Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Minggu, 23 Maret 2014

Sejarah Gereja Kupang, Masa Keuskupan Agung Kupang

Tahta Suci pada 3 Juni 1961 memberikan status hirarchi kepada Gereja Katolik Indonesia melalui dekrit Acta Apostolica Sedis no LIII/61. 

Kupang, Alor, TTS masuk dalam wilayah keuskupan Atambua, dibawah Keuskupan Agung Ende. Dalam kaitan dengan status tersebut, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan SK no. 89/1995. Nomor 5 dari diktum tersebut menandaskan:

Keuskupan Agung Ende meliputi wilayah bekas vikariat apostolik Ende, Keuskupan Larantuka (bekas vikariat apostolik Larantuka), Keuskupan Ruteng (bekas vikariat apostolik Ruteng), keuskupan Atamabua (bekas vikariat apostolik Atamabua) Keuskupan denpasar (bekas prefektur apostolik Denpasar) dan Prefektur apostolik Weetebula.

Hirarki merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan, sekaligus merupakan suatu tantangan yang mendorong segenap umat Katolik Indonesia untuk meningkatkan tanggungjawab terhadap Gerejanya. Dengan hirarki nama misi mulai dihapuskan menjadi gereja setempat atau gereja lokal.

Sejak mendapatkan status hirarki hingga terbentuknya keuskupan Agung Kupang terjadi perkembangan teritorial dan kategorial. Beberapa buah stasi dan paroki baru dibentuk. Stasi Buraen-Amarasi dibentuk pada 1965 dengan pelindung St Yohanse Pemandi. Camplong dibentuk pada 1967 dibawah perlindungan Yosepf Freinademetz. Paroki Arnoldus Janssens dibentuk pada 1965 untuk wilayah Niki-niki. Paroki St maria Immaculata Kapan dibentuk pada 1967. Demikian halnya dengan Paroki St Paulus Oinlasi dan St Columba Putain.

Pembinaan kategorial keluarga katolik diawali dengan sistem kartu keluarga Katolik. Namun pembinaan pastoral ketegorial yang sistematis dan maksimal tidak dapat dijalankan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial politik menjelang G30S/PKI. Segala sektor kegiatan dipengaruhi suasana politik. Penduduk diadudomba antara kelompok dan golongan. Umat katolik yang masih merupakan golongan minoritas memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Dalam mempertahankan eksistensinya mereka sering melakukan tindakan-tindakan dengan pengorbanan penuh. Setelah keadaan pulih sesudah G30S/PKI gereja Katolik mulai berbenah diri mengikuti derap langkah pembangunan nasional.

Perkembangan ini berlangsung hingga terbentuknya Keuskupan Kupang pada tahun 1967. Peningkatan status ini dikukuhkan melalui sebuah keputusan yang dikeluarkan Serikat Propaganda Fide di Roma no. 2684/1967 tertanggal 13 April 1967. Saya (Mgr Monteiro) yang ketika itu bertugas sebagai rektor Seminari Pius XII Kisol, Manggarai ditunjuk takhta suci sebagai Uksup Diosis Kupang pertama. Saya ditahbiskan menjadi Uskup Kupang pada tanggal 15 Agustus 1967 oleh yang Mulia Mgr Gabriel Manek, SVD Uskup Agung Ende.


Pada tahun 1989 Keuskupan Kupang menjadi Keuskupan Agung Kupang.

Catatan: perkembangan sejarah setelah menjadi Keuskupan Agung Kupang sementara disiapkan oleh Tim Khusus dalam rangka Perayaan 25 tahun Keuskupan Agung Kupang, 2014.

Sabtu, 22 Maret 2014

Sejarah Gereja Kupang, Gereja Katolik Zaman Kemerdekaan

Soekarno membacakan naskah Proklamasi (wiki)
Memasuki zaman kemerdekaan, status Gereja Timor masih sebagai Vicariat Apostolik sejak tahun 1936 dengan Vicaris Mgr Y Pessers SVD. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, bahwa para misionaris yang diinternir mulai berdatangan. Pater Kersten dan Schroeder yang tiba pada 2 Oktober 1946 dibenum di Kupang (1946-1958) dengan wilayah parokialnya mencakup Soe, Alor, Rote dan Sabu, yang secara periodik dilayani dari Kupang. Paroki Sabu dan Rote secara resmi dibentuk pada tahun 1956, di bawah perlindungan St Christoforus.

Di alam kemerdekaan, di bawah naungan Pancasila dan UUD 45 (bdk ps29) kehidupan beragama mengalami perkembangan yang menggenbirakan. Upaya peningkatan kualitas iman, sarana prasarana fisik serta organisasi gerejani mulai ditata dan dikembangkan. Hal-hal tersebut antara lain mencakup: perkembangan teritorial dan kategorial, iman dan karya-karya sosial; Regio Timor dibentuk pada tahun 1947, dengan Pater Yosep Dufels ditunjuk sebagai regional-provinsial yang berkedudukan di Halilhulik; Vicariat Apostolik Timor mendapat nama baru, yakni Vicariat Apostolik Atambua, tempat residensi vicaris; Stasi dan kapela-kapela dibentuk dan untuk membantu pelayanan karya pastoral disusun badan yang dinamakan Majelis Gereja yang kini dinamakan Dewan Pastoral Gereja (DPP).

Demi menunjang karya pengembangan iman, Pater J Kresten menyusun sebuah katekismus. Berbagai kegiatan inkuturatif banyak dilakukan oleh Pater V Lechovic. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut berupa:
- Terjemahan naskah Kitab Suci (Sulat Knino), baik Kitab Perjanjian Lama (Fef Bela Mna) maupun Kitab Perjanjian Baru (Fef Bela Feu)
- Terjemahan naskah Katekismus (Katekismus In Nesan)
- Terjemahan kumpulan doa (Oe Mat Neno) dan kumpulan lagu Ibadat (Tsi Tanaeb Uis Neno).

Perhatian dan pelayanan Katekese umat basis serta kerasulan Kitab Suci secara intensif dilaksanakan pada masa bakti Pater Daniel Siga (1959-1961). Kunjungan pastoral keluarga digalakkan pada masa bakti pater John Nelissen SVD (1961-1967).

Menyangkut pelayanan dalam bidang sosial dapat dikemukakan hal-hal berikut. Perhatian bidang sosial karitatif sangat menonjol. Pater Lechovic SVD dan Pater J Kersten, SVD melakukan kunjungan rutin dan membantu para pasien yang kurang mampu. Dalam kaitan dengan pelayanan bidang pendidikan, Pater Kersten menulis buku ajar (teori musik sederhana) Tangga Bacaan Do Mi Sol. Buku tersebut diperuntukkan bagi murid pemula dalam jenjang pendidikan sekolah dasar (SR). Penyelesaian tugas penulisan buku ajar ini mendapat banyak bantuan dari pastor kapelan N Visser SVD. 

Dalam kaitan dengan konservasi tanah-alam lingkungan alam Gereja Katolik memperlihatkan sikap kepedulian yang tinggi. Pastor kapelan Dr Jan van Doormal SVD mensponsori gerakan lamtoronisasi di wilayah kerajaan Amarasi. Jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) Katolik yang pertama dibuka tahun 1951. Lembaga pendidikan ini dikelola oleh Frater Bunda Hati Kudus (BHK dari Utrecht Belanda. (sekarang SMP Katolik Giovanni Kupang)

Pada awal jaman kemerdekaan, Bruder Agustinus Grijben SVD mulai membangun gedung gereja Kupang. Dengan demikian gedung Gereja Katolik Airnona dan Bakunase yang dipakai pada masa perang ditinggalkan. Gedung Gereja Kupang dikonsekrir pada tahun 1948. Pada tahun 1967 gedung ini dirombak dan diatas pondasinya dibangun gedung rumah pastoran.

Sarana transportasi laut yang sangat berjasa bagi aneka pembangunan fisik Gerejani di Nusa Tenggara Timur umumnya dapat disebutkan antara lain sebagai berikut:
1. Kapal motor Arnoldus yang beroperasi sejak tahun 1932
2. Kapal motor Theresia tahun 1946
3. Kapal motor Siti Nirmala tahun 1955
4. Kapal motor Stella Maris tahun 1959
5. Kapal motor Ratu Rosari tahun 1964
6. Kapal motor Ama tahun 1964.
Sarana transportasi ini berjasa bagi pengangkutan tenaga personil gerejani dan bahan bangunan gerejani NTT, termasuk Kupang.


*Bersambung ke bagian 5: 
Masa Keuskupan Agung Kupang
Dikutip dari Mgr Gregorius Monteiro, SVD, Lintasan Sejarah Keuskupan Agung Kupangdalam Memoir Uskup Keuskupan Agung Kupang, 1997

Jumat, 21 Maret 2014

Sejarah Gereja Kupang, Gereja Katolik Zaman Jepang

Pasukan Jepang (dan Australia) di Timor
Pendaratan Jepang terjadi pada 19-20 Februari 1942 di Kupang (Batulesa) dan Kolbano (TTS). Pasukan Sekutu tidak mampu membendung invasi Jepang, yang dalam waktu singkat pemerintahan militerisme Rikugun (angkatan laut) menguasai pulau Timor.

Nusa Tengggara Timur (Kepulauan Sunda Kecil) dibagi atas tiga wilayah administratif yang disebut Ken. Setiap Ken dikepalai oleh Ken Kantrikan. Kupang dan TTS termasuk dalam wilayah administratif Timor Ken. Tingkat afdelingdan onderafdeling disebut bunken dan suco. Pada masa-masa awal pendudukan, Jepang memperlihatkan sikap yang ramah. Selanjutnya kekejaman Jepang mulai nampak melalui berbagai bentuk tindakan kekerasan.

Kehidupan Gereja Katolik pada jaman pendudukan Jepang sangat merana. Para misionaris diinternir setelah selama setahun ditahan di Atambua. Lokasi tujuan tempat internir mula-mula di Pare-pare, selanjutnya ke Bojo lalu ke daerah pegunungan yang bernama Bolong. Lokasi-lokasi tersebut berada di Sulawesi Selatan.

Dalam keadaan yang sangat mencekam, pada 12 Januari 1942, kawasan Keuskupan Agung Kupang ini dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus. Pemeliharaan iman dan pewartaan rohani dengan sepenuhnya ditangani oleh para guru agama dan guru sekolah (awam). Bertumpu pada semangat iman yang tangguh dengan dibekali pengetahuan yang sangat minim dan sederhana, para awam tersebut telah mempertaruhkan segala-galanya demi kelangsungan hidup Gereja di Kupang, TTS dan Alor-Pantar. Hal ini berlangsung terus hingga perang dunia kedua berakhir.

Pusat kegiatan pelayanan pastoral pada masa Jepang dilancarkan dari Airnona dan Bakunase disebabkan oleh penempatan perwira militer Jepang di Bonipoi. Bekas pastoran Bonipoi pernah menjadi sasaran pengeboman Sekutu. Setelah perang berakhir, Gereja Bonipoi dipugar kembali. Kerusakan bangunan fisik yang dialami gereja Katolik, secara relatif kurang jika dibandingkan dengan yang dialami umat Protestan. Hal tersebut merupakan penyelenggaraan ilahi dengan menghadirkan Uskup Yamaguchi dan beberapa imam sekulir berkebangsaan Jepang di Nusa Tenggara Timur.

Penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, membawa angin segar bagi perkembangan gereja Katolik di tanah air. Para misionaris yang ditawan, secara perlahan-lahan mulai berdatangan. Perkembangan gereja pada masa kemerdekaan diuraikan secara garis besar dalam bagian berikutnya.

*Bersambung ke bagian 4: 
Dikutip dari Mgr Gregorius Monteiro, SVD, Lintasan Sejarah Keuskupan Agung Kupang dalam Memoir Uskup Keuskupan Agung Kupang, 1997

Kamis, 20 Maret 2014

Sejarah Gereja Kupang, Gereja Katolik Awal Abad XX

Pakaian tradisional Rote
Secara umum, memasuki abad XX, perkembangan Gereja Katolik memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Bagi wilayah Keuskupan Agung Kupang, justru sebaliknya. Pada tahun 1900 pemerintah Belanda menegaskan lagi mengenai pembagian wilayah kerja misi dan zending. Penegasan tersebut berisi: pulau Flores dan daerah kepulauannya diserahkan kepada misi katolik. Zending mendapat dua daerah di Pulau TImor Belanda yakni Kupang, Timor Tengah Selatan, di samping Pulau Sabu, Rote, Alor Pantar dan Pulau Sumba.

Dekade II abad XX, karya misi di pulau Timor diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Hal ini terjadi pada tahun 1913. Pada tahun yang sama, pulau TImor menjadi Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1913-1920). Berbagai kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perang dunia pertama di Eropa, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memberikan beberapa kemudahan kepada gereja Katolik. 

Kemudahan tersebut antara lain:
1. Pemerintah Hindia Belanda memperkenankan misi katolik mengelola pendidikan dan memberikan bantuan finansial. Hal serupa telah dilaksanakan pada tahun 1913 melalui Flores-Sumba Contract/regeling.
2. Pada 5 Februari 1916 Asisten Residen Gramberg mengumumkan bahwa pemerintah (Belanda) memberikan izinan bagi Gereja Katolik untuk berkarya di wilayah Onderafdeling Kupang, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.
3. Pada tanggal 12 Maret 1920 status Prefectur Apostolik ditingkatkan menjadi Vicariat Apostolik. 

Didasari pada pengumuman pemerintah tahun 1916 di atas, dalam status Vikariat Apostolik, secara perlahan-lahan Gereja Katolik dengan agak leluasa dikembangkan di Kupang dan TTS. Gereja Bonipoi (sekarang Katedral) mulai dibangun pada tahun 1922. Dekenat Timor dibentuk pada tahun 1927. Pelayanan pastoral dari Kupang ke Soe (TTS) mulai dilakukan dengan lebih teratur oleh P Jan Pessers, SVD sejak tahun 1932.

Langkah-langkah perkembangan Gereja Katolik semakin cerah sejak tahun 1935. Gubernur jenderal Hindia Belanda, De Jonge pada tahun 1935 menyatakan dukungan serta pengesahan terhadap pengumuman tahun 1916 yang mencakup izinan bagi Gereja Katolik berkarya di Kupang, TTS dan TTU. Gereja Katolik Soe mulai dibangun pada tahun 1937. Vikariar Apostolik Timor dibentuk pada tahun 1936/1937 dengan vikaris pertama Pater Yakobus Pessers (16 Juni 1937). Pater Heinrich Schrouder dibenum sebagai pastor pertama yang menetap di Kupang.

Kupang menjadi pusat misi katolik bagi daerah-daerah sekitarnya. Gedung gereja dikembangkan pada tahun 1936 dan dipergunakan untuk berbagai kegiatan. Di tengah suasana kalut menjelang perang dunia kedua, Residen di Kupang mengeluarkan lagi izinan resmi terhadap pembukaan stasi-stasi misi katolik di Kupang, Timor tengah Selatan, Alor-Pantar, Sabu dan Rote. Dalam situasi yang sama pada tahun 1939 sejumlah besar orang Timor Tengah Selatan menerima baptisan sebagai Katolik. Selanjutnya keadaan menjadi semakin tak menentu hingga pasukan Jepang mendarat pada tanggal 20 Februari 1942.**

*Bersambung ke bagian 3: 
Dikutip dari Mgr Gregorius Monteiro, SVD, Lintasan Sejarah Keuskupan Agung Kupang dalam Memoir Uskup Keuskupan Agung Kupang, 1997

Rabu, 19 Maret 2014

Sejarah Gereja Kupang, Gereja Katolik Abad XVI-XIX


The Harbour of Koepang (jadul)
Dari kacamata Gereja, kehadiran Bangsa Portugis yang membawa agama Katolik ke wilayah Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu akibat perjanjian Tordesilas 1494. Paus Alexander VI menyerahkan kepada bangsa Portugis, belahan bumi bagian Timur. Bangsa Spanyol mendapat daerah garapan evangelisasi di belahan Barat dunia. Garis demarkasi terletak pada meridien 30 mil di sebelah barat kepulauan Azores -Tanjung Hijau. Dalam perkembangan selanjutnya, garis demarkasi ini dikukuhkan pula dengan perjanjian Saragosa pada 1529. Dengan demikian Nusa Tenggara Timur bahkan Indonesia pada umumnya merupakan wilayah karya misioner bangsa Portugis.

Setelah kejatuhan Malaka 1511, bangsa Portugis melanjutkan ekspedisinya ke arah Indonesia, walaupun mendapat banyak tantangan dari kerajaan-kerajaan Islam Indonesia. Bangsa Portugis mencapai Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Peristiwa ini terjadi pada abad XIV. Sejak saat itu hingga abad XIX, bangsa Portugis berkarya di kawasan Nusa Tengggara Timur.

Karya misi yang tidak lain merupakan evangelizatio atau implementatio ecclesiae (penanaman iman Gereja) dilakukan secara gencar oleh bangsa Portugis. Di dalam diri setiap bangsa ini tertanam pesan bablar con Dios (bergaul dengan Tuhan) di mana saja dan kapan saja. Ke mana saja bangsa ini pergi, karya misioner yang dipandangnya sebagai tugas suci, tak terpisahkan dari kehidupan hariannya.

Pertumbuhan umat dalam pertengahan abad XVI (1556 P Antoni de Taveiro) memperlihatkan tanda-tanda menggembirakan. Secara periodik pelayanan iman dilancarkan dari Lohayong - Solor ke pulau Timor, Sabu dan Rote. Secara resmi misi Timor dimulai pada 1561, ketika Uskup Malaka, Don Jorge de Santa Lusia OP mengutus tiga orang misionaris Dominikan. Perutusan ini merupakan jawaban terhadap permohonan P Antonio de Taveiro pada tahun 1556.

Dalam dekade pertama abad XVII (1613) raja Kupang, Ampono dibaptis menjadi Katolik, mengikuti jejak Ratu Mena. Kebijakan yang ditempuhnya merupakan pertanda bahwa raja Kupang bersekutu dengan bangsa Portugis.

Menanggapi langkah tersebut, rivalnya raja Nisnoni Sonbai menjalin hubungan persahabatan dengan VOC (Belanda) yang menganut agama Protestan Kalvinis. Selanjutnya Ratu kerajaan Ambenu, Raja Amanuban, Rote dan Sabu mengirim utusan ke Larantuka untuk menyatakan keinginan mereka bekerjasama dengan bangsa Portugis dan memeluk agama Katolik. 

Hal yang sama terjadi pada diri Raja Amabi dan Amarasi pada tahun 1636. Raja Amarasi yang dibabtis menjadi Katolik memilih nama Augustinus. Kejatuhan Malaka ke tangan Belanda pada tahun 1641 mempertinggi desakan intensitas pengaruh Belanda (Protestan Kalvinis) dan armada dagang (Islam) di kawasan Nusa Tenggara Timur.

Pada tahun yang sama ditandatangani perjanjian kontrak kerjasama antara bangsa Portugis dan Lifao serta Mena. Bangsa Portugis mendapat hak monopoli perdagangan cendana sebagai imbalan kewajiban melindungi mereka. Keinginan Belanda untuk menguasai sepenuhnya kawasan NTT diatur pada tahun 1642 bersama bangsa Portugis. Perjanjian tersebut berisi:
    1. Bali dan Lombok diserahkan kepada Belanda
    2. Kedua bangsa mempunyai hak yang sama untuk berdagang di Bima dan Pulau Timor
    3. Belanda setuju untuk membatasi ruang gerak di Kupang, Sabu dan Rote serta Lohayong yang telah direbutnya pada tahun 1613
    4. Larantuka dan Sikka tetap menjadi milik bangsa Portugis.

    Sementara itu upaya menanamkan iman katolik ke seluruh pulau Timor ditingkatkan. Pater Antonio de Sao Jacinto, OP meningkatkan peran melalui para raja, yang selanjutnya diikat dengan semacam kontrak kerja sama. Raja Kupang, Duarte beserta isterinya Mariana berhasil dibabtis jadi Katolik. Isi kontrak yang disepakati berbunyi sbb:
      1. Raja Kupang, permaisuri dan tokoh-tokoh penting menjadi kawula Portugis
      2. Pater Antonio (Portugis) diperkenankan untuk mendirikan Gereja dan benteng
      3. Kapal dagang yang diperkenankan menyinggahi pelabuhan Kupang, hanyalah kapal Portugis.
      Berdasarkan perjanjian tersebut, untuk menguasai Kupang yang strategis, Pater Antonio mengubah pastorannya menjadi benteng pertahanan. Benteng tersebut terletak pada sebuah puncak bukit dekat pelabuhan Kupang yakni lokasi asrama benteng sekarang. Pandangan yang jauh ke depan yang dimiliki oleh Pater Antonio serta pendekatannya kepada raja untuk menanamkan iman katolik di pulau Timor, menyebabkan beliau pantas dijuluki Rasul Pulau Timor.

      Pada 1652 VOC Belanda masuk ke Kupang dan merebut benteng yang dibangun Pater Antonio. VOC selanjutnya memugar benteng dan memberinya nama Fort Concordia pada tahun 1657. Yakob van der Heyden ditempatkan di Kupang sebagai operhoofd pertama. 

      Kedatangan VOC disambut dengan gembira oleh Raja Nisnoni. Sebaliknya raja-raja Timor lainnya seperti Ampono, Amtiran, Amarasi, Amabi, Amanuban Sonbai dan Amfoang yang telah menganut agama Katolik kurang baik menerima VOC (Belanda). Reaksi para raja tersebut menyebabkan Belanda mengalami kesulitan menerobos masuk daratan pulau Timor.

      Ketegangan yang terjadi disudahi dengan bentrokan bersenjata. Perang yang terjadi 1655 di pulau Semau (Chimar) menewaskan Yakob van der Heyden, operhoofd pertama. Perang dan kemenangan berikutnya yang dicapai di Amarasi, mempertebal rasa percaya diri kaum Portugis hitam, karena Belanda ternyata dapat dikalahkan. 
      Walaupun kemenangan diraih bangsa Portugis (Katolik), namun mereka senantiasa menyadari betapa kuat potensi yang dimiliki Belanda (Protestan Kalvinis). Untuk menghindari suatu perkembangan yang berakibat fatal, kedua bangsa kulit putih itu menandatangani sebuah kontrak di Lisabon pada 1662. Kawasan Nusa Tenggara Timur dibagikan kepada VOC dan Portugis. Belanda (Protestan) mendapat Pulau Timor bagian Barat yang mencakup Kupang, Timor Tengah Selatan, Sabu, Rote dan pulau Sumba. Bangsa Portugis mendapat Pulau Timor bagian timur yang mencakup Timor Timur, Belu dan Timor Tengah Utara dan Pulau Flores. 

      Sejalan dengan kontrak tersebut ditandaskan bahwa barang siapa ingin tetap menganut agama Katolik, harus berpindah ke wilayah Portugis. Agama Katolik di daerah VOC digantikan dengan agama Protestan Kalvinis. Bertolak dari prinsip cuis regio, eius religio yang dianut pada saat tersebut, maka kehidupan perkembangan agama Katolik di Kupang dan Timor Tengah Selatan (wilayah Belanda) sangat suram.

      Kedudukan VOC semakin kokoh dan menunjang sepenuhnya perkembangan agama Protestan. Dalam karya penyebaran agama, VOC berada dalam masa Oud Holandsche Zending. Pusat Gereja Kristen adalah di negeri Belanda. Pelayanan pastoral zending dilancarkan dari Batavia dan Ambon. Perhatian yang besar dicurahkan VOC terhadap usaha penyebaran agama, dilandasi pada UU Belanda, artikel 36: Pemerintah bertugas untuk memelihara gereja yang kudus, untuk memberantas, melawan agama palsu dan penyembaha berhala, untuk memusnahkan kerajaan anti Kristus dan memajukan Kerajaan Yesus”.
      Dengan kata lain, Pemerintah Belanda bertugas mengkristenkan (Protestan) bangsa-bangsa yang dikuasainya. 

      Namun tak dapat disangkal bahwa hal ini tak dapat dilakukan secara murni karena tugas keagamaan, politik dan ekonomi tidak dapat berjalan berbarengan secara harmonis dan seimbang. Keadaan kehidupan Gereja Katolik sangat suram. Hal ini disebabkan oleh faktor politik seperti disebutkan diatas, juga karena kondisi intern Gereja Katolik.

      Di Pulau Timor sering terjadi pertentangan antara misionaris dan petugas pemerintah (Portugis), antara personil Portugis hitam dengan pejabat Gubernemen yang dikirim dari Goa-Lisbon. Pertentangan antar ordo misioner di kawasan ini, juga merupakan salah satu unsur kelemahan. Menyangkut masalah terakhir ini, Paus menegaskan agar selain Dominikan, ordo-ordo lain seperti Jesuit, Fransiskan dan Salib Suci juga diperkenankan bekerja di kawasan ini.

      Pada sisi lain, perkembangan agama Protestan yang dilakukan dengan gencar di bawah dukungan pemerintah (VOC) juga merupakan kegiatan yang sangat membatasi perkembangan agama katolik. Para penyiar agama Protestan dalam waktu yang relatif singkat secara mengagumkan memasukkan penduduk pulau Rote dan Sabu ke dalam pangkuan agama Protestan. Sekolah-sekolah didirikan untuk menunjang karya zending.

      Memasuki abad XIX kondisi penyebaran agama Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang masih tetap suram. Hal ini disebabkan juga oleh kondisi dalam negeri Portugal. Setelah keruntuhan VOC, Republik Batavia memerintah seluruh kawasan Hindia Belanda. Sistem pemerintahan Barat diterapkan diseluruh kawasan jajahan ini.

      Kupang dijadikan sebagai pusat karesidenan Timor, yang merupakan bagian dari Propinsi Timur Besar dengan pusatnya di Makassar. Kupang, Rote, Sabu dan Timor Tengah Selatan termasuk onderafdeling dari afdeling Timor dan daerah kepulauannya. Onderafdeling Kupang dengan ibukotanya Kupang, membawahi daerah-daerah yang mencakup wilayah gubernemen Kupang, swapraja Kupang, Amarasi, Fatuleu dan Amfoang. Onderafdeling Rote dengan ibukotanya Baa, membawahi swapraja Sabu. Onderafdeling Timor Tengah Selatan (Zuid Midden Timor) membawahi tigabuah swapraja yang mencakup Molo, Amanuban dan Amanatun. 

      Kondisi eksternal global yang turut mempengaruhi kondisi kehidupan beragama di kawasan ini antara lain Revolusi Prancis, Paham Jansenisme, nasionalisme Eropa serta pembaruan Serikat Jesuit (sementara 1773-1814).

      Pada awal abad XIX (1807) dibentuk Prefektur Apostolik Batavia. Wilayah yurisdiksinya mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) termasuk Kupang. Pada saat itu, pelayanan pastoral dilaksanakan dari Batavia (Jakarta) dan Dili. Situasi politik dan kekurangan personil masih merupakan faktor dominan yang melemahkan kehidupan agama Katolik di kawasan ini. walaupun demikian, penduduknya masih tetap mengakui diri sebagai penganut agama Katolik dan tidak bersedia untuk masuk Protestan atau Islam.

      Tapal batas antara wilayah kekuasaan bangsa Portugis dan Belanda tidak jelas; sering terjadi kesalahpahaman dan pertikaian bersenjata. untuk mengatasinya sering dibuat serangkaian perdamaian dan kontrak. Diawali perjanjian 1662, melalui perjanjian Lisabon 1859, bangsa Portugis menyerahkan pulau Timor bagian Barat kepada Belanda. Inilah titik awal yang membedakan penyebaran agama Kristen Protestan dan Katolik.

      Pada 1853, sebelum perjanjian Lisabon, Pater Gaspar Hezelle mengunjungi pulau Timor, Kupang dan Timor Tengah Selatan. Kegiatan misi Katolik mulai ditata kembali oleh misionaris Yesuit yang diawali dengan kunjungan Pater Gregor Metz SJ (1865-1913). Pelayanan terhadap wilayah Keuskupan Kupang dilancarkan dari Atapupu, kemudian pada 1879 dari Lahurus. Misionaris yang sering mengunjungi kawasan ini antara lain Pater Kraatanger dan Dijkman.

      Pelayanan Gereja di bawah Jesuit, memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Kendala yang ada pada waktu itu, selain kekurangan personil misionaris serta iklim Timor yang sangat keras (malaria), juga dikarenakan oleh munculnya karya zending Protestan. Kegiatan zending dikoordinir oleh Indische Kerk. Seperti diungkapkan di atas, bahwa kegiatan misi katolik dilancarkan dari Atapupu. Penunjukan Atapupu sebagai pusat misi Timor, disetujui pemerintah Belanda. Hal ini terjadi pada masa bakti Mgr A. C. Claesens, Vikaris Apostolik Batavia (1874-1893).

      *Bersambung ke bagian 2: 
      Perkembangan GerejaKatolik Awal Abad XX

      Dikutip dari Mgr Gregorius Monteiro, SVD, Lintasan Sejarah Keuskupan Agung Kupang dalam Memoir Uskup Keuskupan Agung Kupang, 1997

      Popular Posts

      Recent Posts

      Unordered List

      Text Widget