta Apostolik, Pedoman atau Instruksi Pastoral yang dirumuskan oleh Konferensi Uskup dapat dicantumkan dalam Misale Romawi pada tempat yang sesuai.”

Hal mana yang telah/akan disepakati oleh KWI dan mana yang mau diserahkan kepada kebijaksanaan Uskup masing-masing?
Yang menjadi wewenang uskup diosesan untuk membuat penyerasian oleh PUMR no. 387 dirumuskan sebagai berikut:
“Uskup diosesan hendaknya dipandang sebagai imam agung kawanannya. Dalam batas tertentu, ini berarti bahwa kehidupan umat yang beriman akan Kristus yang ada dalam reksa pastoral uskup bersumber dari uskup dan tergantung pada uskup. Ia harus menggerakkan, mengatur, dan mengawasi kehidupan liturgi di keuskupannya. Dalam Pedoman Umum ini uskup dipercaya untuk
(1) merumuskan tata cara konselebrasi (bdk. no. 202);
(2) merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tugas melayani imam di altar (bdk. no. 107);
(3) merumuskan kaidah-kaidah komuni-dua-rupa (bdk. no. 283);
dan (4) merumuskan kaidah-kaidah tata bangun serta tata ruang gereja (bdk. no. 291-294).

Akan tetapi tugas utamanya adalah memupuk semangat liturgi kudus dalam diri para imam, diakon, dan umat beriman.”

Orang lain termasuk imam tidak mempunyai wewenang dalam inkulturasi liturgi atas prakarsa sendiri (bdk. KL no. 22:3; LRI no. 37). Hanya dalam pengantar dan rubrik dari buku-buku liturgi terdapat petunjuk yang telah disetujui oleh pimpinan Gereja yang berwewenang mengenai kemungkinan membuat pilihan sesuai dengan situasi umat. Dalam hal itu imam sebagai pemimpin perayaan dapat membuat pilihan sesuai dengan kebutuhan pastoral (tahap penyesuaian sederhana = akomodasi). Lihat LRI no. 37, catatan n. 82.
“Lain halnya kalau dalam buku-buku liturgi yang diterbitkan sesudah KL, pengantar dan rubrik menggariskan penyesuaian dan memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan kepada kepekaan pastoral pemimpin ibadat, misalnya jika dikatakan, ‘kalau dianggap baik’, ‘dengan rumusan berikut atau yang senada’, ‘juga’, ‘sesuai dengan situasi’, ‘atau ... atau ...’, ‘kalau baik’, ‘biasanya’, ‘dapat dipilih bentuk yang paling sesuai’. Dalam menentukan pilihan, pemimpin ibadat hendaknya mengupayakan kebaikan jemaat, memperhitungkan kesiapan spiritual dan mental peserta ibadat, dan tidak hanya mengutamakan selera sendiri atau sekedar mencari yang paling mudah. Dalam perayaan untuk kelompok khusus kemungkinan-kemungkinan lain ditawarkan. Bagaimana pun, kebijaksanaan dan kecermatan selalu dituntut untuk menghindari jangan sampai Gereja setempat terpecah-pecah menjadi ‘gereja-gereja kecil’ atau ‘kubu’ yang serba tertutup.”

Hal yang sama diungkapkan dalam PUMR (IGMR) 2000 n. 24:
“Untuk sebagian besar, penyerasian-penyerasian itu terbatas pada pemilihan ritus atau teks, yakni pemilihan nyanyian, bacaan, doa ajakan, dan tata gerak yang lebih sesuai dengan kebutuhan, kesiapan, dan kekhasan jemaat. Pemilihan-pemilihan seperti itu dipercayakan kepada imam yang memimpin perayaan Ekaristi. Namun, imam harus ingat bahwa dia adalah pelayan liturgi kudus, dan bahwa ia sendiri tidak diizinkan menambah, mengurangi, atau mengubah sesuatu dalam perayaan Misa atas kemauannya sendiri.”

Jadi penyesuaian dalam hal-hal tidak pokok ditentukan oleh Uskup/konferensi keuskupan. Lalu imam yang memimpin perayaan Ekaristi memilih salah satu dari kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan. Bagaimana dalam praktek? Apakah masing-masing telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya? Apakah uskup-uskup membiarkan saja imam-imamnya “menentukan sendiri”? Apakah imam-imam yang memimpin telah mengambil alih wewenang dari uskup/konferensi keuskupan?

Jakarta, Pebruari 2003

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget