Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Senin, 04 November 2019

Kopi pagi

Meskipun tersedia banyak pilihan jenis sarapan orang Timor, minum kopi adalah salah satu pilihan populer untuk mengawali kegiatan di pagi hari. Minum kopi sudah menjadi bagian dari budaya orang Timor, meski pun kopi tidak begitu tumbuh dengan subur di Timor, kecuali di bagian Timur pulau Timor, dan banyak kopi yang diminum adalah kopi buatan alias racikan dari sedikit tepung kopi dicampur berbagai bahan untuk memenuhi kuota permintaan konsumen pembeli kopi. Jadi jangan heran kalau kau berkunjung ke rumah orang lalu ditawari kopi atau teh, kau menjawab kopi sebab kopi mengingatkan kau akan ritus pagi yang menyegarkan namun kemudian yang tersuguh di depanmu adalah sejenis minuman yang rasa aneh mirip kopi tapi bukan (kau tahu dengan jelas karena kau seorang peminum kopi sejati), namun kau tak berani membantah dan menolak suguhan tersebut sebab kau akan dinilai tidak menghargai pemberian dan pelayanan tuan rumah, singkatnya melalui suguhan minuman berasa kopi kau sedang diuji apakah kau tamu yang baik atau tamu yang judes. Titik.

Senin, 28 Oktober 2019

Catatan untuk (calon) Petani


“Berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk makan sebuah pisang?”


Jawabannya tergantung tingkat kesabaran seseorang.


Orang yang sabar akan mulai dengan cara mencari anakan pisang, menanam, memelihara dan merawat tumbuhan pisang hingga mendapatkan buah pisang yang matang. Sesudah itu barulah pisang matang itu dipetik dan diolah untuk menjadi penganan apa saja yang sesuai dengan selera orang penanam pisang tersebut.


Cukup lama bukan?


Karena kelamaan maka kita tinggalkan saja. Mari kita menyimak dua gurauan di sini.


Pertama dalam sistem perekonomian, pertanian itu penting. Semaju apa pun sebuah negara ia tetap bergantung sepenuhnya pada sistem pertanian. Dunia hanya bisa memperoleh makan dari pertanian, bukan dari penjualan senjata. Mau makan itu senjata?


Bergelut dengan tanah untuk menghasilkan tumbuhan yang bisa dimakan itulah sejatinya kerja manusia. Pertanian adalah pekerjaan termulia sesudah berburu, karena dari situlah kita mengolah tanah tempat kita berpijak untuk menjadi makanan, menjadi bagian dari tubuh kita, menjadi bagian dari kepribadian kita.


Catatan ini belum selesai.


Perjalanan dari Soe Ke Kupang akan mulai terasa tersumbat, kalau sudah melewati hutan camplong. Begitu masuk dataran Oelmasi (yang secara keliru dieja Oelamasi) kau akan menyaksikan dua pemandangan yang saling bertolak belakang: tanah subur yang digarap menjadi sawah dan kebun sayur, bertumpang tindih dengan bangunan gedung pemerintahan maupun gudang dan toko-toko serta bangunan industri kecil. Kedua bentuk penghidupan ini sepertinya sedang berlomba-lomba mencari perhatian. Dan dari atas mobil atau sepedamotor yang melaju kau tidak mungkin lengah memperhatikan kedua bentuk kehidupan ini. Dan itulah yang terjadi. Mungkin kau tidak ambil peduli karena kau sedang buru-buru kembali ke kos untuk menyelesaikan tugas kuliah yang sudah ditinggal seminggu karena kau ke kampung untuk ikut pesta nikah sepupumu, tapi kenyataan ini benar-benar nyata sehingga kau bahkan mempertanyakan kembali jurusan perkuliahan kamu.


Mengapa saya memilih fakultas pertanian, bukan teknologi informasi?


Itu karena kau dalam lubuk hatimu sadar bahwa pekerjaan dasar yang paling dibutuhkan semua makhluk di muka bumi ini adalah pertanian.


Selamat menjadi sarjana pertanian. Jangan berhenti saat menggenggam ijazah tapi jadilah petani yang sejati….

Senin, 21 Oktober 2019

Antara Timor Leste dan Papua New Guinea


Timor Leste adalah nama sebuah negara yang relatif baru, baru berdiri pada 20 Mei 2002. Kawasan negeri ini adalah di sebelah Timur pulau Timor. Sebelumnya kawasan ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai propinsi ke-27, yakni daerah propinsi yang baru bergabung jauh setelah Proklamasi Kemerdekaan NKRI.
Setelah menjadi negara baru, alih-alih semakin menjauh dari induknya NKRI, negara baru ini semakin menunjukkan kemesraan dengan Indonesia. Benar-benar mesra karena hampir segala kebutuhan terutama sembako, didatangkan dari negara Indonesia.
Mungkin pembaca akan manggut-manggut, bahwa Timor Leste sudah tidak lagi punya sangkut paut dengan Indonesia, karena itu cuma urusan hubungan diplomatis antar negara. “Kamu jual, kami beli!” atau “Kami membeli supermi, bukan mengemis dan diberi supermie”
Pertanyaannya, mengapa orang indonesia ikut-ikutan menyebut negara baru tersebut dengan Timor Leste?
Maksud saya dengan menyebut Timor Leste sebenarnya orang Indonesia lupa bahwa bahasa resmi negara Indonesia adalah bahasa Indonesia. Jadi kalau mau konsekuen, kita harus menyebut sebuah negara dalam bahasa kita sendiri. Misalnya negara Jerman bukan negara Deutschland. Polandia bukan Polska, Amerika Serikat bukan You Es Ei dsb. Jadi Timor Timur, bukan Timor Leste.
Tapi siapa peduli?
Di bagian barat Pulau Timor, ungkapan Tiles, akronim dari Timor Leste, justru menjadi bahasa gaul para anak muda. Lihat saja kalau foto yang diunggah ke media sosial disertai tagar Tiles, maka sertamerta kita berpikir seakan-akan pengunggah foto itu sudah berpetualang jauh ke sebuah negeri di atas awan, padahal yang dibuat anak itu cuma langgar kali di belakang rumah.
Apa maksud tulisan harbabiruk ini?
Maksudnya tidak jelas, tapi ajakannya saya kira cukup jelas: mari menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Oke, pertanyaan terakhir:
“Apa nama negara yang berbatasan langsung dengan Propinsi Papua?”
“Papua Nugini”
“Bukan, Papua New Guinea!”
“Oh, iya!”
Seorang profesor di sudut ruangan membisiki saya, “Ssst, itu masalah ipoleksosbudhankamnas Timor di Timur. Jangan dibawa-bawa ke blog ini!

Jumat, 18 Oktober 2019

Sampah yang Indah di Pantai Teddy’s

Apa yang ditawarkan alam kepada manusia?

Segalanya! Karena Alam itu satu, benar, baik dan indah.

Kalau kau datang ke kota Kupang, dari mana saja, jangan lupa singgah ke Pantai Teddy’s di kota Kupang. Di sana kau akan menikmati suguhan pemandangan alam nan indah sambil menikmati penganan khas orang kupang: jagung bakar, pisang tagepe, dan masih banyak lagi.

Tempat ini yang pernah menjadi pelabuhan kupang, kini ramai didatangi oleh orang-orang hebat seperti Anda. Orang hebat saya bilang karena mereka adalah orang orang yang mau meluangkan waktu untuk hal sepele seperti menikmati panorama matahari terbenam di ujung pulau semau.

Ada apa dengan matahari yang terbenam? Kau mungkin bertanya, kepadaku. Aku tak sanggup menjawab, alih-alih aku diam dan berharap kau juga ikut diam. Sebab dalam diam ada jawaban. Berhadapan dengan alam kau hanya bisa diam. Diam dan ketahuilah…

Teluk Kupang yang terletak di ujung Barat pulau Timor menjanjikan pemandangan senja yang sangat indah. Keindahannya sulit dihadirkan lewat kata-kata. Maka sekali lagi saya mengundang Anda, singgah dan buang waktu sebentar di pantai bekas pelabuhan Kupang ini. Kau akan kembali dengan membawa sesuatu, mungkin itu kebosanan yang enggan pergi atau sebaliknya kesadaran bahwa kau begitu kecil di hadapan alam, bahwa alam bisa memberi kau apa saja, termasuk keindahan yang semakin dianggap sepele oleh orang-orang materialistik, yang pandangan hidupnya berpusar pada materi: harta dan benda.

Datang dan buktikan sendiri, jangan lupa pesan jagung bakar dan kopi instan, ambil posisi duduk yang nyaman dan nikmatilah saat mentari turun perlahan-lahan ke atas pulau semau untuk selanjutnya berganti menjadi pekat, pertanda datangnya malam.

Pantai Teddy’s ini menurut saya sudah menjamu pengunjung dengan baik. Namun masih ada kekurangan yang perlu dibenahi. Kekurangan tsb antara lain tidak tersedia tempat sampah yang mudah dicapai. Kayaknya para penjaja di sekitar mengumpulkan sampah yang mereka hasilkan (kulit saset kopi instan, tongkol jagung, dll) untuk di bawa pulang.

Kekurangan lainnya ialah di tempat ramai ini tak tersedia toilet. Maklum toilet merupakan fasilitas mewah untuk orang Timor. Atau paling tidak saya tidak menemukan sudut di mana kau harus menggunakan toilet. Bisa jadi untuk keperluan ini orang harus meninggalkan Pantai Teddy’s segera. Kasihan juga! Mari kita berharap semoga pengelolaan Pantai Teddy’s kedepannya semakin ramah pengunjung.

Tapi terlepas dari itu semua, keindahan pemandangan di sekitar pantai ini tak diragukan lagi. Lagipula, meskipun saya tidak menemukan satupun kotak sampah di sekitar saya, tempat duduk saya tetap bersih dan tak ada satupun sampah yang saya temukan. Hebat, tapi akhirnya saya dan Anda akan terbiasa untuk tidak peduli sampah. Ada orang yang mengurus, aku dan kau berpikir seperti itu.

Sekali lagi, selamat datang di Pantai Teddy’s dan satu kebenaran yang tak bisa dipungkiri: orang Kupang belum peduli sampah!

Rabu, 09 Oktober 2019

MERAYAKAN MISA LATIN TRADISIONAL DI LUBLIN POLANDIA

Sejak pertama menginjakkan kaki di Kota Lublin, September 2016 lalu, saya langsung mencari informasi tentang perayaan Misa Latin Tradisional di tempat ini. Misa Latin Tradisional (di sebut juga Misa Tridentin atau Traditional Latin Mass/ TLM) memang ritual yang telah digunakan selama ribuan tahun. Misa ini merupakan aturan misa yang ditetapkan berdasarkan Konsili Trente pada tahun 1570 dan berakhir setelah Paus Paulus VI mengumumkan Misa Novus Ordo—tata cara misa yang digunakan saat ini—setelah Konsili Vatikan II (digelar 1962-1965).

Setelah menelusuri google, saya menemukan bahwa di kota kecil ini ada kelompok Misa Latin Tradisional yang secara rutin merayakan tiap hari Kamis sore dan Minggu pagi. Gereja tempat merayakan Misa tersebut rupanya adalah sebuah gereja tua yang terletak di downtown/pusat kota Lublin dan hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari tempat tinggal saya, Dom Fundacji Jana Pawla II.

Berlatih Merayakan TLM

Kali pertama saya mengikuti misa ini dengan bergabung bersama umat. Begitu seterusnya saya tidak melewatkan setiap perayaan ini, hingga akhirnya pada suatu saat ketika misa selesai, seorang perempuan muda mendekati saya dan menyapa saya, “Are you a priest?” Saya tidak tahu kenapa dia bisa menebak setepat itu. Saya jelaskan kalau di Indonesia ada juga kelompok TLM seperti ini di Jakarta, namun saya baru bisa merayakan TLM di sini. Oleh wanita muda tersebut saya diperkenalkan kepada ketua komunitas Pan Jerzy Miczka dan pastor Paroki ks. Paweł Jędrzejewski. Pan Jerzy sangat mengharapkan agar saya bisa ikut memimpin Misa tradisional ini. Saya menjelaskan kalau saya sama sekali belum tahu tata cara perayaan ini. Selama ini saya hanya mengikuti saja berita dan video-video di internet. “Tenang saja, Father, nanti kita latihan”, kata Pan Jerzy

Setelah dua kali dilatih dengan kesabaran yang cukup tinggi dari Pan Jerzy, saya berhasil mempelajari tatacara misa Latin tradisional. Untuk Bahasa Latin saya tidak mengalami kesulitan, yang sulit adalah mengingat-ingat, kapan menunduk, kapan berbalik ke umat, kapan membuka tangan dan lain-lain, dan kuncinya sebagian besar doa-doa mesti dihafal.

Menjadi Celebrans

Siap menjadi celebrans

Akhirnya saya memberanikan diri untuk memimpin misa. Karena doa-doa belum dihafal saya masih menggunakan teks terutama untuk Confiteor pada bagian pembukaan. Misa berlangsung dengan khidmat. Dan saya sangat senang berhasil memimpin untuk pertama kali tanpa kesalahan.  Kebiasaan misa di sini, setelah bacaan pertama, imam berbalik kepada umat dan membacakan bacaan dalam Bahasa Polandia, begitupun dengan Bacaan Injil. Tapi bagian ini saya skip saja.

Saya lalu resmi bergabung dengan komunitas Misa tradisional Lublin ini dan tercatat sebagai celebrans. Setiap kali saya dan beberapa imam lainnya bergantian memimpin misa baik itu misa harian maupun misa hari Minggu. Ada suatu pengalaman pahit ketika selesai merayakan misa di suatu sore, saya dimarahi habis-habisan oleh Pastor yang akan memimpin misa berikutnya. Pasalnya, misa kami selesainya terlambat, dan umat sudah menunggu lamaaaaa sekali. Ternyata kami terlambat 15 menit. Dan saya hanya bisa bilang, “Przepraszam, Ojcze!” Jang marah beta, Ama! maksudnya Cuma bisa minta maaf saja, karena bacaan misa tadi memang panjang, tiga sampai empat halaman, na karmana kalo son terlambat?

Selain merayakan Misa Latin Tradisional, kelompok ini juga mengadakan pertemuan rutin bersama kelompok TLM lainnya di seluruh Keuskupan, semacam seminar dan rekoleksi bersama tiap bulan Oktober, tempatnya di sebuah kota kecil ke arah utara Lublin, dekat perbatasan dengan Belarus. Di sini, di biara Suster-suster St Katarina, diadakan pertemuan, vesper meriah dan misa cantata.  Juga ada ziarah bersama ke beberapa tempat bersejarah di Polandia, termasuk biara-biara tua dimana terdapat makam orang-orang kudus dari biara tersebut. Salah satu biara yang kami kunjungi adalah Biara Karmel OCD dekat Krakow, di mana Pater yang menjadi guide kami menunjuk beberapa makam yang orangnya telah dikanonisasi, menjadi venerabilis, maupun beato.  

Trihari Suci dalam bentuk TLM

Pada perayaan Paskah tahun 2018 pertama kali saya merayakan Trihari Suci dalam bentuk Latin Tradisional lengkap dengan diakon dan subdiakon. Sebagai celebrans saya bertugas menyanyikan Peran Yesus Kristus dalam Passio dan pada Sabtu Alleluia, sebagai diakon, menyanyikan Preconium Paschale (pujian Paskah). Foto-foto Paskah 2019 bisa diintip di sini: https://introibo.pl/niedziela-palmowa/ Seturut kebiasaan Gereja Polandia, usai misa malam paskah ada perarakan Kebangkitan Kristus, patung Kristus yang bangkit diarak berkeliling Gereja, sambil menyanyikan lagu-lagu Kebangkitan, mirip seperti perarakan Sakramen Mahakudus pada Kamis Putih. Biasanya misa baru selesai jam 12 malam.

Di Lublin sendiri selain komunitas TLM (traditional Latin Mass) parokial seperti ini, ada pula komunitas SSPX. Komunitas yang saya ikuti adalah komunitas Paroki biasa, mereka terdiri dari orang-orang di Paroki yang mau merayakan Misa Latin Tradisional, dan mereka umat paroki setempat, dan mereka sendiri menegaskan kalau mereka bukan komunitas SSPX. Oh ya tentang SSPX bisa baca penjelasan dari katolisitas org di sini:

Yang saya tahu, ada juga komunitas Misa Latin Tradisional di Jakarta, yang secara rutin mengadakan misa TLM setiap bulan. Di NTT tidak ada komunitas seperti ini. Seorang dari Prancis yang menikah dengan warga Kupang pernah mengontak saya perihal TLM di Kupang, saya bilang kita lihat saja dari antusiasme orang muda. Kalau ada yang berminat kita mulai. Gas! Tapi kalau belum ada, jangan dipaksa.

TLM sudah dilarang?

Pada tahun 2021 Paus Fransiskus akhirnya kembali membatasi  perayaan TLM yang semula diijinkan oleh Paus Benedictus. Syukurlah sebelum dibatasi, bahkan dilarang, saya pernah merasakan suasana misa yang berbeda dengan suasana misa sekarang yang nyaris tidak dapat dibedakan dari ibadat Protestan. Bagaimanapun juga apa yang menyebabkan pembatasan TLM ini yang harus benar-benar diberantas, orang merasa lebih saleh, lebih focus dengan nyanyian, bau-bauan, dan Bahasa yang asing, tanpa mengerti, dan akhirnya menjadi ekslusif dan elit seperti protestan: protes dengan Gereja yang sekarang.

Akhirnya, bagi komunitas yang sedang menjalankan TLM, lanjutkan terus, hindari sikap-sikap dan perilaku sebagaimana yang dikecam pada kebanyakan kaum tradisionalis. Untuk NTT, mungkin kita tidak usah berharap ada TLM di sini, yang penting adalah bahwa tiap tahun ada banyak sekali misionaris dari NTT yang siap bekerja dan melayani di seluruh dunia. Itu saja sudah tanda bahwa iman yang kita rayakan sudah menghasilkan buah yang berlimpah. Amin!

Sabtu, 23 Februari 2019

Jembatan Tua Noelbunu-TTS, Riwayatmu Kini!

Sesudah diterpa hujan deras terus menerus, akhirnya jembatan yang menghubungkan warga Oeekam dengan dunia luar putus. Jembatannya putus akibat tanah longsor, pada awal Januari 2019.

Jembatannya putus karena yang mengatur konstruksi tidak begitu peduli, atau mungkin tidak tahu, atau dana tidak cukup untuk mengantisipasi kondisi tanah longsor yang mungkin terjadi di tepi sungai Noelbunu.

Tapi jembatan ini putus karena memang sudah tua, tak sanggup lagi menahan beban.

Jembatan yang dibangun pada tahun 1995, saat pemerintahan Bupati Piet Tallo, menjadi satu-satunya jalan keluar masyarakat amanuban timur ke jalan raya trans timor.

Sebelumnya jembatan ini dibangun, kendaraan dari dan ke Oeekam, mencari jalan melalui tempat yang paling kurang-berbatu dan dangkal dengan aliran air yang tenang untuk menyeberang.

Namun jika terjadi banjir, maka tak ada jalan lain selain menunggu sampai banjir surut. Maka kesibukan di tepi sungai baik dari seberang Oelet maupun seberang O’bikase selalu rame dengan para penumpang yang menyeberang sendiri-sendiri (tanpa asuransi) dan menuju kendaraan lainnya yang sudah menunggu di seberang. Istilahnya over oto.

Sejak dibangun, meski cuma dengan deretan balok sebagai titian yang hanya cukup dilalui satu kendaraan sekali jalan, masyarakat Amanuban Timur sudah cukup senang.

Namun dengan kondisi yang sudah tua seperti sekarang ini, maka sedikit saja hujan, jembatan itu pasti ambruk. Mereka sudah minta ke pemerintah, sekurangnya kepada pihak yang berwajib, tapi hasilnya belum ada hasil.

Masyarakat Oeekam dan sekitarnya terus menunggu jembatan yang baru, dan mudah-mudahan penantian mereka bisa berujung dengan baik. Salam pembangunan!



Senin, 18 Februari 2019

Traditional Food from Timor: Various Kinds of Corn Meals

If you ask a Timorese man about traditional Timorese dish, probably he would mentioned Bose and Penpasu. These two types of corn based dishes are the easiest to prepare and quite popular outside of Timor. Not so many Timorese people have corn on their daily meal. Many of them, as all Asian do, preferred rice due to the easiness to prepare.

This posting about the culinary delights of corn is just to document what has been eaten by the Timorese ancestors. So, what are those corn-based meal eaten by Timorese once upon a time?

1. Penpasu

Penpasu a.k.a katemak, is a kind of corn stew mixed with beans and vegetables. All ingredients are put together and boiled until the corn becomes soft. Sometimes it is necessary to add water, if the water shrinks due to evaporation. To create a creamy sauce you can add pumpkin, or green mung beans while for the more crunchy one you can use peanuts and slices of papaya leaves. Add salt or pepper to taste.

2. Makpena

Is well known as Jagung Bose, and has become the icon of Timorese traditional food. The cooking principle is the same as that of penpasu. Only, the corn’s skin is removed by pounding it on an “esu”. A bowl of corn kernels is put into the mortar, moistened with water and half a tablespoon of betel lime to speed up the peeling process, repeatedly pounded with pestle. Corn with peeled skin can be stored for up to a month, and prepared the same way as preparing penpasu.

3. Pensala

Pensala means sliced young corn. Usually at the beginning of corn harvest, the menu is pensala. Sliced young corn is prepared also the same as bose and penpasu.

4. Koetutu

Known also as jagung titi. Not to confused with typical Lamaholot corn flakes. It also called nasi jagung, simply means rice (made of) corn. Corn kernels are broken down using fatututu. This rice can be cooked mixed with beans (green). Or just cooked it plain, no mixture.

5. Usaku

To made usaku, the process is more complicated. First you have to mash corn to bose. The bose is soaked overnight until soft, then pounded (again) into flour. This flour is mixed with grated coconut and then roasted until the powder get yellowish color. This Usaku can last for months. Eaten as snack!

6. Penpunef

Young corn is boiled with a cob, or even with the skin. As a child, I used to stick small twigs at the base of the cobs as a handle.

7. Penbeti

Pan-roasted corn kernels, hard and not recommended for those who have problems with teeth. It can be grounded to make Ut, or can be soaked overnight in salt water to be eaten later.

8. Pentunu

Roasted corn with cob, the most popular and “touristic” Timorese food, eaten with butter and sambal lu’at.


Well, that’s it, the corn-based food of Timorese ancestor. Nowadays nobody eat corn anymore… Or, do you still enjoy penpasu?

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget