Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Sabtu, 27 Agustus 2011

LITURGI PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK

Pandangan umum tentang liturgi
Liturgi adalah kegiatan perayaan umat beriman, dalamnya dikenangkan dan dialami hadirnya Allah dengan karya-Nya yang menyelamatkan manausia. Puncak karya penyelamatan adalah misteri Paska Yesus Kristus.
Bagi umat beriman, liturgi adalah puncak dan sumber serta pusat kegiatan Gereja.
Liturgi adalah suatu kegiatan perayaan simbolis (sakramental).
Liturgi Perkawinan
Berdasarkan pemahaman umum tentang liturgi, dapatlah dikatakan satu dua pokok pikiran tentang liturgi perkawinan sebagai berikut.
1. Liturgi perkwinan bukanlah perayaan dua orang atau satu keluarga saja, tetapi merupakan perayaan/kegiatan bersama seluruh Gereja, bersama umat beriman di lingkungan/stasi/paroki.
2. Liturgi perkawinan bukanlah hanya tindakan mengenangkan kehadiran Allah yang setia menyelamatkan dan mempersatukan dengan cinta di masa lampau, tetapi juga merupakan suatu kenangan yang membuat peristiwa itu hidup dan dialami kembali. Dengan “merayakannya” diharapkan inti misteri itu dihayati dalam hidup harian selanjutnya dan akhirnya mencapai kesempurnaannya dalam surga. Hendaknya diingat bahwa di surga orang tidak mengawinkan dan tidak juga dikawinkan, tetapi akan mengalami persatuan cinta kasih yang membahagiakan dengan Allah dan semua orang kudus dalam kebadian.
3. Peristiwa utama yang dirayakan dalam liturgi perkawinan adalah misteri Paska Yesus Kristus, pada peristiwa mana kedua mempelai mengambil bagian secara khusus sebagai suami-isteri (mati dan bangkit bersama Kristus bagi satu sama lain. Dalam hal ini akan nampak inti kesatuan antara suami dan istri.
4. Liturgi perkawinan bukanlah suatu momen biasa sebagai hanya salah satu bagian dari seluruh kehidupan mempelai, tetapi merupakan “saat inti” yang dalam arti tertentu merangkum/meliputi seluruh kegiatan Gereja khususnya kegiatan kedua mempelai; di satu pihak saat ini menjadi puncak dari seluruh kegiatan sebagai pacar-tunangan, dan di pihak lain menjadi sumber rahmat dan kekuatan untuk seluruh kegiatan sebagai suami isteri nanti. “Hendaknya diusahakan agar upacara liturgi perkawinan di gereja janganlah dirasa sebagai formalitas gerejani belaka, sedangkan upacara adat yang menyusul dianggap sebagai puncak perayaan yang sesungguhnya. Umat harus dididik agar menghindarkan penyelenggaraan persta mewah yang menelan biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab sakramen perkawinan tidak diberikan oleh Kristus sebagai kesempatan untuk menonjolkan diri serta meningkatkan gengsi keluarga yang bersangkutan, melainkan untuk memberi restu dan dukungan kepada mempelai baru yang siap sedia mengemban tugas pelayanan suci kepada Gereja dan masyarakat.”[1]
5. Liturgi perkawinan bukanlah suatu upacara sipil biasa, atau sekedar suatu perayaan demi memenuhi persyaratan hukum, tetapi merupakan suatu perayaan simbolis (sakramental) di mana para mempelai mencicipi pengalaman persatuan dan cinta surgawi bersama Allah, persatuan cinta antara Yesus Kristus dan Gereja. Suasana persatuan itu harus dirasakan sebagai pengalaman yang sungguh menyelamatkan. Kesempurnaannya akan dialami di surga yaitu kebahagiaan abadi dalam persatuan dengan Bapa, Anak dan Roh Kudus bersama segala orang kudus. Sebagai suatu perayaan pengalaman iman, liturgi perkawinan tidak boleh menjadi hanya suatu kesempatan didaktik-kateketik. Dengan kata lain, dalam liturgi perkawinan tidak boleh diberikan penjelasan panjang lebar tentang arti/jalannya upacara kepada mempelai. Para mempelai sudah harus tahu sebelumnya (sudah memperoleh pendidikan dan katekese liturgi perkawinan sebelum perayaan) sehingga dalam liturgi perkawinan mereka dapat “mengalaminya” dengan lebih penuh, atau mereka dapat dengan lebih sadar merayakan dan menghayatinya. Oleh karena itu baiklah lebih dahulu dipelajari susunan upacara atau liturgi perkawinan serta arti dari bagian-bagian perayaan itu. Bila tiba waktunya sebaiknya dibuat “latihan” menjelang perayaan. Latihan seperti itu tidak hanya membantu memperlacar jalannya perayaan tetapi lebih dari itu menolong para mempelai dan pelayan-pelayan khusus lainnya untuk mulai “meresapi” dan “menghayati” makna dari liturgi perkawinan itu sendiri.
Tata liturgi perkawinan
Ada sejumlah kemungkinan tata laksana liturgi perkawinan. Dapatlah dibedakan berdasarkan tempat, pemimpin dan iman dari mempelai.
1. Upacara perkawinan di dalam Ekaristi. Ada rumus doa-doa Ekaristi yang khusus untuk perkawinan. Upacara nikah dilaksanakan sesudah liturgi sabda. Dipimpin oleh imam. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); liturgi ekaristi; penutup.
2. Upacara perkawinan di luar Ekaristi. Diselenggarakan dalam liturgi sabda. Sesudah homili/kotbah diadakan upcara perkawinan. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup. Bisa dipimpin oleh imam atau diakon.
3. Upacara perkawinan di rumah. Dapat dibuat dengan pertimbangan pastoral khusus. Hendaknya diperhatikan agar “jangan sampai karena ini timbul perbedaan antara orang kaya dan orang miskin”. Bila para hadirin sebagian besar orang katolik bisa dipakai upacara perkawinan dalam Ekaristi. Bila sebagian besarnya orang bukan katolik bisa dipakai upacara perkawinan di luar Ekaristi. Upacara-upacara adat setempat dapat dimasukkan kalau tidak menyimpang dari ajaran injil. Untuk itu perlu penelitian dan kerja sama antara para pendukung adat, antropolog, pastor. Bagi umat perlu diberikan penjelasan yang memadai.[u1] [2]
4. Upacara perkawinan yang dipimpin oleh awam. Hanya dalam keadaan tertentu/khusus upacara perkawinan dapat dipimpin oleh seorang awam. Untuk itu pemimpin awam tersebut harus mendapat tugas/wewenang dari pimpinan Gereja. Rumus dan tata laksana liturginya kurang lebih sama dengan upacara perkawinan di luar Ekaristi. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.
5. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai kristen dari Gereja lain. Untuk penyelenggaraan perkawinan campur ini harus ada ijin dari pimpinan Gereja. Bila dilakukan, kedua belah pihak harus bebas dari “tekanan batin” dan peristiwa seperti ini tidak boleh menjadi penghalang dialog ekumenis. Lebih cocok kalau dibuat upacara perkawinan di luar Ekaristi. Bisa juga dipakai upacara perkawinan di dalam Ekaristi dengan penyesuaian seperlunya. Dapat pula dipakai upacara perkawinan campur yang diselenggarakan secara ekumenis. Tugas pimpinan liturgi perkawinan dapat dibagi antara imam dan pendeta/ketua Gereja Kristen lain dengan memperhatikan hal-hal berikut:
* Kalau tidak ada dispensasi dari “forma canonica” (= tata peneguhan yaitu perjanjian nikah ke dua mempelai sah bila dilangsungkan di hadapan ordinaris wilayah atau pastor-paroki atau imam maupun diakon yang diberi delegasi, yang meneguhkannya serta dihadapan 2 orang saksi) maka perjanjian nikah harus diterima oleh seorang imam.
* Kalau ada dispensasi dari “forma canonica” maka perjanjian nikah boleh diterima oleh pendeta dan disaksikan oleh imam.
* Tetapi tidak diperbolehkan bahwa perjanjian nikah diterima oleh pendeta/pimpinan dari pihak Gereja lain dan oleh imam dari pihak katolik. Juga tidak boleh diterima dua kali: oleh pemimpin upacara 1, lalu menyusul pemimpin 2.
* Hendaknya diadakan penyesuaian seperlunya, agar tidak menyinggung perasaan pihak yang lain, misalnya dengan menghindarkan istilah “sakramen perkawinan”.[3]
Tata laksana upacara perkawinan campur: Pembukaan; Pelayanan Firman/Liturgi Sabda; Pemberkatan Perkawinan (Perjanjian Nikah, Peresmian Perkawinan, Pemberkatan Mempelai, Simbol-simbol Perkawinan); Doa Syafaat/Doa Umat; Penutup.
6. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai bukan kristen. Lebih baik diadakan di luar Ekaristi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Upacara Perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.[4]
7. Upacara convalidatio. Bila suami-istri mau “membereskan” perkawinan mereka di hadapan Gereja (bila terdapat halangan yang bersifat menggagalkan seperti kekurangan sehubungan dengan kesepakatan dan tata peneguhan sehingga perkawinan yang sudah diadakan menjadi tidak syah, haruslah dibereskan supaya menjadi syah). Dalam upacara convalidatio ini perjanjian nikah harus dibaharui di hadapan imam dan dua saksi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Pembaharuan Janji Nikah, Penutup.[5]
8. Pemberkatan suami istri yang sudah kawin di luar Gereja. Bila ada suami istri yang menjadi katolik, dapat diselenggarakan upacara ini untuk meneguhkan perkawinan mereka yang sudah syah itu (tetapi terjadi ketika mereka belum dipermandikan). Dalam upacara ini perjanjian nikah dapat dibaharui di hadapan imam. Urutannya: Pembukaan; Liturgi Sabda; Pembaharuan Janji Nikah dan Peneguhan; Penutup.[6]
9. Upacara perkawinan sipil. Bila dua orang yang belum dibaptis (katekumen atau simpatisan) menghadap pastor/imam untuk nikah secara katolik. Pastor hanya bisa melayani mereka kalau ia mempunyai kuasa dari pemerintah setempat untuk bertindak sebagai pengantar agama dalam perkawinan. Pandangan masyarakat setempat harus diperhatikan. Nikah secara katolik ini tidak/belum merupakan sakramen. Urutannya: Pembukaan; (Liturgi Sabda); Amanat Perkawinan; Peresmian-Perjanjian Nikah; Peneguhan oleh imam; Doa atas mempelai; Penandatanganan naskah perjanjian; lambang-lambang Perkawinan; Doa umat; Penutup.[7]
Unsur-unsur Pokok Liturgi Perkawinan
1. Liturgi Sabda. Ada bacaan-bacaan, mazmur tanggapan, homili/kotbah. Dalam bagian ini kita alami hadinya Tuhan lewat pemakluman dan penjelasan sabda-nya. Tuhan sungguh-sungguh hadir dan bersabda kepada kita sebagai persekutuan beriman, khususnya kepada para calon mempelai. Tuhan bersabda untuk meyakinkan kita (khususnya para calon mempelai) bahwa Ia tetap mencintai kita, bahwa Ia setia dalam Perjanjian-Nya dengan kita, bahwa Ia tidak bosan-bosannya menegur kita bila kita mulai lupa akan janji kita kepada-Nya, bahwa Ia senantiasa menguatkan dan menghibur kita dalam setiap kesulitan dan kesusahan, bahwa Ia selalu membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan dalam cinta, bahwa Ia selalu menyelamatkan kita. Karena kesetiaan-Nya itu Ia selalu memberi kita pedoman-pedoman untuk hidup saling mencintai dan saling melayani dengan penuh rasa tanggungjawab. Dalam bagian ini kita harus menyadari pentingnya Sabda Tuhan sebagai dasar hidup perkawinan. Seluruh keluarga harus hidup sesuai dengan pedoman Sabda Allah. Secara konkrit kita diajak untuk mulai di dalam rumah menghargai kehadiran Tuhan dalam Kitab Suci dengan membaca, merenungkan dan menghayati-Nya dalam hidup harian.
2. Perjanjian Nikah. Sesudah homili, mempelai dipersilahkan berdiri, juga orang tua/wali dan saksi. Sesuai adat setempat imam boleh mengajak para mempelai untuk meminta doa restu kepada orang tua mereka. Hendaknya tindakan ini mengingatkan kita untuk berterimakasih kepada orang tua karena kerelaan dan cinta mereka, karena restu, berkat, dorongan dan pengampunan yang diberikan kepada para mempelai. Coba bayangkan kesulitan yang dialami ketika para orang tua tidak merestui sang pacar, tunangan bahkan menolak dengan tegas dan ganti memberi restu mereka menyumpah dan mengutuk. Maka restu saat ini mengungkapkan saling pengertian, kerelaan orang tua menerima para calon mempelai apa adanya, serta pengorbanan mereka demi kebahagiaan para calon mempelai. Sepantasnya restu ini diterima dan dialami dengan penuh rasa syukur.
Sesudah menerima restu dari orang tua, para calon mempelai menyatakan (dengan menjawabi pertanyaan tentang) kesediaan-kerelaan dan keikhlasan hati untuk saling menerima dan saling mencintai sebagai suami istri. Dengan suara jelas-kuat, di hadapan imam, saksi dan umat yang hadir para calon mempelai menyatakan kesediaan dan keikhlasan hati. Dengan ini mereka menyatakan kebebasan dalam pilihan mereka. Tidak ada satu paksaan pun dalam relasi para calon mempelai. Sebagai manusia bebas mereka telah saling mengundang dan memilih untuk mencintai satu sama lain.
Lalu menyusul Perjanjian Nikah. Dalam bagian ini para pihak mengucapkan Perjanjian Nikah: secara resmi mau mengikat diri pada yang lain dan demikian mengikat yang lain kepada diri sendiri sebagai suami atau istri sambil berjanji untuk mencintai yang lain dengan setia dan ikhlas hati seumur hidup, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Mereka meragakan janji setia itu dengan meletakkan tangan kiri di atas Kitab Suci yang dipegang imam dan mengangkat tangan kanan sambil mengucapkan kata-kata janji setia. Dapat pula Kitab Suci itu ditumpangkan di atas bahu para mempelai. Pada saat ini lewat kata-kata dan tindakan simbolis mereka berjanji untuk saling mencintai dengan setia seumur hidup. Dengan janji ini mereka mengikat satu sama lain secara resmi sebagai suami-istri.
3. Peneguhan dan pemberkatan perkawinan. Dalam bagian ini imam atas nama Gereja meneguhkan peresmian perkawinan para mempelai. Ia menegaskan bahwa perkawinan itu adalah perkawinan kristen yang syah, dipersatukan oleh Allah dan tidak boleh diceraikan manusia. Dan supaya perkawinan ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan, imam berdoa memohon berkat untuk para mempelai.
Imam berdoa bagi mempelai wanita: supaya hatinya penuh rahmat cinta dan damai, dan menjadi isteri yang setia serta ibu yang baik.
Imam berdoa juga bagi mempelai pria: supaya berusaha menunaikan tanggungjawab terhadap istri, anak-anak dan masyarakat.
4. Penandatanganan naskah perjanjian nikah. Dapat dibuat pada kesempatan ini atau pada bagian penutup. Ini merupakan bukti tertulis dari janji nikah. Dengan tanda tangan dari semua pihak (para mempelai, imam, para saksi) naskah tertulis dari janji nikah itu menjadi sebuah dokumen resmi menurut hukum.
5. Lalu dibuat simbol-simbol perkawinan. Ditawarkan dua simbol: a) pemberkatan dan pengenaan cincin; b) pembukaan selubung. Boleh juga dipilih simbol lain yang sesuai dengan budaya setempat. Sebagai simbol perkawinan, semuanya mengungkapkan kesetiaan dan cinta satu sama lain yang mengikat para mempelai sebagai suami istri dan menjadi sumber kebahagiaan sejati.
6. Doa Umat/Doa Syafaat. Secara khusus hari ini para mempelai harus sadar bahwa umat beriman merestui perkawinan mereka dan turut mendoakan mereka serta seluruh keluarga demi kebahagiaan dalam hidup di bumi ini maupun di akhirat nanti.
7. Bila diteruskan dengan perayaan Ekaristi maka unsur-unsur berikut ini mempunyai arti khusus.
a. Persiapan Persembahan. Dalam bagian ini para mempelai mempersiapkan segala yang perlu untuk memberi/mempersembahkan dri (keluarga) dalam persatuan dengan bahan korban syukur Yesus Kristus (roti dan anggur).
b. Doa Syukur Agung. Dalam persatuan dengan Yesus Kristus, seluruh umat beriman, khususnya para mempelai, menyampaikan korban syukur-pujian kepada Allah penuh cinta dan sumber kebahagiaan sejati. Syukur pujian atas segala anugerah (karya agung Allah) yang telah dialami selama ini oleh para mempelai, secara istimewa pada hari ini dalam persatuan cinta para mempelai sebagai suami istri.
c. Doa Damai dan Salam Damai. Kita mengungkapkan damai satu sama lain. Hendaknya para mempelai melupakan segala yang menyakitkan di masa lampau. Dan bila di masa depan akan alami kesulitan dalam keluarga, ingatlah akan damai yang Tuhan anugerhkan secara khusus pada perayaan perkawinan ini.
d. Komunio. Dibuat dalam dua rupa. Sesuai dengan kebiasaan setempat dapat dilakukan dengan saling menyuap. Hal ini mengungkapkan sikap saling memberi dan menerima serta kebahagiaan dalam persatuan di antara suami istri dan dengan Yesus Kristus. Sesudah komunio biasanya ada kesempatan berdoa secara pribadi. Bersyukurlah kepada Allah atas anugerah-anugerah-Nya teristimewa untuk rahmat perkawinan ini. Patut diingat dalam doa semua orang yang berjasa baik langsung maupun tidak langsung, khususnya bagi orang tua, teman-teman (termasuk mantan-mantan pacar kalau ada, sebab mereka juga mempunyai andil untuk membina para mempelai menjadi matang dalam mencinta).
e. Berkat dan pengutusan. Para mempelai mendapat berkat khusus hari ini. Dengan ini mau diungkapkan bahwa Tuhan selalu menyertai mereka dalam hidup dan karya setiap hari, khususnya dalam melaksanakan tugas-tugas perutusan, agar menjadi saksi cinta Allah dan menjadi berkat serta kebahagiaan bagi orang lain.
Semoga liturgi perkawinan dirayakan sebagai puncak dan sumber kegiatan hidup para mempelai.
Oleh: Rm Bernardus Boli Ujan, SVD



[1] PWI-Liturgi, Upacara Perkawinan. Buku PemimpinUpacara, Ende: 1976, hlm 13. Selanjutnya dipakai singkatan UP.
[2] Bdk UP, hlm 47.
[3] Bdk UP, hlm 57-74.
[4] Bdk UP, hlm 75.
[5] Bdk UP, hlm 87.
[6] Bdk UP, hlm 91-94.
[7] Bdk UP, hlm 95-96.


[u1]Betapa sering upaya penyesuaian dilakukan tanpa mengindahkan hak umat untuk memberikan pendapat atau penilaian serta hak untuk memperoleh penjelasan yang memadai.

Rabu, 24 Agustus 2011

MAKNA NYANYIAN DALAM PERAYAAN EKARISTI

Perlu dicatat bahwa penggunaan lagu-lagu liturgis untuk tiap bagian perayaan liturgi secara khusus dan secara umum untuk perayaan liturgi, sepatutnya direstui oleh pimpinan gereja setempat yang berwenang. Terlebih kalau lagu-lagu itu merupakan ciptaan baru. Lagu-lagu itu juga seharusnya sesuai dengan kekhasan bagian-bagian perayaan itu. Pimpinan itulah yang harus mengesahkan lagu-lagu tersebut (IML 32).


1. Lagu-lagu proprium.

Nyanyian-nyanyian yang disebut proprium adalah nyanyian-nyanyian (dalam perayaan Ekaristi) yang kata-katanya (seperti dalam edisi resmi) selalu berbeda dari perayaan ke perayaan.


IML sangat mengharapkan agar jemaat / persekutuan liturgis berpartisipasi sedapat mungkin dalam lagu-lagu proprium (nyanyian-nyanyian khusus, kata-katanya berbeda dari perayaan ke perayaan) (IML 33). Untuk itu sebaiknya dipersiapkan refrein dalam bentuk jawaban-jawaban sederhana yang dapat diulangi umat.


= Lagu pembukaan (Introitus):
Tujuannya seperti telah dikemukakan di atas. Sifatnya aktip (untuk mempersatukan umat), meriah (sesuai dengan perayaan Ekaristi yang adalah pesta, terkecuali Adventus, Puasa dan peringatan orang mati.


Bentuknya boleh berupa nyanyian berbait. Teks yang dipakai sebaiknya menceriterakan kembali secara poetis, misteri keselamatan yang dirayakan dan memasukkan ke dalamnya unsur pujian dan permohonan[1]. Diharapkan semua umat/paduan suara melagukannya. Adalah baik kalau umat melagukan refrein sedangkan paduan suara solo. Lagu ini penting (tak boleh diganti) karena memuat tema perayaan. Kalau tak dinyanyikan maka sebaiknya salah seorang wakil umat mengucapkan antifon bersangkutan (dalam setiap perayaan tersedia antifon termaksud).


= Masmur tanggapan:
Sampai kini beredar nama-nama yang tak tepat bagi masmur tanggapan seperti nyanyian antar bacaan/nyanyian selingan. Bahkan ada yang menggantinya seenaknya tidak seperti yang dicanangkan gereja bahwa ia harus diambil dari buku lectionarium (sudah tersedia). Ia bertujuan untuk menanggapi bacaan yang telah dimaklumkan (bacaan I) dan diambil dari masmur yang mempunyai hubungan (sebagai tanggapan) dengan bacaan tersebut. IML 33 menyatakan bahwa ia adalah bagian utuh dari liturgi sabda. Diharapkan agar psalmista, umat dan imam menyanyikan / memadahkan masmur tanggapan itu. Tak boleh dibawakan oleh koor saja sebab ia adalah jawaban umat seluruhnya atas sabda Allah yang telah diwartakan dalam bacaan I itu.


= Bait pengantar Injil:
Di masa paskah dan biasa terdiri dari alleluya dan sebait kata yang dapat diambil dari injil bersangkutan atau lainnya yang cocok dengan tema injil hari itu. Di masa prapaskah tak ada alleluya. Ada nama tak tepat yang dipakai seperti nyanyian selingan sesudah bacaan II. Salah seorang wakil umat melagukan alleluya, umat mengulanginya, wakil umat itu melagukan bait kata-kata itu dan ditutup dengan alleluya yang dilagukan oleh umat seluruhnya. Kalau tidak dilagukan sebaiknya tidak diucapkan.


= Nyanyian persiapan persembahan:
Ia bertujuan untuk mengiringi persiapan bahan persembahan yang dapat dibawakan dalam perarakan umat dan berlangsung selama persiapan persembahan itu berjalan (PUBM 46). Sifatnya meditatip dan dapat berbentuk apa saja. Koor boleh melagukan nyanyian itu, kalau umat semua akan lebih baik. Ia tidak terlalu penting untuk dibawakan / dapat dihilangkan atau diganti dengan instrumen. Kalau tak dilagukan, antifonnya (kalau ada) tak perlu diucapkan. Kalau ada lagu untuk tarian persiapan persembahan maka sebaiknya tidak perlu ada lagi lagu persiapan persembahan yang khusus.


= Nyanyian komuni:
Ia bertujuan untuk mengiringi komuni yang didistribusikan kepada umat dan mempersatukan umat yang berkomuni. Sifatnya aktip (untuk mempersatukan), dapat dilagukan oleh semua peserta atau solis atau paduan suara. Dapat berbentuk mmasmur dengan refrein, atau nyanyian berbait dengan refrein. Nilainya: penting / tak boleh dihilangkan. Dalam perayaan kelompok kecil, sebaiknya dilagukan sesudah semua berkomuni. Ada praktek yang kelewat batas: di waktu pesta-pesta besar, umat diberi kemungkinan untuk membawakan lagu komuni walaupun komuni yang diringi oleh lagu itu sudah selesai. Entah itu masuk akal?


= Nyanyian penutup:
Bertujuan mengiringi perarakan pulang selebran (imam) beserta para pembantunya ke sakristi; ia merupakan nyanyian umat; berbait dan singkat sebagai pengiring.


2. Nyanyian-nyanyian ordinarium:

Nyanyian Ordinarium adalah nyanyian yang sesuai dengan buku-buku resmi yang kata-katanya selalu sama dari perayaan ke perayaan.


= Kyrie:
berasal dari kata Kyrios (sapaan tua kepada Kristus Tuhan). Lagu ini bertujuan untuk menyatakan tobat sambil memohonkan belas kasihan dan kemurahan Tuhan. Sifat dari lagu ini ditentukan oleh tujuannya yaitu tenang, bernada memohon. PUBM 396 menyatakan sebaiknya seluruh umat melagukannya. Nilainya: dapat digabungkan dengan tobat yang mendahuluinya.


= Gloria (Kemuliaan):
Dalam perayaan Ekaristi ada gloria yang disebut doxologi panjang. Ia adalah madah yang sangat dihargakan sejak dulu terlebih di zaman purba. Ia merupakan sarana jemaat yang dikumpulkan oleh Roh Kudus untuk mengungkapkan kemuliaan Allah Tritunggal, kegembiraan dan pujian kepada allah yang sama: Allah Bapa dan Anak Domba serta Roh Kudus. Dilagukan pada hari-hari pesta sekaligus sebagai pengungkap permohonan (PUBM 397). Sifatnya meriah. Dibawakan oleh umat dengan paduan suara atau paduan suara saja.


= Credo (Aku percaya):
Menyatakan iman umate yang bersekutu. Dapat dilagukan oleh umat dan imam. Bentuknya tradisionil seperti dalam Tata Perayaan Ekaristi.


= Sanctus (kudus):
Untuk mengikut sertakan umat dalam Doa syukur agung, guna bersama penghuni surga memuji Allah. Sifatnya aktip, meriah. Harus dibawakan oleh seluruh umat dan imam. Bentuknya tradisionil seperti dalam Tata Perayaan Ekaristi atau nyanyian berbait.


= Agnus Dei (Anak Domba Allah):
bertujuan untuk mengiringi pemecahan Tubuh Kristus, bersifat tenang. Dapat dibawakan oleh paduan suara. Bentuknya tradisionil atau nyanyian berbait.


3. Catatan penting:

Kini orang mulai meninggalkan pola pembagian nyanyian perayaan Ekaristi atas proprium dan ordinarium. Seluruh nyanyian perayaan Eakristi merupakan satu paket yakni nyanyian perayaan Ekaristi. Masing-masing nyanyian itu berperan secara dinamis sesuai dengan gerak dinamis perayaan Ekaristi. Pengelompokan nyanyian perayaan Ekaristi demikian:


= Tingkat I:

Kelompok I ini adalah nyanyian yang berupa aklamasi yang meliputi Alleluya, Aklamasi sebelum dan sesudah Injil, Kudus, Anamnesis, Amin pada akhir Doa Syukur Agung. Termasuk juga aklamasi dialogal yang melibatkan pemimpin dan umat. Pada dasarnya, nyanyian aklamasi tidak boleh didaras; hendaknya selalu dinyanyikan.

= Tingkat II: Kelompok ini meliputi nyanyian Masmur tanggapan dan nyanyian yang melibatkan pemimpin dan umat bersama-sama seperti Kemuliaan, Bapa Kami, Madah Syukur dan Penutup.

= Tingkat III: hanya meliputi nyanyian pembukaan.

= Tingkat IV: nyanyian tambahan yang dapat diganti dengan musik instrumental: persiapan persembahan.

Ilham untuk mengelompokkan nyanyian perayaan ekaristi atas cara demikian rupanya antara lain ditimba dari tulisan orang-orang ini:


+ John Hibbard dalam bukunya “Guidlines for music in the Liturgy, yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas dua yakni: kelompok primer (nyanyian pembukaan, masmur tanggapan, aklamasi Injil, Kudus, aklamasi anamnesis, Amin sesudah Doa Syukur Agung, nyanyian Komuni; Kelompok sekunder yakni Kyrie, Gloria, Jawaban Doa Umat, Bapa Kami dan madah syukur sesudah komuni.


+ Buku Celebration Hymnal yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas tiga yakni Tingkat I yang meliputi nyanyian-nyanyian paling penting yakni aklamasi sebelum dan sesudah Injil, aklamasi dalam DSA (Kudus, Anamnesis dan Amin meriah); Tingkat II yang meliputi Gloria, Masmur Tanggapan; Tingkat III yang terdiri dari nyanyian pembukaan, persiapan persembahan, Komuni dan Penutup.


+ Dokumen Music in Catholic Worship yang dikeluarkan Konperensi Wali Gereja Amerika Serikat yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas lima: Nyanyian aklamasi (Alleluya, Kudus, Anamnesis, Amin; Nyanyian perarakan yakni pembukaan dan komuni; Nyanyian masmur tanggapan; nyanyian Ordinarium (seperti yang dikenal ditambah Bapa Kami) dan nyanian tambahan yang meliputi persiapan persembahan madah syukur serta penutup[2].

Penutup

Orang Latin mengatakan "Qui bene cantat, bis orat" yang berarti yang menyanyi dengan baik, berdoa dua kali. Ungkapan ini dapat meyakinkan kita bahwa nyanyian liturgi sungguh bermanfaat dalam/untuk menyatakan tanggapan peserta perayaan atas sabda Allah, atas karya Allah dan sekaligus merupakan doa yang sungguh berarti.



[1] J. Gelineau, op. cit., hal. 500.

[2] Ernest Maryanto, Praktek liturgi pasca-Vatikan II, dalam Gereja Indonesia pasca-Vatikan II, Kanisius, 1997, hal. 300-301.

Rabu, 10 Agustus 2011

Tata Liturgi Pemakaman Katolik



Kematian bukanlah akhir segala-galanya. Kematian adalah awal hidup baru. Kematian para martir pada abad-abad pertama disebut “saat kelahiran” dalam hidup abadi. Maka peringatan hari kemartiran mereka dirayakan sebagai “dies natalis” (misalnya hari peringatan kemartiran santo Laurensius disebut “dies natalis sancti Laurentii”).
Bagi orang beriman kristiani, mengalami kematian merupakan partisipasi manusia dalam peristiwa kematian Yesus Kristus sebagai langkah penting dalam mengalahkan kelemahan, dosa, maut dan kesementaraan menuju keabadian, hidup, kekudusan dan kemuliaan surgawi.

Upacara Pemakaman

1. Suatu penghargaan terhadap martabat manusia. Manusia utuh, dengan tubuh dan roh (badan dan jiwa) merupakan ciptaan Tuhan yang telah ditebus oleh Tuhan. Orang-orang beriman adalah bait Allah Roh Kudus (1 Kor 6:19).

2. Suatu tanda solidaritas. Dengan upacara ini kita mengungkapan persekutuan antara kita yang masih hidup dengan mereka yang sudah meninggal dunia.

3. Penghargaan terhadap nilai-nilai positip dari budaya setempat dalam hubungan dengan upacara pemakaman dan peringatan arwah. Perlu suatu penelitian dan penilaian terhadap kebiasaan setempat sejauh mana cocok atau bertentangan dengan ajaran iman.
 Misalnya tentang:
  • Upacara memandikan dan mengapani jenasah;
  • Upacara memasukkan jenasah ke dalam peti;
  • Upacara pemberkatan jensah;
  • Upacara perarakan ke kubur dan pemakaman;
  • Upacara peringatan arwah (3,7,40,100,1000 hari sesudah kematian).
4. Kesempatan didaktis pastoral. Peristiwa kematian, suasana sekitar kematian dan upacara pemakaman merupakan suatu kesempatan yang bagus dan peka untuk bertemu dengan banyak orang dan menyampaikaan atau mewariskan nilai-nilai dan keutamaan kristiani seperti persaudaraan iman, harapan, kebangkitan dll. Untuk itu para pelayan perlu mempersiapkan diri dengan baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya agar dapat lebih menyentuh dan menggerakan semua orang yang mengambil bagian dalam kesempatan pemakaman itu.

Makna liturgi pemakaman
1. Peringatan misteri Paska Kristus.
2. Memuliakan Allah dan bersyukur kepada-Nya.
3. Memohon kebahagiaan abadi bagi yang telah meninggal.
4. Mengalami persatuan dengan orang yang meninggal.
5. Menghibur keluarga yang berduka dan menguatkan iman umat.
6. Merupakan kesempatan untuk mewartakan dan menyaksikan iman akan Kristus dan harapan akan kebangkitan.


Tata Ibadah Pemakaman

A. Di Rumah (Rumah Duka) dan Perarakan ke Gereja
  1. Salam
  2. Perecikan, pendupaan jenasah (penaburan bunga atas jensah; pamitan dengan jenasah sesuai kebiasaan setempat).
  3. Penutupan peti jenasah diiringi doa atau lagu.
  4. Doa Pemimpin untuk orang yang meninggal dan untuk keluarga yang berduka.
  5. (Sambutan-sambutan sesuai kebiasaan setempat). Ajakan Pemimpin untuk menghantar jenasah.
  6. Perarakan jenasah ke gedung gereja (dapat diiringi doa dan lagu).
  7. Penjemputan/penerimaan jenasah di depan gereja.
  8. Perarakan ke dalam gereja diiringi nyanyian.
  9. Penutup.

B. Upacara di gereja
  • PEMBUKAAN
1. Salam
2. Kata Pengantar oleh Pemimpin.
3. Tuhan kasihanilah kami.
4. Doa Pembukaan
  • LITURGI SABDA
  • LITURGI EKARISTI
  • UPACARA PEMBERKATAN JENASAH DAN PERARAKAN KE KUBURAN
Dibuat sesudah Tanda Salib dan Salam (kalau tidak ada liturgi sabda dan liturgi Ekaristi), atau sesudah Doa Umat (kalau tidak ada liturgi Ekaristi) atau seusai Doa Sesudah Komuni (bila ada liturgi Ekaristi).
1. Pengantar oleh Pemimpin.
2. Perecikan dan pendupaan jenasah diiringi nyanyian.
3. Doa oleh Pemimpin.
4. (Sambutan-sambutan sesuai dengan kebiasaan setempat).
5. (Kesempatan melihat jenasah dan pamit).
6. Perarakan ke kuburan (diriirngi doa dan nyanyian).

C. Upacara di Kuburan
1. Kata Pengantar oleh Pemimpin.
2. Doa oleh Pemimpin
3. Bacaan.
4. Pemberkatan Makam.
5. Upacara Perpisahan:
* Peti jenasah dimasukkan ke dalam makam diiringi kata pengantar.
* Perecikan peti jenasah.
* (Pendupaan peti jenasah sesuai kebiasaan setempat).
* (Penaburan bunga atas peti jenasah sesuai kebiasaan setempat).
* Penaburan tanah ke atas peti jenasah. Hadirin dapat dipersilahkan untuk melakukannya.
* Pemimpin membuat tanda salib atas peti jenasah.
6. Doa Umat.
7. (Sambutan-sambutan).
8. Penutup.

Rabu, 03 Agustus 2011

ATURAN BUSANA LITURGIS


1. Pendahuluan singkat: Dalam masyarakat, juga dalam perayaan-perayaan, termasuk perayaan liturgis, pakaian khusus mempunyai peranan dan menyampaikan pesan tertentu tentang jati diri pemakainya. Dari pakaian yang dipakai, kita dapat mengenal siapa orang itu. Yang dibahas di sini adalah busana liturgis khusus untuk perayaan Ekaristi, khususnya bagi pelayan khusus.

2. Tinjauan historis:

2.1 Busana jemaat: Rupanya di jaman st. Paulus ada kebiasaan berbusana khusus bagi jemaat, dalam liturgi. (Cf. 1 Kor 11:2.4-5.16). Bahwa kaum pria tidak perlu bertudung kepala, sedangkan wanita sepatutnya bertudung kepala. Tetapi asal usul kebiasaan ini tidak jelas. Kini tidak diberlakukan lagi.

Kemudian tudung kepala itu menjadi tanda pengudusan diri para perawan, yang dilaksanakan dalam upacara liturgis yang disebut velatio.

Suatu kebiasaan lainnya dalam hal busana khusus dalam liturgi ialah pemakaian pakaian putih ketika seorang diinisiaikan dan selama pekan sesudahnya. Karena inisiasi masa itu dilaksanakan pada malam Paskah, maka kebiasaan berpakaian putih ini berlangsung hingga Sabtu sebelum Hari Minggu II Paskah.

2.2 Busana pelayan tertahbis dalam liturgi:

2.2.1 Pada abad-abad pertama: Pada awalnya dalam perayaan Liturgis, tidak jelas adanya ketentuan untuk berbusana khusus bagi para pelayan tertahbis. Tanda pembeda khusus hanya berupa tempat khusus yang diberikan kepada pelayan-pelayan itu. Toh Origenes menyatakan bahwa ketika memimpin inisiasi, uskup mengenakan satu set busana yang berbeda dengan busana untuk mengunjungi umat. Seturut Hironimus dan Hipolitus rupanya dipakai tunika putih, yang mungkin didasarkan pada Imamat 16:4. Sedangkan Theodorus dari Mopsuestia tulis bahwa dalam memimpin inisiasi, hendaknya pakaian uskup berwarna terang dan terbuat dari linen halus. Pakaian diakon yang membantu uskup, hendaknya sesuai dengan tugas yang diemban. Ia mengenakan Orarion (yang kemudian berkembang menjadi stola). St. Ambrosius mencatat bahwa ternyata uskup, imam dan diakon mudah dibedakan dari peserta jemaat yang lain oleh katekumen-katekumen,rupanya karena mereka memakai busana tertentu.Karena itu di abad-abad ini catatan-catatan tentang busana liturgis ada, tetapi tidak terlalu jelas. Di abad ke 4 dan seterusnya, mulai ada perkembangan baru. Penghargaan pemerintah terhadap pejabat-pejabat tingginya, juga diberikan kepada para uskup. Karena itu tanda-tanda penghargaan dalam bentuk busana khas juga diberikan kepada mereka. Sehingga busana-busana liturgis gereja berasal usul sipil seperti tunika, dalmatik, paenula, pallium.

2.2.2 Di abad 8-10 (OR-Ordo Romanus hingga Caeremoniale Episcoporum): Di abad ini busana-busana liturgis semakin mantap tetapi juga semakin berbelit perkembangannya. Saya hanya mencoba menyebutkan beberapa seperti paenula (planeta atau casula), linea dalmatica (dalmatik), analogaium (humerale, amictus-kain bahu), cingulum atau singel. Mappula (dipakai konsul untuk membuka pertandingan, yang dipakai paus untuk memberikan tanda mulainya perayaan liturgi); stola/orarion, orarium; manipel (hiasan bagi mappa), cappa (mantol-pluviale) yang dipakai dalam perarakan). Khusus untuk uskup: tongkat kegembalaan,Mitra, cincin.

2.2.3 Ketentuan masa kini: Sebelum konsili, sudah ada gerakan untuk memperbaharui busana liturgis; konsili mengikutinya, tetapi menyederhanakannya seperti ditulis dalam PUBM 297 - 310. Busana-busana liturgis itu adalah: alba (yang dapat dipakai oleh semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis), singel (dipakai kalau alba kebesaran, kalau alba sesuai atau jubah pengganti alba, maka tidak perlu dipakai), stola berwarna sesuai dengan kasula (untuk yang tertahbis: diakon = menyilang dari bahu kiri ke samping kanan; imam dan uskup = dikalungkan pada leher); kasula yang merupakan pakaian luar, sesuai dengan warna tahun liturgi (hanya dipakai imam dan uskup); untuk diakon, ada dalmatik. Khusus untuk uskup ada cincin, mitra dan tongkat.




Singkatnya ada 3 kategori busana liturgis: Yang dikenakan di bagian dalam (alba dan singel); berlaku bagi semua pelayan liturgis; yang dikenakan di bagian luar: sebagai unsur pembeda seperti kasula, dalmatik, pluviale (mantol waktu perarakan); yang melambangkan fungsi atau tugas khusus: stola (imam, uskup), mitra, tongkat (uskup), pallium (uskup agung).

3. Warna pakaian liturgis: Di gereja katolik Latin, warna pakaian liturgis penting; lain halnya di gereja Timur. Busana liturgis yang berwarna tertentu pula, mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan serta alur perkembangan hidup kristiani sepanjang tahun. Pada awalnya hanya ada satu warna pakaian liturgis yakni putih, tetapi di abad ke 9, ditambahkan warna-warna lainnya. Sesuai dengan ketentuan masa kini, warna liturgis adalah putih lambang kesucian, kemuliaan, dan kemuliaan dalam Kristus; Dapat pula dipakai kuning sebagai pengganti putih, tetapi warna ini rupanya kurang dimanfaatkan, juga di Indonesia; Merah lambang RK, darah, api, cinta kasih, pengorbanan (karena itu cocok untuk pesta RK, para martir dan Jumat Besar); Ungu lambang tobat, duka, mati raga (Adven dan Prapaskah); Hitam mempunyai makna yang sama dengan ungu dan kini lebih banyak dipakai warna ungu. Hitam menghilang dari pemakaian; Hijau lambang harapan, syukur dan kesuburan.

4. Makna teologis busana liturgis:

Secara umum: Pakaian merupakan tanda siivilisasi, serta tanda martabat seseorang dalam lingkungan masyarakat tertentu. Ia juga meemperingatkan kita akan bukti kasih Tuhan yang tetap melindungi kita sesudah dosa. Pakaian karung (kitab suci dan tradisi purba) melambangkan sikap tobat umat manusia. Pakaian juga merupakan tanda pengungkap hidup yang telah ditransformasikan dalam Kristus.

4.1 Pakaian spesial (liturgis bagi para pelayan): Busana liturgi mengungkapkan hidup gerja dalam Kristus. Kristus memanggil setiap orang dan setiap orang menanggapinya atas cara yang berbeda. Karena itu ada perbedaan tugas dan fungsi di kalangan umat Allah; Liturgi merupakan suatu perayaan yang menuntut partisipasi sesuai dengan fungsi masing anggota. Hal ini menyata dalam pakaian yang dikenakan selama perayaan liturgi berlangsung. Pelayan-pelayan, terutama pelayan tertahbis biasanya mengenakan busana khusus yang lain dari yang dikenakan jemaat lainnya.

Yang berperanan sebagai pemimpin yang “melayani” biasanya mengenakan busana liturgis khusus; hal ini menandakan bahwa umat Allah yang membentuk jemaat liturgis itu terdiri dari pemimpin dan yang dipimpin (terdiri dari pribadi-pribadi unik); serta Tuhan yang diimani adalah satu dan sama (yang dilambangkan oleh pemimpin). Busana liturgis juga memperlihatkan suasana pesta dari liturgi yang dirayakan; ada keyakinan bahwa liturgi itu suatu pesta (perayaan meriah) sebab liturgi merupakan puncak kehidupan umat (KL 10). Karena itu PUBM no 306 menyatakan bahwa busana liturgis hendaknya indah dan agung.

Di bawah ini saya kemukakan busana-busana liturgis aktual serta maknanya masing-masing:

+ Kasula lambang distinktif tugas seorang imam (dan uskup), yang diemban. Biasanya dipakai dalam perayaan Ekaristi. Asal katanya: Latin, “Casula” yang berarti rumah kecil; Sejarah menyatakan bahwa kasula mempunyai makna simbolis: lambang kuk yang harus dipikul seorang imam. Pakaian liturgis yang berfungsi hampir sama dengan kasula adalah dalmatik untuk diakon; di waktu perarakan, dipakai mantol (pluviale).




+ Stola: menilik asal usulnya, stola berhubungan dengan orarium / orarion yakni handuk yang biasanya dibelitkan di leher sebagai pemanas leher di musim dingin. Dapat juga dipakai untuk melap tangan dan mulut. Diberikan kepada diakon (pelayan pembantu uskup dalam liturgi di dunia) dan kemudian dilihat sebagai sayap para malaikat yang melayani dalam liturgi surgawi. Stola adalah lambang tugas yang diemban sehingga dalam konselebrasi, kalau kasula tidak cukup tersedia, maka diharapkan paling kurang ada stola yang dipakai di atas jubah atau alba. Warnanya sesuai denga kasula yang pada umumnya sesuai dengan masa dalam tahun liturgi. Khusus untuk uskup agung yang membawahi beberapa uskup lain, ada sejenis stola yang disebut pallium.




+ Alba yang biasanya berwarna putih, dapat dipakai semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis; Ia melambangkan kemurnian hati dikurniakan dalam sakramen Baptis.




+ Lambang-lambang khusus untuk uskup: mitra (sejenis topi bercabang dua - terbelah di tengah) sebagai lambang tugas uskup dalam membela keadilan, kebenaran; cincin yang dipakai di jari tangam kanan sebagai lambang kesetiaan uskup terhadap gereja; Tongkat lambang tugas kegembalaan uskup.




4.2 Makna pakaian biasa (yang dipakai umat): Pakaian yang dikenakan umat (berbeda-beda dalam bentuk, jenis) mempunyai makna simbolis tersendiri: jemaat yang merayakan liturgi (puncak kehidupan kristiani) adalah umat yang siap untuk diutus guna bersaksi tentang Kristus. Mengenakan pakaian biasa (hendaknya baik, bersih) berarti selalu siap untuk diutus.




5. Kemungkinan inkulturasi:

Teks pendukung: KL 128

Liturgicae instaurationes:

PUBM 304 dan 305.

Dokumen-dokumen itu menjadi dasar inkulturasi busana liturgis. Inkulturasi yang merupakan tugas waligereja setempat. Teks-teks terkait menyebutkan bahwa bentuk dan bahan pembuat busana liturgis itu dapat disesuaikan; sedangkan warna, tidak disebutkan. Karena itu tugas waligereja setempat yang dapat diwakili komisi liturgi keuskupan (wali gereja) adalah mencari bentuk asli busana lokal yang dapat dipakai untuk menginkulturasikan busana liturgis. Yang tengah dibuat di Indonseia, juga di Timor adalah busana liturgis yang bermotif Indonesia, Timor (terbuat dari tenunan), tetapi bentuk dan warna masih bersifat Barat. Manakah bentuk serta warna asli Timor itu yang dapat dipakai sebagai pengungkap misteri liturgi yang dirayakan?

Ada empat aspek yang harus dipedomani dalam membuat inkulturasi busana liturgi (sesuai sidang pleno Komisi Liturgi KWI): lihat halaman: 13.

6. Penutup: Bagaimanapun, busana liturgis itu adalah busana pelayanan demi kepentingan jemaat dan demi kemuliaan Tuhan. Ia adalah sarana simbolis yang tentunya bermakna simbolis pula. Busana liturgis inkulturatip menyatakan bahwa kita hendak memuji dan memuliakan Allah dengan seluruh kemampuan manusiawi kita ketika berliturgi.

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget