 |
The Harbour of Koepang (jadul) |
Dari kacamata Gereja, kehadiran Bangsa Portugis yang membawa agama Katolik ke wilayah Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu akibat perjanjian Tordesilas 1494. Paus Alexander VI menyerahkan kepada bangsa Portugis, belahan bumi bagian Timur. Bangsa Spanyol mendapat daerah garapan evangelisasi di belahan Barat dunia. Garis demarkasi terletak pada meridien 30 mil di sebelah barat kepulauan Azores -Tanjung Hijau. Dalam perkembangan selanjutnya, garis demarkasi ini dikukuhkan pula dengan perjanjian Saragosa pada 1529. Dengan demikian Nusa Tenggara Timur bahkan Indonesia pada umumnya merupakan wilayah karya misioner bangsa Portugis.
Setelah kejatuhan Malaka 1511, bangsa Portugis melanjutkan ekspedisinya ke arah Indonesia, walaupun mendapat banyak tantangan dari kerajaan-kerajaan Islam Indonesia. Bangsa Portugis mencapai Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Peristiwa ini terjadi pada abad XIV. Sejak saat itu hingga abad XIX, bangsa Portugis berkarya di kawasan Nusa Tengggara Timur.
Karya misi yang tidak lain merupakan evangelizatio atau implementatio ecclesiae (penanaman iman Gereja) dilakukan secara gencar oleh bangsa Portugis. Di dalam diri setiap bangsa ini tertanam pesan bablar con Dios (bergaul dengan Tuhan) di mana saja dan kapan saja. Ke mana saja bangsa ini pergi, karya misioner yang dipandangnya sebagai tugas suci, tak terpisahkan dari kehidupan hariannya.
Pertumbuhan umat dalam pertengahan abad XVI (1556 P Antoni de Taveiro) memperlihatkan tanda-tanda menggembirakan. Secara periodik pelayanan iman dilancarkan dari Lohayong - Solor ke pulau Timor, Sabu dan Rote. Secara resmi misi Timor dimulai pada 1561, ketika Uskup Malaka, Don Jorge de Santa Lusia OP mengutus tiga orang misionaris Dominikan. Perutusan ini merupakan jawaban terhadap permohonan P Antonio de Taveiro pada tahun 1556.
Dalam dekade pertama abad XVII (1613) raja Kupang, Ampono dibaptis menjadi Katolik, mengikuti jejak Ratu Mena. Kebijakan yang ditempuhnya merupakan pertanda bahwa raja Kupang bersekutu dengan bangsa Portugis.
Menanggapi langkah tersebut, rivalnya raja Nisnoni Sonbai menjalin hubungan persahabatan dengan VOC (Belanda) yang menganut agama Protestan Kalvinis. Selanjutnya Ratu kerajaan Ambenu, Raja Amanuban, Rote dan Sabu mengirim utusan ke Larantuka untuk menyatakan keinginan mereka bekerjasama dengan bangsa Portugis dan memeluk agama Katolik.
Hal yang sama terjadi pada diri Raja Amabi dan Amarasi pada tahun 1636. Raja Amarasi yang dibabtis menjadi Katolik memilih nama Augustinus. Kejatuhan Malaka ke tangan Belanda pada tahun 1641 mempertinggi desakan intensitas pengaruh Belanda (Protestan Kalvinis) dan armada dagang (Islam) di kawasan Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun yang sama ditandatangani perjanjian kontrak kerjasama antara bangsa Portugis dan Lifao serta Mena. Bangsa Portugis mendapat hak monopoli perdagangan cendana sebagai imbalan kewajiban melindungi mereka. Keinginan Belanda untuk menguasai sepenuhnya kawasan NTT diatur pada tahun 1642 bersama bangsa Portugis. Perjanjian tersebut berisi:
- Bali dan Lombok diserahkan kepada Belanda
- Kedua bangsa mempunyai hak yang sama untuk berdagang di Bima dan Pulau Timor
- Belanda setuju untuk membatasi ruang gerak di Kupang, Sabu dan Rote serta Lohayong yang telah direbutnya pada tahun 1613
- Larantuka dan Sikka tetap menjadi milik bangsa Portugis.
Sementara itu upaya menanamkan iman katolik ke seluruh pulau Timor ditingkatkan. Pater Antonio de Sao Jacinto, OP meningkatkan peran melalui para raja, yang selanjutnya diikat dengan semacam kontrak kerja sama. Raja Kupang, Duarte beserta isterinya Mariana berhasil dibabtis jadi Katolik. Isi kontrak yang disepakati berbunyi sbb:
- Raja Kupang, permaisuri dan tokoh-tokoh penting menjadi kawula Portugis
- Pater Antonio (Portugis) diperkenankan untuk mendirikan Gereja dan benteng
- Kapal dagang yang diperkenankan menyinggahi pelabuhan Kupang, hanyalah kapal Portugis.
Berdasarkan perjanjian tersebut, untuk menguasai Kupang yang strategis, Pater Antonio mengubah pastorannya menjadi benteng pertahanan. Benteng tersebut terletak pada sebuah puncak bukit dekat pelabuhan Kupang yakni lokasi asrama benteng sekarang. Pandangan yang jauh ke depan yang dimiliki oleh Pater Antonio serta pendekatannya kepada raja untuk menanamkan iman katolik di pulau Timor, menyebabkan beliau pantas dijuluki Rasul Pulau Timor.
Pada 1652 VOC Belanda masuk ke Kupang dan merebut benteng yang dibangun Pater Antonio. VOC selanjutnya memugar benteng dan memberinya nama Fort Concordia pada tahun 1657. Yakob van der Heyden ditempatkan di Kupang sebagai operhoofd pertama.
Kedatangan VOC disambut dengan gembira oleh Raja Nisnoni. Sebaliknya raja-raja Timor lainnya seperti Ampono, Amtiran, Amarasi, Amabi, Amanuban Sonbai dan Amfoang yang telah menganut agama Katolik kurang baik menerima VOC (Belanda). Reaksi para raja tersebut menyebabkan Belanda mengalami kesulitan menerobos masuk daratan pulau Timor.
Ketegangan yang terjadi disudahi dengan bentrokan bersenjata. Perang yang terjadi 1655 di pulau Semau (Chimar) menewaskan Yakob van der Heyden, operhoofd pertama. Perang dan kemenangan berikutnya yang dicapai di Amarasi, mempertebal rasa percaya diri kaum Portugis hitam, karena Belanda ternyata dapat dikalahkan.
Walaupun kemenangan diraih bangsa Portugis (Katolik), namun mereka senantiasa menyadari betapa kuat potensi yang dimiliki Belanda (Protestan Kalvinis). Untuk menghindari suatu perkembangan yang berakibat fatal, kedua bangsa kulit putih itu menandatangani sebuah kontrak di Lisabon pada 1662. Kawasan Nusa Tenggara Timur dibagikan kepada VOC dan Portugis. Belanda (Protestan) mendapat Pulau Timor bagian Barat yang mencakup Kupang, Timor Tengah Selatan, Sabu, Rote dan pulau Sumba. Bangsa Portugis mendapat Pulau Timor bagian timur yang mencakup Timor Timur, Belu dan Timor Tengah Utara dan Pulau Flores.
Sejalan dengan kontrak tersebut ditandaskan bahwa barang siapa ingin tetap menganut agama Katolik, harus berpindah ke wilayah Portugis. Agama Katolik di daerah VOC digantikan dengan agama Protestan Kalvinis. Bertolak dari prinsip cuis regio, eius religio yang dianut pada saat tersebut, maka kehidupan perkembangan agama Katolik di Kupang dan Timor Tengah Selatan (wilayah Belanda) sangat suram.
Kedudukan VOC semakin kokoh dan menunjang sepenuhnya perkembangan agama Protestan. Dalam karya penyebaran agama, VOC berada dalam masa Oud Holandsche Zending. Pusat Gereja Kristen adalah di negeri Belanda. Pelayanan pastoral zending dilancarkan dari Batavia dan Ambon. Perhatian yang besar dicurahkan VOC terhadap usaha penyebaran agama, dilandasi pada UU Belanda, artikel 36: Pemerintah bertugas untuk memelihara gereja yang kudus, untuk memberantas, melawan agama palsu dan penyembaha berhala, untuk memusnahkan kerajaan anti Kristus dan memajukan Kerajaan Yesus”.
Dengan kata lain, Pemerintah Belanda bertugas mengkristenkan (Protestan) bangsa-bangsa yang dikuasainya.
Namun tak dapat disangkal bahwa hal ini tak dapat dilakukan secara murni karena tugas keagamaan, politik dan ekonomi tidak dapat berjalan berbarengan secara harmonis dan seimbang. Keadaan kehidupan Gereja Katolik sangat suram. Hal ini disebabkan oleh faktor politik seperti disebutkan diatas, juga karena kondisi intern Gereja Katolik.
Di Pulau Timor sering terjadi pertentangan antara misionaris dan petugas pemerintah (Portugis), antara personil Portugis hitam dengan pejabat Gubernemen yang dikirim dari Goa-Lisbon. Pertentangan antar ordo misioner di kawasan ini, juga merupakan salah satu unsur kelemahan. Menyangkut masalah terakhir ini, Paus menegaskan agar selain Dominikan, ordo-ordo lain seperti Jesuit, Fransiskan dan Salib Suci juga diperkenankan bekerja di kawasan ini.
Pada sisi lain, perkembangan agama Protestan yang dilakukan dengan gencar di bawah dukungan pemerintah (VOC) juga merupakan kegiatan yang sangat membatasi perkembangan agama katolik. Para penyiar agama Protestan dalam waktu yang relatif singkat secara mengagumkan memasukkan penduduk pulau Rote dan Sabu ke dalam pangkuan agama Protestan. Sekolah-sekolah didirikan untuk menunjang karya zending.
Memasuki abad XIX kondisi penyebaran agama Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang masih tetap suram. Hal ini disebabkan juga oleh kondisi dalam negeri Portugal. Setelah keruntuhan VOC, Republik Batavia memerintah seluruh kawasan Hindia Belanda. Sistem pemerintahan Barat diterapkan diseluruh kawasan jajahan ini.
Kupang dijadikan sebagai pusat karesidenan Timor, yang merupakan bagian dari Propinsi Timur Besar dengan pusatnya di Makassar. Kupang, Rote, Sabu dan Timor Tengah Selatan termasuk onderafdeling dari afdeling Timor dan daerah kepulauannya. Onderafdeling Kupang dengan ibukotanya Kupang, membawahi daerah-daerah yang mencakup wilayah gubernemen Kupang, swapraja Kupang, Amarasi, Fatuleu dan Amfoang. Onderafdeling Rote dengan ibukotanya Baa, membawahi swapraja Sabu. Onderafdeling Timor Tengah Selatan (Zuid Midden Timor) membawahi tigabuah swapraja yang mencakup Molo, Amanuban dan Amanatun.
Kondisi eksternal global yang turut mempengaruhi kondisi kehidupan beragama di kawasan ini antara lain Revolusi Prancis, Paham Jansenisme, nasionalisme Eropa serta pembaruan Serikat Jesuit (sementara 1773-1814).
Pada awal abad XIX (1807) dibentuk Prefektur Apostolik Batavia. Wilayah yurisdiksinya mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) termasuk Kupang. Pada saat itu, pelayanan pastoral dilaksanakan dari Batavia (Jakarta) dan Dili. Situasi politik dan kekurangan personil masih merupakan faktor dominan yang melemahkan kehidupan agama Katolik di kawasan ini. walaupun demikian, penduduknya masih tetap mengakui diri sebagai penganut agama Katolik dan tidak bersedia untuk masuk Protestan atau Islam.
Tapal batas antara wilayah kekuasaan bangsa Portugis dan Belanda tidak jelas; sering terjadi kesalahpahaman dan pertikaian bersenjata. untuk mengatasinya sering dibuat serangkaian perdamaian dan kontrak. Diawali perjanjian 1662, melalui perjanjian Lisabon 1859, bangsa Portugis menyerahkan pulau Timor bagian Barat kepada Belanda. Inilah titik awal yang membedakan penyebaran agama Kristen Protestan dan Katolik.
Pada 1853, sebelum perjanjian Lisabon, Pater Gaspar Hezelle mengunjungi pulau Timor, Kupang dan Timor Tengah Selatan. Kegiatan misi Katolik mulai ditata kembali oleh misionaris Yesuit yang diawali dengan kunjungan Pater Gregor Metz SJ (1865-1913). Pelayanan terhadap wilayah Keuskupan Kupang dilancarkan dari Atapupu, kemudian pada 1879 dari Lahurus. Misionaris yang sering mengunjungi kawasan ini antara lain Pater Kraatanger dan Dijkman.
Pelayanan Gereja di bawah Jesuit, memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Kendala yang ada pada waktu itu, selain kekurangan personil misionaris serta iklim Timor yang sangat keras (malaria), juga dikarenakan oleh munculnya karya zending Protestan. Kegiatan zending dikoordinir oleh Indische Kerk. Seperti diungkapkan di atas, bahwa kegiatan misi katolik dilancarkan dari Atapupu. Penunjukan Atapupu sebagai pusat misi Timor, disetujui pemerintah Belanda. Hal ini terjadi pada masa bakti Mgr A. C. Claesens, Vikaris Apostolik Batavia (1874-1893).
*Bersambung ke bagian 2:
Perkembangan GerejaKatolik Awal Abad XX
Dikutip dari Mgr Gregorius Monteiro, SVD, Lintasan Sejarah Keuskupan Agung Kupang dalam Memoir Uskup Keuskupan Agung Kupang, 1997