Senin, 04 November 2019
Senin, 28 Oktober 2019
Catatan untuk (calon) Petani
Author: Patris Allegro |
Oktober 28, 2019 |
No Comments |
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk makan sebuah pisang?”
Jawabannya tergantung tingkat kesabaran seseorang.
Orang yang sabar akan mulai dengan cara mencari anakan pisang, menanam, memelihara dan merawat tumbuhan pisang hingga mendapatkan buah pisang yang matang. Sesudah itu barulah pisang matang itu dipetik dan diolah untuk menjadi penganan apa saja yang sesuai dengan selera orang penanam pisang tersebut.
Cukup lama bukan?
Karena kelamaan maka kita tinggalkan saja. Mari kita menyimak dua gurauan di sini.
Pertama dalam sistem perekonomian, pertanian itu penting. Semaju apa pun sebuah negara ia tetap bergantung sepenuhnya pada sistem pertanian. Dunia hanya bisa memperoleh makan dari pertanian, bukan dari penjualan senjata. Mau makan itu senjata?
Bergelut dengan tanah untuk menghasilkan tumbuhan yang bisa dimakan itulah sejatinya kerja manusia. Pertanian adalah pekerjaan termulia sesudah berburu, karena dari situlah kita mengolah tanah tempat kita berpijak untuk menjadi makanan, menjadi bagian dari tubuh kita, menjadi bagian dari kepribadian kita.
Catatan ini belum selesai.
Perjalanan dari Soe Ke Kupang akan mulai terasa tersumbat, kalau sudah melewati hutan camplong. Begitu masuk dataran Oelmasi (yang secara keliru dieja Oelamasi) kau akan menyaksikan dua pemandangan yang saling bertolak belakang: tanah subur yang digarap menjadi sawah dan kebun sayur, bertumpang tindih dengan bangunan gedung pemerintahan maupun gudang dan toko-toko serta bangunan industri kecil. Kedua bentuk penghidupan ini sepertinya sedang berlomba-lomba mencari perhatian. Dan dari atas mobil atau sepedamotor yang melaju kau tidak mungkin lengah memperhatikan kedua bentuk kehidupan ini. Dan itulah yang terjadi. Mungkin kau tidak ambil peduli karena kau sedang buru-buru kembali ke kos untuk menyelesaikan tugas kuliah yang sudah ditinggal seminggu karena kau ke kampung untuk ikut pesta nikah sepupumu, tapi kenyataan ini benar-benar nyata sehingga kau bahkan mempertanyakan kembali jurusan perkuliahan kamu.
Mengapa saya memilih fakultas pertanian, bukan teknologi informasi?
Itu karena kau dalam lubuk hatimu sadar bahwa pekerjaan dasar yang paling dibutuhkan semua makhluk di muka bumi ini adalah pertanian.
Selamat menjadi sarjana pertanian. Jangan berhenti saat menggenggam ijazah tapi jadilah petani yang sejati….
Senin, 21 Oktober 2019
Antara Timor Leste dan Papua New Guinea
Author: Patris Allegro |
Oktober 21, 2019 |
No Comments |
Jumat, 18 Oktober 2019
Sampah yang Indah di Pantai Teddy’s
Author: Patris Allegro |
Oktober 18, 2019 |
No Comments |
Segalanya! Karena Alam itu satu, benar, baik dan indah.
Kalau kau datang ke kota Kupang, dari mana saja, jangan lupa singgah ke Pantai Teddy’s di kota Kupang. Di sana kau akan menikmati suguhan pemandangan alam nan indah sambil menikmati penganan khas orang kupang: jagung bakar, pisang tagepe, dan masih banyak lagi.
Tempat ini yang pernah menjadi pelabuhan kupang, kini ramai didatangi oleh orang-orang hebat seperti Anda. Orang hebat saya bilang karena mereka adalah orang orang yang mau meluangkan waktu untuk hal sepele seperti menikmati panorama matahari terbenam di ujung pulau semau.
Ada apa dengan matahari yang terbenam? Kau mungkin bertanya, kepadaku. Aku tak sanggup menjawab, alih-alih aku diam dan berharap kau juga ikut diam. Sebab dalam diam ada jawaban. Berhadapan dengan alam kau hanya bisa diam. Diam dan ketahuilah…
Teluk Kupang yang terletak di ujung Barat pulau Timor menjanjikan pemandangan senja yang sangat indah. Keindahannya sulit dihadirkan lewat kata-kata. Maka sekali lagi saya mengundang Anda, singgah dan buang waktu sebentar di pantai bekas pelabuhan Kupang ini. Kau akan kembali dengan membawa sesuatu, mungkin itu kebosanan yang enggan pergi atau sebaliknya kesadaran bahwa kau begitu kecil di hadapan alam, bahwa alam bisa memberi kau apa saja, termasuk keindahan yang semakin dianggap sepele oleh orang-orang materialistik, yang pandangan hidupnya berpusar pada materi: harta dan benda.
Datang dan buktikan sendiri, jangan lupa pesan jagung bakar dan kopi instan, ambil posisi duduk yang nyaman dan nikmatilah saat mentari turun perlahan-lahan ke atas pulau semau untuk selanjutnya berganti menjadi pekat, pertanda datangnya malam.
Pantai Teddy’s ini menurut saya sudah menjamu pengunjung dengan baik. Namun masih ada kekurangan yang perlu dibenahi. Kekurangan tsb antara lain tidak tersedia tempat sampah yang mudah dicapai. Kayaknya para penjaja di sekitar mengumpulkan sampah yang mereka hasilkan (kulit saset kopi instan, tongkol jagung, dll) untuk di bawa pulang.
Kekurangan lainnya ialah di tempat ramai ini tak tersedia toilet. Maklum toilet merupakan fasilitas mewah untuk orang Timor. Atau paling tidak saya tidak menemukan sudut di mana kau harus menggunakan toilet. Bisa jadi untuk keperluan ini orang harus meninggalkan Pantai Teddy’s segera. Kasihan juga! Mari kita berharap semoga pengelolaan Pantai Teddy’s kedepannya semakin ramah pengunjung.
Tapi terlepas dari itu semua, keindahan pemandangan di sekitar pantai ini tak diragukan lagi. Lagipula, meskipun saya tidak menemukan satupun kotak sampah di sekitar saya, tempat duduk saya tetap bersih dan tak ada satupun sampah yang saya temukan. Hebat, tapi akhirnya saya dan Anda akan terbiasa untuk tidak peduli sampah. Ada orang yang mengurus, aku dan kau berpikir seperti itu.
Sekali lagi, selamat datang di Pantai Teddy’s dan satu kebenaran yang tak bisa dipungkiri: orang Kupang belum peduli sampah!
Rabu, 09 Oktober 2019
MERAYAKAN MISA LATIN TRADISIONAL DI LUBLIN POLANDIA
Author: Patris Allegro |
Oktober 09, 2019 |
1 Comment |
Sejak pertama menginjakkan kaki di Kota Lublin, September 2016 lalu, saya langsung mencari informasi tentang perayaan Misa Latin Tradisional di tempat ini. Misa Latin Tradisional (di sebut juga Misa Tridentin atau Traditional Latin Mass/ TLM) memang ritual yang telah digunakan selama ribuan tahun. Misa ini merupakan aturan misa yang ditetapkan berdasarkan Konsili Trente pada tahun 1570 dan berakhir setelah Paus Paulus VI mengumumkan Misa Novus Ordo—tata cara misa yang digunakan saat ini—setelah Konsili Vatikan II (digelar 1962-1965).
Setelah
menelusuri google, saya menemukan bahwa di kota kecil ini ada kelompok Misa
Latin Tradisional yang secara rutin merayakan tiap hari Kamis sore dan Minggu
pagi. Gereja tempat merayakan Misa tersebut rupanya adalah sebuah gereja tua
yang terletak di downtown/pusat kota Lublin dan hanya berjarak 5 menit berjalan
kaki dari tempat tinggal saya, Dom Fundacji Jana Pawla II.
Berlatih Merayakan TLM
Kali
pertama saya mengikuti misa ini dengan bergabung bersama umat. Begitu seterusnya
saya tidak melewatkan setiap perayaan ini, hingga akhirnya pada suatu saat ketika
misa selesai, seorang perempuan muda mendekati saya dan menyapa saya, “Are you
a priest?” Saya tidak tahu kenapa dia bisa menebak setepat itu. Saya jelaskan kalau
di Indonesia ada juga kelompok TLM seperti ini di Jakarta, namun saya baru bisa
merayakan TLM di sini. Oleh wanita muda tersebut saya diperkenalkan kepada
ketua komunitas Pan Jerzy Miczka dan pastor Paroki ks. Paweł Jędrzejewski. Pan Jerzy sangat mengharapkan agar saya bisa ikut memimpin Misa
tradisional ini. Saya menjelaskan kalau saya sama sekali belum tahu tata cara
perayaan ini. Selama ini saya hanya mengikuti saja berita dan video-video di
internet. “Tenang saja, Father, nanti kita latihan”, kata Pan Jerzy
Setelah
dua kali dilatih dengan kesabaran yang cukup tinggi dari Pan Jerzy, saya
berhasil mempelajari tatacara misa Latin tradisional. Untuk Bahasa Latin saya
tidak mengalami kesulitan, yang sulit adalah mengingat-ingat, kapan menunduk,
kapan berbalik ke umat, kapan membuka tangan dan lain-lain, dan kuncinya sebagian
besar doa-doa mesti dihafal.
Menjadi
Celebrans
![]() |
Siap menjadi celebrans |
Saya
lalu resmi bergabung dengan komunitas Misa tradisional Lublin ini dan tercatat
sebagai celebrans. Setiap kali saya dan beberapa imam lainnya bergantian memimpin
misa baik itu misa harian maupun misa hari Minggu. Ada suatu pengalaman pahit ketika
selesai merayakan misa di suatu sore, saya dimarahi habis-habisan oleh Pastor
yang akan memimpin misa berikutnya. Pasalnya, misa kami selesainya terlambat,
dan umat sudah menunggu lamaaaaa sekali. Ternyata kami terlambat 15 menit. Dan
saya hanya bisa bilang, “Przepraszam, Ojcze!” Jang marah beta, Ama! maksudnya Cuma
bisa minta maaf saja, karena bacaan misa tadi memang panjang, tiga sampai empat
halaman, na karmana kalo son terlambat?
Selain
merayakan Misa Latin Tradisional, kelompok ini juga mengadakan pertemuan rutin
bersama kelompok TLM lainnya di seluruh Keuskupan, semacam seminar dan
rekoleksi bersama tiap bulan Oktober, tempatnya di sebuah kota kecil ke arah utara
Lublin, dekat perbatasan dengan Belarus. Di sini, di biara Suster-suster St
Katarina, diadakan pertemuan, vesper meriah dan misa cantata. Juga ada ziarah bersama ke beberapa tempat
bersejarah di Polandia, termasuk biara-biara tua dimana terdapat makam
orang-orang kudus dari biara tersebut. Salah satu biara yang kami kunjungi
adalah Biara Karmel OCD dekat Krakow, di mana Pater yang menjadi guide kami
menunjuk beberapa makam yang orangnya telah dikanonisasi, menjadi venerabilis,
maupun beato.
Trihari
Suci dalam bentuk TLM
Pada perayaan
Paskah tahun 2018 pertama kali saya merayakan Trihari Suci dalam bentuk Latin
Tradisional lengkap dengan diakon dan subdiakon. Sebagai celebrans saya
bertugas menyanyikan Peran Yesus Kristus dalam Passio dan pada Sabtu Alleluia,
sebagai diakon, menyanyikan Preconium Paschale (pujian Paskah). Foto-foto
Paskah 2019 bisa diintip di sini: https://introibo.pl/niedziela-palmowa/
Seturut kebiasaan Gereja Polandia, usai misa malam paskah ada perarakan Kebangkitan
Kristus, patung Kristus yang bangkit diarak berkeliling Gereja, sambil menyanyikan
lagu-lagu Kebangkitan, mirip seperti perarakan Sakramen Mahakudus pada Kamis
Putih. Biasanya misa baru selesai jam 12 malam.
Di Lublin
sendiri selain komunitas TLM (traditional Latin Mass) parokial seperti ini, ada
pula komunitas SSPX. Komunitas yang saya ikuti adalah komunitas Paroki biasa,
mereka terdiri dari orang-orang di Paroki yang mau merayakan Misa Latin
Tradisional, dan mereka umat paroki setempat, dan mereka sendiri menegaskan kalau
mereka bukan komunitas SSPX. Oh ya tentang SSPX bisa baca penjelasan dari katolisitas org di sini:
Yang
saya tahu, ada juga komunitas Misa Latin Tradisional di Jakarta, yang secara
rutin mengadakan misa TLM setiap bulan. Di NTT tidak ada komunitas seperti ini.
Seorang dari Prancis yang menikah dengan warga Kupang pernah mengontak saya perihal
TLM di Kupang, saya bilang kita lihat saja dari antusiasme orang muda. Kalau
ada yang berminat kita mulai. Gas! Tapi kalau belum ada, jangan dipaksa.
TLM
sudah dilarang?
Pada
tahun 2021 Paus Fransiskus akhirnya kembali membatasi perayaan TLM yang semula diijinkan oleh Paus
Benedictus. Syukurlah sebelum dibatasi, bahkan dilarang, saya pernah merasakan
suasana misa yang berbeda dengan suasana misa sekarang yang nyaris tidak dapat
dibedakan dari ibadat Protestan. Bagaimanapun juga apa yang menyebabkan
pembatasan TLM ini yang harus benar-benar diberantas, orang merasa lebih saleh,
lebih focus dengan nyanyian, bau-bauan, dan Bahasa yang asing, tanpa mengerti,
dan akhirnya menjadi ekslusif dan elit seperti protestan: protes dengan Gereja
yang sekarang.
Akhirnya,
bagi komunitas yang sedang menjalankan TLM, lanjutkan terus, hindari
sikap-sikap dan perilaku sebagaimana yang dikecam pada kebanyakan kaum
tradisionalis. Untuk NTT, mungkin kita tidak usah berharap ada TLM di sini,
yang penting adalah bahwa tiap tahun ada banyak sekali misionaris dari NTT yang
siap bekerja dan melayani di seluruh dunia. Itu saja sudah tanda bahwa iman
yang kita rayakan sudah menghasilkan buah yang berlimpah. Amin!
Sabtu, 23 Februari 2019
Jembatan Tua Noelbunu-TTS, Riwayatmu Kini!
Author: Patris Allegro |
Februari 23, 2019 |
No Comments |
Jembatannya putus karena yang mengatur konstruksi tidak begitu peduli, atau mungkin tidak tahu, atau dana tidak cukup untuk mengantisipasi kondisi tanah longsor yang mungkin terjadi di tepi sungai Noelbunu.
Tapi jembatan ini putus karena memang sudah tua, tak sanggup lagi menahan beban.
Jembatan yang dibangun pada tahun 1995, saat pemerintahan Bupati Piet Tallo, menjadi satu-satunya jalan keluar masyarakat amanuban timur ke jalan raya trans timor.
Sebelumnya jembatan ini dibangun, kendaraan dari dan ke Oeekam, mencari jalan melalui tempat yang paling kurang-berbatu dan dangkal dengan aliran air yang tenang untuk menyeberang.
Namun jika terjadi banjir, maka tak ada jalan lain selain menunggu sampai banjir surut. Maka kesibukan di tepi sungai baik dari seberang Oelet maupun seberang O’bikase selalu rame dengan para penumpang yang menyeberang sendiri-sendiri (tanpa asuransi) dan menuju kendaraan lainnya yang sudah menunggu di seberang. Istilahnya over oto.
Sejak dibangun, meski cuma dengan deretan balok sebagai titian yang hanya cukup dilalui satu kendaraan sekali jalan, masyarakat Amanuban Timur sudah cukup senang.
Namun dengan kondisi yang sudah tua seperti sekarang ini, maka sedikit saja hujan, jembatan itu pasti ambruk. Mereka sudah minta ke pemerintah, sekurangnya kepada pihak yang berwajib, tapi hasilnya belum ada hasil.
Masyarakat Oeekam dan sekitarnya terus menunggu jembatan yang baru, dan mudah-mudahan penantian mereka bisa berujung dengan baik. Salam pembangunan!
Senin, 18 Februari 2019
Traditional Food from Timor: Various Kinds of Corn Meals
Author: Patris Allegro |
Februari 18, 2019 |
No Comments |
This posting about the culinary delights of corn is just to document what has been eaten by the Timorese ancestors. So, what are those corn-based meal eaten by Timorese once upon a time?
1. Penpasu
Penpasu a.k.a katemak, is a kind of corn stew mixed with beans and vegetables. All ingredients are put together and boiled until the corn becomes soft. Sometimes it is necessary to add water, if the water shrinks due to evaporation. To create a creamy sauce you can add pumpkin, or green mung beans while for the more crunchy one you can use peanuts and slices of papaya leaves. Add salt or pepper to taste.
2. Makpena
Is well known as Jagung Bose, and has become the icon of Timorese traditional food. The cooking principle is the same as that of penpasu. Only, the corn’s skin is removed by pounding it on an “esu”. A bowl of corn kernels is put into the mortar, moistened with water and half a tablespoon of betel lime to speed up the peeling process, repeatedly pounded with pestle. Corn with peeled skin can be stored for up to a month, and prepared the same way as preparing penpasu.
3. Pensala
Pensala means sliced young corn. Usually at the beginning of corn harvest, the menu is pensala. Sliced young corn is prepared also the same as bose and penpasu.
4. Koetutu
Known also as jagung titi. Not to confused with typical Lamaholot corn flakes. It also called nasi jagung, simply means rice (made of) corn. Corn kernels are broken down using fatututu. This rice can be cooked mixed with beans (green). Or just cooked it plain, no mixture.
5. Usaku
To made usaku, the process is more complicated. First you have to mash corn to bose. The bose is soaked overnight until soft, then pounded (again) into flour. This flour is mixed with grated coconut and then roasted until the powder get yellowish color. This Usaku can last for months. Eaten as snack!
6. Penpunef
Young corn is boiled with a cob, or even with the skin. As a child, I used to stick small twigs at the base of the cobs as a handle.
7. Penbeti
Pan-roasted corn kernels, hard and not recommended for those who have problems with teeth. It can be grounded to make Ut, or can be soaked overnight in salt water to be eaten later.
8. Pentunu
Roasted corn with cob, the most popular and “touristic” Timorese food, eaten with butter and sambal lu’at.
Well, that’s it, the corn-based food of Timorese ancestor. Nowadays nobody eat corn anymore… Or, do you still enjoy penpasu?
Popular Posts
-
Pendahuluan Di sebuah kampung kecil bernama Lahurus , di jantung daratan Timor yang keras namun penuh iman, lahirlah seorang anak yang k...
-
Seperti yang mungkin diketahui banyak orang, ada perpecahan dalam Ortodoks Timur pada 2018/2019 , ketika Gereja Ortodoks Rusia (Patriarkat M...
-
Pulau Semau, 1 Juni 2015 Setelah lima belas tahun lamanya, akhirnya aku kembali merasakan tiupan angin kering dan tamparan debu dari nusa B...
-
“Pada mulanya adalah Logos, dan Logos itu bersama-sama dengan Allah, dan Logos itu adalah Allah” (Yoh. 1:1) Ayat yang agung ini, yang se...
-
Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa saat misa, umat Katolik hanya menerima roti (hosti) , sementara anggur hanya diminum oleh imam ? Apak...
-
Sejak pertama menginjakkan kaki di Kota Lublin, September 2016 lalu, saya langsung mencari informasi tentang perayaan Misa Latin Tradisional...
-
"Antiqua et Nova," yang dirilis pada 28 Januari 2025, adalah catatan doktrin yang dikeluarkan bersama oleh Dikasteri untuk Doktrin...
-
Ketika debat antara Katolik dan Protestan mencuat di ruang digital, seringkali bukan fakta yang memandu opini, melainkan fiksi. Salah satu...
-
Pendahuluan Mariologi, yaitu studi teologis tentang Maria, memiliki peran penting dalam memahami rencana keselamatan Allah. Gereja Katolik m...
-
Rule no 1 Gereja Katolik tidak bisa salah, rule no. 2 Kalau Gereja Katolik salah lihat Rule no. 1 Untuk menjelaskan mengapa Gereja Katol...
Recent Posts
Categories
- Aquinas
- Artikel
- Being
- Bina Iman
- Culture
- Devosi
- Dialog
- Doa Syukur Agung
- Ekaristi
- Ekumene
- Ensiklik
- Epiklesis
- Epistemology
- Ethics
- Etika
- Filosofi
- Gereja
- Homili
- ibadat sabda
- Intellect
- Islam
- KAK
- katekese
- Keluarga
- Ketuhanan
- Kitab Suci
- komuni
- kuliner
- Liturgi
- Manusia
- Maria
- Metaphysic
- Misi
- Musik Liturgi
- Orang Kudus
- Organis Gereja
- Paroki
- Paskah
- Pendidikan
- Perayaan Ekaristi
- Protestantisme
- Rekonsiliasi
- renungan
- Sains
- Sastra
- Sejarah Gereja
- Seminari
- Sosial Budaya
- Spiritualitas
- Truth
- Truth Filosofi
- Visi dan Misi
- Yesus Kristus