Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Jumat, 25 Agustus 2023

Hari Minggu Biasa XXI/A OTORITAS ILAHI

 

Hari Minggu Biasa XXI
Yes. 22:19-23; Mzm. 138:1-2a,2bc-3,6,8bc; Rm. 11:33-36; Mat. 16:13-20.

Kita boleh menyebut hari Minggu ini “Minggu Kekuatan” karena tema utama dari ketiga bacaan tersebut adalah bahwa Allah adalah Sumber segala otoritas. Tuhan membagi otoritas-Nya dengan para penguasa sipil yang dipilih untuk melayani rakyat dan dengan Paus serta para pemimpin Gereja lainnya demi kesejahteraan materi dan rohani anak-anak-Nya. Injil hari ini menantang kita untuk menerima otoritas Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita seperti yang dilakukan Santo Petrus di Kaisarea Filipi.

Bacaan pertama, diambil dari Yesaya, menceritakan kepada kita betapa Allah membenci pejabat yang tidak setia dan egois. Dia memberhentikan “penguasa istana kerajaan” yang sombong itu dari jabatannya, mengambil dari Sebna kekuasaan dan tanggung jawab yang terbukti tidak layak untuknya, dan memberikan keduanya kepada Eliakim yang rendah hati dan setia. Jubah, ikat pinggang, dan kunci adalah lambang kantor ini. Dalam Mazmur Tanggapan hari ini (Mzm 138), Daud bersyukur kepada Tuhan karena telah mengangkat dia dari kalangan rendahan dan memberinya wewenang sebagai raja atas bangsa Israel. Dalam bacaan kedua, Santo Paulus memuji Tuhan atas kedalaman kebijaksanaan, pengetahuan, dan penilaian yang benar, dengan menegaskan bahwa Dia adalah Sumber segala otoritas di bumi dan di Surga. Perikop Injil hari ini menunjukkan kepada kita bagaimana Petrus mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan bagaimana Yesus, pada gilirannya, menyetujui kata-kata Petrus dan memberinya wewenang untuk mengajar dan memerintah dalam Gerejanya. Oleh karena itu, Yesus mendirikan “Magisterium” di Gereja-Nya untuk melayani kebutuhan rohani dan jasmani para anggota Gereja. Melalui pernyataan Yesus, “Aku akan memberimu Kunci Kerajaan Surga,” Dia memberi Petrus dan para penerusnya kuasa untuk mengikat dan melepaskan (membuat undang-undang; menjalankan otoritas) dalam Gereja, dan jaminan bahwa keputusan mereka akan benar. disahkan di Surga.

 

1) Kita perlu menerima dan mengalami Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi kita: : Pertama, kita harus menerima Yesus sebagai Anak Allah dan Juruselamat pribadi kita. Ini berarti kita menerima Yesus sebagai Gembala yang Baik, Juruselamat Ilahi, dan Penebus kita. Berikutnya, Yesus harus menjadi pengalaman hidup bagi kita – sebagai Tuhan yang melindungi kita dan menyediakan kebutuhan kita dalam perjalanan hidup kita, mengasihi kita, mengampuni kita, membantu kita, dan mengubah hidup dan pandangan kita. Hal ini dimungkinkan dengan mendengarkan Yesus melalui pembacaan Alkitab setiap hari dan secara meditatif, dengan berbicara kepada Yesus melalui doa sehari-hari, pribadi, komunal dan liturgi, dengan mempersembahkan hidup kita di altar bersama Yesus setiap kali kita berpartisipasi dalam Mas Suci, dengan menerima Dia dalam Komuni Kudus, dan dengan menjalani kehidupan yang patut diteladani, ketika kita bekerja sama dengan rahmat Tuhan. Pengalaman pribadi kita dengan Yesus juga akan menuntun kita untuk memuji dan bersyukur kepada Tuhan dalam segala peristiwa hidup kita, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, menyadari bahwa tangan kasih Tuhan ada di balik segalanya.

 

2) Kita perlu menyerahkan hidup kita kepada Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Penyerahan itu mengharuskan kita dengan sukarela memberikan seluruh aspek kehidupan kita kepada Yesus dan memancarkan kasih agápe Yesus yang penuh pengorbanan, pengampunan tanpa syarat, belas kasihan yang melimpah, dan pelayanan yang penuh komitmen kepada semua orang di sekitar kita. Sukacita, kasih, dan kedamaian yang kita temukan dalam Yesus perlu tercermin dalam cara kita menjalani seluruh hidup kita. Kita juga menyerahkan hidup kita kepada Yesus dengan memberikan pelayanan yang rendah hati dan penuh kasih kepada orang lain dengan keyakinan kuat bahwa Yesus hadir dalam setiap orang.

Kamis, 17 Agustus 2023

UNIVERSALITAS KESELAMATAN ALLAH Hari Minggu Biasa XX /A

Hari Minggu Biasa XX

Yes. 56:1,6-7; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Rm. 11:13-15,29-32; Mat. 15:21-28.

Ketiga bacaan hari ini berbicara tentang sifat "Kerajaan Allah" yang luas dan universal, berbeda dengan teori bahwa keselamatan harus ditawarkan pertama-tama kepada orang Yahudi dan kemudian, melalui mereka saja, ke seluruh dunia. Meskipun Tuhan memisahkan bangsa Ibrani sebagai ras pilihan-Nya, Dia memasukkan semua bangsa dalam rencana keselamatan-Nya dan memberkati semua keluarga di bumi dalam Abraham (Kej 12:1-3).

Dengan menyatakan melalui nabi Yesaya (bacaan pertama), “Rumahku akan disebut rumah doa bagi semua bangsa,” Tuhan mengungkapkan kebenaran bahwa di mata-Nya tidak ada perbedaan di antara manusia atas dasar ras , kasta, atau warna. Kerajaan Mesianik yang telah lama diharapkan tidak hanya ditujukan bagi orang Yahudi tetapi juga bagi semua bangsa.

Mazmur Tanggapan hari ini (Mzm 67) menolak semua jenis eksklusivitas agama: “Biarlah semua bangsa memuji Engkau, ya Tuhan; … Karena Engkau menghakimi bangsa-bangsa dengan keadilan dan membimbing bangsa-bangsa di bumi, sehingga kekuatan penyelamatan-Mu dapat diketahui di antara semua bangsa.”

Dalam bacaan kedua, Paulus menjelaskan bahwa, meskipun orang-orang Yahudi adalah orang-orang pilihan, banyak dari mereka menolak Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, dan akibatnya, Allah berpaling kepada orang bukan Yahudi yang menerima belas kasihan melalui Iman mereka kepada Yesus.

Dalam kisah Injil, Yesus mendemonstrasikan bahwa keselamatan dimaksudkan untuk orang bukan Yahudi dan juga untuk orang Yahudi dengan menyembuhkan putri seorang wanita bukan Yahudi sebagai hadiah atas Imannya yang kuat. Jadi, Yesus menunjukkan kepada kita bahwa rahmat dan kasih Allah tersedia bagi semua orang yang berseru kepada-Nya dalam Iman.

Kita perlu meruntuhkan tembok pemisah kita dan berbagi dalam universalitas kasih Allah: Sangat sering kita membangun tembok yang memisahkan kita dari Allah dan dari satu sama lain. Injil hari ini mengingatkan kita bahwa kasih dan kemurahan Allah diberikan kepada semua orang yang berseru kepada-Nya dalam Iman dan kepercayaan, tidak peduli siapa mereka. Dengan kata lain, kepedulian Tuhan melampaui batas ras dan bangsa ke hati semua orang yang hidup, dan Rumah Tuhan harus menjadi Rumah Doa bagi semua orang. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berdoa dan bekerja dengan tulus agar tembok-tembok yang dibangun oleh kesombongan, intoleransi, ketakutan, dan prasangka dalam diri kita dapat runtuh.

Kamis, 10 Agustus 2023

HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA

Why 11:191;12:1.3-6a.10a; 1 Kor 15:20-26; Luk 1:39-56



PENGANTAR
Kita gembira bahwa Hari Raya S.P. Maria diangkat ke surga ini diselenggarakan pada hari Minggu, sehingga lebih banyak umat dapat ikut merayakannya. Dalam perayaan ini kita akan merenungkan makna Maria diangkat ke surga yang sangat relevan, penuh arti bagi hidup kita. Kenaikan Maria ke surga merupakan sumber harapan dan kegembiraan. Hidup kita sebagai orang beriman merupakan cakrawala kebahagiaan abadi. Kematian kita nanti bukanlah akhir hidup kita, melainkan awal hidup baru, yang tak akan mengenal akhir!

HOMILI
Kita umat katolik percaya bahwa Maria diangkat ke surga, karena kita percaya bahwa Maria dikandung tanpa cela. Maria dibebaskan oleh Allah dari dosa, maka ia tidak mengalami konsekuensi dosa dan kematian yang akan kita alami. Kita percaya bahwa berkat ketaatan dan kesetiaannya S.P. Maria pada akhir hidupnya di dunia ini diangkat dengan tubuh dan jiwa-nya kepada kemuliaan di surga.

Pada tahun 1950 Paus Pius XII menegaskan ajaran Gereja, bahwa “Maria sesudah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, diangkat tubuh dan jiwanya kepada kemuliaan di surga” (Munificentissimus Deus, 1950). Dalam Bac.I (Wahyu) secara simbolis dikatakan, bahwa Maria mengandung dengan keluhan dan penderitaan untuk melahirkan Yesus. Tetapi seperti Kristus bangkit dan naik dengan mulia ke surga dengan membawa luka-luka sebagai tanda karya penebusan-Nya, demikian juga Maria diangkat ke surga dengan membawa keluhan dan penderitaan waktu melahirkan Puteranya. Demikianlah Maria dapat disebut Hawa Baru, yang meneruskan generasi demi generasi kelahiran manusia-manusia baru, yang diciptakan Tuhan menurut citra Allah sendiri (Ef 4:24). Dengan demikian Maria menjadi gambaran Gereja, yang harus melahirkan anggota-anggotanya yang benar dan suci seperti direncanakan Allah.

Tetapi dalam Bac.II Paulus menegaskan kepada umat di Korintus (1 Kor 15:20-27), bahwa kita harus percaya akan kebangkitan hidup kita. Bila tidak, maka iman kita tiada artinya. Konsekuensi selanjutnya, yaitu pengampunan dosa dan keselamatan kekal kita pun tiada gunanya. Karena dosa Adam dan segenap keturunanya, Yesus harus mati, tetapi sebagai Kristus Ia bangkit kembali. Kemenangan Kristus atas maut itulah yang juga dialami dan dimiliki oleh Maria. Demikianlah Allah Bapa, yang telah memilih Maria sebagai Ibu Putera-Nya yang tunggal, juga menyatukan Maria begitu erat dalam seluruh perencanaan keselamatan manusia dengan Kristus.

Dalam Injil Lukas hari ini kita mendengar ungkapan kegembiraan luarbiasa yang dialami oleh Maria dan Elisabet. Kedua wanita itu berbagi rasa iman, harapan dan kebahagiaan. Elisabet perempuan tua, yang bersuami tetapi mandul, dan Maria perempuan muda yang bertunangan namun mengandung. Di sini tampaklah, bahwa Allah mampu membangkit hidup dari kandungan yang mandul, tetapi juga membangkitkan orang dari makam orang mati!- Demikianlah Maria adalah suatu model bagi kita semua, dan kenaikannya ke surga mengingatkan dan meneguhkan keyakinan dan harapan kita! Apa yang dialami Perawan dari Nasaret itu pada akhir perjalanan hidupnya juga akan dapat kita alami! Namun ada syaratnya! Yakni sejauh kita pun mau dan bersedia tetap taat dan setia seperti Maria!

Allah menjadi manusia dalam diri Yesus di dalam kandungan Maria. Melalui kemurnian hati Maria sebagai manusia tak bercela inilah, dan dalam diri Yesus, terjadilah pertemuan, terciptalah kesatuan antara keilahian / keallahan dan kemanusian (divinitas dan humanitas). Dalam pribadi Maria itulah Allah kita memiliki suatu teladan, di mana Allah hadir dalam diri-Nya sebagai manusia, seperti kita. Maria yang diangkat ke surga terpilih untuk memiliki tempat kemuliaan di surga! Di hadapan Allah!

Paus Benediktus XVI tahun 2006 pada kesempatan berjumpa dengan umat yang besar jumlahnya berkata: Bila kita memikirkan Maria di surga, kita diyakinkan bahwa dunia kita ini bukanlah tempat tinggal kita terakhir! Dan bila memandang ke atas sebagai ketempat tinggal yang definitf nanti, betapa kita terhibur, betapa makin kokohlah harapan kita, karena kita akan mengalami apa yang sama seperti dialami Bunda Maria. Tetapi bukan hanya itu! Dunia kita sekarangpun, bila kita semua mempunyai keyakinan dan sikap hidup yang sama seperti Maria, dunia kita sekarangpun akan tampak lebih baik dan indah! Kesukaran antar kita satu sama lain akan hilang. Jangan sampai sekarang ini kita kehilangan harapan, meskipun sering harus mengalami kegelapan kesukaran hidup. Sinar kemuliaan hidup Maria di surga, akan menunjukkan sinar-sinar harapan yang menghilangkan kedip-kedip lampu suram dalam hidup kita sekarang ini.

Yakinlah, bahwa Maria selalu ikut mengikuti jalan hidup kita, seperti dahulu dilakukannya mengikuti jalan hidup Yesus. Maria bersama dengan Yesus puteranya akan selalu menunjukkan jalan hidup kita yang menuju ke tanah air abadi penuh kebahagiaan.

Sabtu, 05 Agustus 2023

Bukankah Semua Orang Kristen Mengajarkan tentang Kristus?

apakah semua gereja Kristen, semua orang Kristen percaya hal yang sama tentang Kristus?

Dalam arti tertentu, Iya. Sejauh seseorang dapat menggambarkan suatu komunitas gerejawi sebagai benar-benar Kristen, maka ia harus berpegang pada prinsip2 dasar tentang Kristus. (Ini tidak berarti kelompok semacam itu sepenuhnya ortodoks, hanya saja tidak begitu sesatnya sehingga kehilangan nama Kristen sepenuhnya.)

Baik Katolik maupun Protestan percaya bahwa Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Keduanya percaya bahwa Yesus adalah Pribadi Kedua dari Trinitas. Dan keduanya percaya pada Kelahiran Perawan dan Kebangkitan tubuh Kristus. Jadi, baik Katolik maupun Protestan dapat disebut Kristen, meskipun dari sudut pandang Katolik, Protestan adalah heterodoks dalam sejumlah poin kunci.

Pada saat yang sama, ada banyak kelompok yang mengatasnamakan diri Kristen sambil menyangkal prinsip-prinsip dasar kristologis.

Saksi-Saksi Yehuwa, misalnya, mengklaim bahwa Yesus bukanlah Tuhan Yang Mahakuasa, Yehuwa, tetapi Michael sang Malaikat Agung.

Mormon menyangkal Yesus dan Bapa adalah Tuhan yang sama dalam dua Pribadi yang berbeda.

Christian Scientists, dengan menolak realitas objektif dari dunia material, menolak Inkarnasi karena orang Kristen secara tradisional telah memahami doktrin ini.

Ada juga teolog "liberal" di Gereja Katolik dan di dalam denominasi Protestan yang menyangkal keilahian Kristus, Kelahiran Perawannya, dan Kebangkitan tubuhnya. Seperti yang diamati oleh Hans Urs von Balthasar tentang seorang teolog Katolik “liberal”, ketika kepercayaan dasar Kristologis seperti itu ditinggalkan, secara teologis tidak benar untuk menggambarkan orang yang menolaknya sebagai seorang Kristen.

Jadi kami /kita umat Katolik tidak dapat melarang orang heterodoks untuk menggambarkan diri mereka sebagai orang Kristen, tetapi kami/kita dapat memperjelas bahwa mereka tidak percaya apa yang Kitab Suci dan Tradisi katakan kepada kami/kita tentang Kristus.

MENGAPA DOA BAPA KAMI KATOLIK DAN PROTESTAN BERBEDA?

Mengapa orang Kristen mendoakan Bapa Kami ("Doa Bapa Kami") dengan sedikit perbedaan? Yang paling jelas adalah karena ada perbedaan terjemahan Kitab Suci. Tapi ada hal yang perlu diperhatikan di sini.

Umat ​​Katolik menutup dengan "bebaskanlah kami dari segala yang jahat," sedangkan kebanyakan Protestan, mengikuti Matius 6:13 dalam Versi King James, melanjutkan dengan mengatakan sesuatu seperti, "Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa Dan kemuliaan sampai selama-lamanya.Amin.

Apakah umat Katolik menghilangkan frasa ini dari doa Yesus, atau apakah umat Protestan menambahkannya?

Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa doanya berbeda bahkan di antara Injil itu sendiri. Meskipun bentuk dalam Matius adalah bentuk yang digunakan oleh hampir semua orang Kristen saat ini, versi yang lebih pendek dicatat dalam Lukas pasal 11, yang diakhiri dengan “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (ay.4). Jadi secara teknis, seseorang akan sepenuhnya dibenarkan secara alkitabiah hanya dengan mengakhiri doa di sana.

Hal kedua yang menarik adalah bahwa ayat tersebut tidak termasuk dalam manuskrip alkitabiah “tertua dan terbaik”, dan karena itu tidak dianggap oleh mayoritas ahli alkitab saat ini, baik Katolik maupun Protestan, sebagai bagian dari teks alkitabiah asli. Alkitab Versi King James didasarkan pada Textus Receptus, yang tidak didasarkan pada manuskrip tertua yang kita miliki saat ini. Baik Codex Sinaiticus maupun Vaticanus tidak memuat ayat tersebut—sebenarnya, kesaksian paling awal yang kita miliki tentang akhir yang lebih panjang dari Our Father adalah sebuah perkamen akhir abad keempat atau awal abad kelima yang disebut Codex Washingtonensis.

Kata bahasa Inggris dari Our Father yang digunakan orang Protestan saat ini mencerminkan versi yang didasarkan pada Alkitab versi bahasa Inggris yang diproduksi oleh Tyndale pada tahun 1525. Versi Tyndale tidak ditemukan dalam tradisi liturgi Kristen barat sampai Scottish Book of Common Prayer tahun 1637. Dan meskipun akhiran yang lebih panjang tetap populer saat ini, ada banyak Alkitab yang tidak mencantumkannya. Terjemahan Alkitab Katolik (misalnya, Vulgata, Douay-Rheims, atau New American) tidak pernah memasukkannya, dan sebagian besar Alkitab Protestan juga tidak memasukkannya.[1] Bahkan King James versi modern menyertakan catatan kaki yang menyatakan bahwa frasa tersebut dihilangkan dalam manuskrip yang lebih tua.

Selain itu, meskipun para Bapa Gereja mula-mula seperti Jerome, Gregorius Agung, Ambrosius, dan Agustinus menulis tentang pentingnya dan keindahan doa “Bapa Kami”, tidak satu pun dari mereka yang mencantumkan frasa tersebut ketika merujuknya. Komentar tentang doa oleh Tertullian, Origen, dan Cyprian juga tidak memasukkannya. John Chrysostom memang membahas frasa tersebut dalam homili abad keempatnya tentang Matius (19:10).

Ketika kita beralih dari komentar Kitab Suci ke Tradisi Gereja, kita menemukan frasa ini (yang menyerupai 1 Tawarikh 29:11) dalam penggunaan liturgi kuno sebagai doksologi singkat (tanggapan pujian) untuk Doa Bapa Kami. Pedoman Kristen yang dikenal sebagai Didache (c. A.D. 95) memiliki versi singkat dari doksologi setelah Bapa Kami dalam bab 8, dan bacaan yang lebih panjang ditemukan dalam Konstitusi Apostolik abad keempat (7.24). Dari sana itu dimasukkan ke dalam Liturgi St. John Chrysostom juga. Dengan demikian, tampaknya ungkapan ini sangat mungkin merupakan sebuah doksologi—suatu kesimpulan dari doa asli yang Yesus perintahkan untuk diucapkan oleh murid-muridnya.

Bukti kitab suci dan tradisional menunjuk pada penambahan frasa abad keempat pada doa aslinya. Kemungkinan sekitar waktu ini, seorang juru tulis yang akrab dengan liturgi menambahkan doksologi ke dalam Kitab Suci sambil menyalin bagian Bapa Kami, dan itu menemukan jalannya ke dalam terjemahan-terjemahan selanjutnya dari Alkitab itu sendiri. Salinan ini akhirnya melebihi jumlah dokumen yang lebih kuno, dan frase tersebut dimasukkan dalam Injil di sebagian besar manuskrip Alkitab kuno sejak saat itu.

Ketika kaum Protestan mula-mula menghasilkan terjemahan Alkitab mereka sendiri pada abad keenam belas, mereka menggunakan teks mayoritas sebagai sumbernya. Hasilnya adalah terjemahan mereka memasukkan frasa tersebut seolah-olah itu adalah bagian dari tulisan asli Injil. Di Inggris, terjemahan Tyndale memasukkannya, dan ketika Henry VIII memisahkan diri dari Gereja Katolik, dia memutuskan untuk memasukkannya ke dalam ibadah. Akhirnya, Ratu Elizabeth yang sangat anti-Katolik memasukkannya ke dalam Anglican Book of Common Prayer. Setelah dibawa ke Amerika oleh kaum Puritan, penambahan frasa tersebut semakin diperkuat.

Jadi, sebagai kesimpulan, tampaknya orang Protestan Inggris menambahkan doa Katolik tradisional ke dalam Alkitab untuk menjauhkan diri dari apa yang mereka anggap sebagai tradisi Katolik yang tidak alkitabiah. Meskipun orang Protestan telah mengoreksi banyak terjemahan Alkitab modern mereka, tampaknya tradisi(!) mereka menambahkan doksologi Katolik ke Doa Bapa Kami yang alkitabiah mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk diatasi.


NB: diterjemahkan dari catholic answer.com

Memahami Sakramen Pengakuan Dosa

 

Yang penting untuk dipahami adalah bahwa Tuhan memberi kita pengampunan dengan cara-Nya sendiri. Dia mengampuni kita melalui seorang  manusia. Siapakah manusia itu? Putra Bapa yang menjadi salah satu dari kita. Yesus adalah orang yang menawarkan pengampunan Allah, dan Yesus adalah sepenuhnya Allah dan manusia. Tetapi bagaimana Yesus melakukannya sekarang setelah Dia naik ke Surga? Sebelum Dia naik, Dia memberikan kekuatan pengampunan ilahi-Nya kepada para imam pertama-Nya, para rasul. Mereka, pada gilirannya, mewariskan kekuatan itu kepada orang lain, yang meneruskannya kepada orang lain, selama berabad-abad, hingga zaman kita sekarang.

Para imam, terlepas dari kenyataan bahwa mereka sendiri tidak sempurna, memiliki kuasa rohani Yesus untuk benar-benar mengucapkan kata-kata pengampunan-Nya kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika seorang imam berkata. “Ego te absolvo Aku membebaskanmu” kita harusnya mendengar Yesus sendiri, sebagai wajah manusiawi Allah, mengatakan kata-kata yang sama kepada kita.

Mengapa Tuhan memilih untuk menggunakan para imam untuk memberikan pengampunan-Nya? Sejujurnya, kita benar-benar tidak memiliki jawaban yang sempurna untuk pertanyaan itu. Tentu ada tulisan-tulisan dan refleksi-refleksi serta ajaran-ajaran yang luar biasa mengenai hal ini sepanjang sejarah Gereja. Namun, pada akhirnya, kita hanya akan memahami sepenuhnya misteri tentang bagaimana Tuhan memberikan pengampunan-Nya kepada kita ketika kita berada di Surga. Untuk saat ini, kita hanya perlu mengikuti apa yang Yesus ajarkan dan menerima pengampunan-Nya dengan cara yang kita tahu bagaimana Dia memberikannya.

Pada tingkat psikologis, saya, sebagai seorang imam, telah melihat begitu banyak orang mendapat manfaat dari benar-benar mendengar kata-kata itu diucapkan dari mulut saya. Berkali-kali saya telah melihat orang-orang datang ke ruang pengakuan ketakutan dan malu, dan berjalan keluar dengan bebas dan damai. Jadi it really works. Pastikan Anda segera mencobanya!

 

Kamis, 03 Agustus 2023

PESTA YESUS MENAMPAKKAN KEMULIAAN-NYA - Hari Minggu XVIII/A

Dan 7:9-10.13-14; 2 Ptr 1:16-19; Mat 17:1-9;

PENGANTAR
Hari ini Injil Matius (Mat 17:1-9) menceriterakan bagaimana Yesus menampakkan perubahan diri atau mengadakan transfigurasi kemuliaan-Nya kepada tiga rasul-Nya: Petrus, Yakobus dan Yohanes di gunung Tabor. Tetapi sebelumnya di dalam Injil Matius (Mat 16:21-18) Yesus justru telah mengatakan kepada murid-murid-Nya, bahwa Ia akan pergi ke Yerusalem, dan disana Ia akan menderita dan mati dibunuh. Namun pada hari ketiga akan bangkit kembali.

HOMILI
Sebelum pergi untuk naik gunung yang lazim disebut gunung Tabor bersama dengan ketiga murid-Nya Petrus, Yakobus dan Yohanes, Yesus sekitar sepekan sebelumnya sudah memberitahukan kepada segenap murid-Nya, bahwa Ia harus menderit, dibunuh namun akan bangkit kembali. Dan pada saat itu Yesus dengan tegas mengatakan kepada murid-murid-Nya: "Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut" (Mat 16:24).

Murid-murid-Nya kecewa mendengar ucapan Yesus itu. Maka Petrus menegur Yesus, katanya: "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau" (ay. 22). Jawab Yesus sangat tegas: "Enyahlah Iblis, Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (ay.22).

Inilah latar belakang kehendak Yesus mengajak Petrus bersama dengan Yakobus dan Yohanes naik ke gunung Tabor, di mana Yesus memperlihatkan diri-Nya dalam keadaan-Nya yang mulia! Yesus mau memperlihatkan dan meneguhkan hati murid-murid-Nya siapakah Diri-Nya itu sesungguhnya!

Sangat penting kita perhatikan, bahwa nanti pada kesempatan lain, ketiga murid-Nya itu, yakni Petrus,Yakobus dan Yohanes, akan diajak juga oleh Yesus untuk pergi ke taman Getsemani untuk berdoa bersama sebelum memasuki masa kesengsaraan-Nya. Di Getsemani mereka melihat Yesus bergulat dalam batin menghadapi tugas-Nya yang berat sebagai Almasih. Ternyata Yesus, Guru mereka, yang telah berbuat baik, menolong banjak orang, dan yang sebelumnya telah mereka saksikan sendiri kemuliaan-Nya di gunung Tabor, ternyata memang harus menderita.

Patut kita perhatikan, bahwa suara dari awan di langit yang terdengar di gunung Tabor, yang berbunyi: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia", adalal ulangan suara dari surga, yang terdengar ketika Yesus dibapis di sungai Yordan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (Mat 3:17).

Apakah pesan Yesus yang disampaikan Yesus kepada kita dalam Injil Matius hari ini?

Kita harus selalu terbuka untuk mendengarkan sabda Tuhan dan selalu bersedia melaksanakannya dengan jujur dan setia! Sabda Tuhan itu ialah meperhatikan dan melaksanakan hunungan antara perjuangan dan kemenangan. Dengan bahasa alkitabiah kristiani: antara penderitaan dan keselamatan atau kemuliaan! Petrus, Jakobus dan Yohanes sudah mendengarkan sabda Yesus, menyaksikan kemuliaan Yesus di gunung Tabor, tetapi kemudian juga menyaksikan pergulatan batinmYesus di taman Getsemani, bahkan juga penderitaan fisik dan maut di Golgota. Karena itu barangsiapa pun, seperti ketiga murid Yesus itu, mau ikut mengambil bagian dalam kemuliaan Yesus kelak di surga, harus bersedia juga mengambil bagian dalam penderitaan-Nya!

Ceritera Injil Matius tentang transfigurasi Yesus hari ini mengingatkan kita untuk selalu mendengarkan sabda Allah di dalam hidup kita. Kita sering mendengarkan sabda Yesus, namun sering tidak taat untuk melaksanakannya dalam kata dan perbuatan dalam hidup kita sehari-hari. Di atas gunung Tabor wajah Yesus memang "bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang" (Mat 17:2). Tetapi ketika tergantung di kayu salib di bukit Golgota, wajah-Nya suram dan tubuh-Nya nyaris total telanjang! (lih.Mat 27:35). Mungkin kita akan bertanya: "Mengapa Allah menyembunyikan kemuliaan-Nya di gunung yang tinggi, sehingga banyak orang tidak dapat melihatnya? Mengapa Allah tidak menyelamatkan Dia dari hukuman-Nya di kayu salib". Jawaban kita manusia ialah: Kebijaksanaan ilahi bukanlah kebijaksanaan manusiawi!

Agar sungguh mampu memahami kemuliaan Allah dalam diri Yesus, kita harus bersedia memperhatikan dan memahami apa yang terjadi di kedua gunung atau bukit ini: baik Tabor maupun Golgota! Transfigurasi atau perubahan penampakan diri Yesus dapat kita lihat dan kita pahami sebagai suatu modus atau cara kehadiran Kristus, yang memperhatikan segalanya, seperti yang dapat kita alami dan membingungkan diri kita, sehingga kita tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi Kristus selalu menunjukkan wajah-Nya, yang sebenarnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang dialami-Nya. Wajah Kristus yang girang gembira maupun yang sedih, bersinar ataupun suram, dan senyum, lembut dan penuh kasih, tetapi juga marah, namun selalu setia akan sabda dan kehendak Bapa-Nya, yang selalu mau memberikan hiburan dan perdamaian.

Semoga apapun yang kita lihat dalam pengalaman Yesus di Golgota, selalu kita satukan dengan apa kita lihat seperti Petrus,Yakobus dan Yohanes dalam pengalaman Yesus di gunung Tabor!

Penderitaan bukanlah sesuatu yang kita cari, bukanlah pula nasib definitif kita, melainkan merupakan suatu jalan menuju kebahagiaan, seperti telah ditempuh oleh Yesus Kristus sendiri!

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget