Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Selasa, 06 Desember 2011

Catatan tentang Doa Syukur Agung Ketiga (DSA III)

Pengantar

Mungkin DSA III adalah DSA yang paling kurang digunakan dari DSA-DSA yang ada dalam misale kita. Supaya digunakan dalam setiap perayaan publik, bukan hanya panjangnya doa yang menentukan melainkan juga isi doanya. Isinya harus disesuaikan dengan kebutuhan gereja kontemporer.

"Proyek B"

Asal usul DSA III mudah sekali diteliti dalam dokumen lebih daripada ketiga DSA lainnya (I,II,IV). Ketika konsili menghendaki pembaharuan liturgi muncullah pertanyaan tentang DSA antar para liturgis dan teolog; seorang rahib Benediktin bernama Ciprianus Vagaggini, mengemukakan satu usulan dalam sebuah buku yang disebut The Canon of the Mass and Liturgical Reform. Ahli ini kelahiran Italia tetapi merupakan anggota komunitas yang bernama “Abbey of Saint Andre di Belgia, suatu tempat yang dikenal sebagai pusat gerakan liturgi. Tulisan-tulisan C. Vagaggini terkenal di kalangan para liturgis; khususnya buku yang dimaksudkan itu mengemukakan suatu komentar bermanfaat tentang dsa. Sebagian besar teks doa kita berhubungan dengan teks yang diusulkan dalam buku itu dan disebut penulisnya dengan “Proyek B”.

Vagaggini mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menyusun satu DSA yang kontemporer sekaligus tradisional. Ia menginginkan satu DSA yang asli, lengkap dari segi gaya literer dan liturgis khas bagi suatu anafora, yang lebih dekat dengan rasa biblis, liturgis dan pastoral; ia menganjurkan yang ideal untuk masa kini. Ia menulis bahwa ternyata harus diterima prinsip bahwa setiap DSA mempunyai hak dan kewajiban untuk merefleksikan secara khusus, pemikiran teologis gereja masa kini.

Di waktu yang sama, penulis sadar akan bagaimana DSA berasal dari waktu yang lama, karena patut diingat bahwa DSA tidak hanya merupakan doa, tetapi doa yang terrumus secara baik, dan mempunyai kharakter tradisional dan biblis. Karena aspek ini, maka Vagaggini mencari inspirasi dari liturgi-liturgi kuno di Spanyol dan Perancis, yang masih ada dalam liturgi Mozarabic di katedral Toledo. Liturgi-liturgi kuno ini bukannya liturgi Romawi. Salah satu pusat utama adalah kerajaan Visigotik di Spanyol di abad ke 7, di mana st. Isidorus sebagai figur dominan. Selama perkembangannya ada pengaruh besar liturgi Bizantin di Perancis; aspek-aspek pengaruh ini ditemukan dalam liturgi. Semua ini harus kita perhatikan di Iralndia, karena itulah tradisi dengan mana liturgi kuno kita sangat dekat.

Vagaggini menulis sebagai berikut: Pendapatku adalah bahwa salah satu tugas utama kita dalam memberikan dorongan kepada liturgi Romawi,yang kini dipakai di pelbagai regio di dunia, terletak dalam mengasimilasikan secara organik, pemikiran teologis, spiritual dan pastoral; sementara itu harus dipertahankan kesederhanaan dan keagungan dalam ungkapan, yang merupakan kehormatan tradisi autentik liturgi Romawi.

Struktur DSA III

Salah satu hal yang menarik dalam DSA III adalah strukturnya yang proporsional. Ada lima bagian pokok di dalamnya anafora-anafora Spanyol dan Perancis:

1. Prefasi (biasanya disebut Immolatio atau illatio)
2. Sanctus
3. Post sanctus
4. Konsekrasi yang biasa disebut Mysterium
5. Post mysterium.

Dalam DSA III, struktur ini telah diaplikasikan sedemikian untuk memberikan kepada setiap seksi, suatu kharakter definitif sambil menghindarkan teks yang panjang-panjang, sedemikian sehingga seluruh doa mengalir dengan baik.

Jika struktur dan beberapa ungkapannya diambil dari liturgi masa lampau, maka tema-tema dominan dalam DSA ini akan menjadi modern. Jika seseorang kehendaki satu kekhasan untuk menyatakan kharakteristik isi doa ini, maka dia dapat mendeskripsikannya sebagai DSA konsili Vatikan II. Tidaklah tepat bahwa doa ini dibentuk oleh orang-orang konsili Vatikan II sehingga keprihatinan-keprihatinan konsili dijadikan sebagai kunci DSA ini.

Tema DSA III

Tema utama DSA ini adalah kesatuan. Bahwa tema ini merupakan salah satu isu besar masa kini tidak perlu dikembangkan. Orang jarang memprihatinkan kesatuan dan komunitas sedemikian seperti masa kini, yang diintensifikasikan seperti yang dikehendaki konsili dalam Gaudium et Spes (23). Hal ini merupakan satu keprihatinan dunia modern, yang konsili jadikan sebagai keprihatinannya, seperti dalam GS no 42 ini: …..

Keprihatinan akan kesatuan diekspresikan dalam DSA dalam frase-frase berikut ini:

Semua ciptaan memuji Dikau ….. sedemikian sehingga dari Timur ke Barat suatu persembahan yang sempurna dilaksanakan ….. dan menjadi satu tubuh, satu roh dalam Kristus ….. dalam belaskasih dan kasih mempersatukan semu anakmu di mana saja mereka berada.

Dalam ungkapan-ungkapan ini, kita dapat memperhatikan secara khusus tema kesatuan yang diberikan basis teologis dalam ajaran tentang Tubuh Kristus. Pandangan ini sejalan dengan ajaran modern dari Magisterium, yang dimulai oleh ensiklik “Mystici Corporis” Pius XII dan yang diperbaharui oleh konsili Vatikan II dalam kontitusi Lumen Gentium no. 7.

Bagaimanapun, tekanan prinsipil dari DSA ini jatuh pada salah satu aspek teologis gereja, yang juga mendapat tekanan lebih besar dalam konsili, yaitu gereja umat Allah. Apresiasi atas konsep ini merupakan salah satu buah pembaharuan biblis dalam gereja. Hal ini diambil alih oleh DSA III dalam frase berikut ini:

“Kaupersatukan suatu umat bagiMu” ….. “semua umat yang PuteraMu telah peroleh bagiMu”….. umat yang mengembara di dunia”.

Gereja seturut DSA ini bukannya persekutuan para kudus dan para martir di Yerusalem surgawi yang dirayakan dalam DSA I. Umat yang dimaksudkan dalam DSA III itu adalah yang dimaksudkan dalam Lumen Gentium dan dalam dekrit tentang Ekumenisme, yakni Umat pengembara. Tema-tema kesatuan dan umat Allah merupakan alasan utama mengapa kita meninjau DSA ini secara khusus.

Kurban Ekaristi

Tema penting lainnya adalah Ekaristi itu sendiri serta tempatnya dalam hidup gereja. Dalam DSA ini, ada satu paragraf yang mengemukakan tentang persembahan gereja dalam hubungan dengan persembahan Kristus. Satu bagian dalam Epiklesis II berbunyi demikian: “Terimalah persembahan gerejaMu ini sebagai kurban sejati, yakni PuteraMu sendiri, yang telah mendamaikan kembali kami dengan Dikau berkat kematianNya”.

Tema teologis ini sudah merupakan kesulitan para teolog serta tradisi-tradisi kristiani. Sebagai frase yang diambil dari DSA Mozarabic, DSA III menyatakan kebenaran mendalam secara langsung dalam tradisi gereja perdana, yang menunjukkan bahwa sebagai kurban, misa bergantung seutuhnya kepada kurban Kristus. John Barry Ryan dalam bukunya “The Eucharistic Prayer” berkomentar demikian: ”Hal ini menghindarkan antitesis modern tentang korban salib dan korban misa sedemikian sehingga kurban satu-satunya itu tetap unik sedangkan / sementara aspek sakrifisial yang dilaksanakan tetap dipertahankan."

Jati diri Misa sebagai kurban salib menjadi pusat lewat jatidiri kurban dalam setiap kasus. Bagi generasi yang lebih tua, hal ini mengingatkan kita akan pendapat Maurice de la Taillo tentang kurban ekaristi, suatu pendekatan yang masih bermanfaat dalam berkotbah, meskipun teolog-teolog kini berpendapat bahwa hal itu belum lagi komplet.

Ada preseden baik bagi pendekatan ini. Barangkali pendapat Yohanes Krisostomus di abad pertengahan dapat menjadi teks klasik untuk tema ini: “Apakah kita punya kurban setiap hari? Sesungguhnya dengan memperingati wafatNya, kita punya satu kurban atau beberapa? Bagaimana satu dan bukan beberapa? Karena Ia telah dipersembahkan cuma satu kali, bagaikan mempersembahkan kurban yang suci. Yang pertama merupakan tipe dari yang lain, sama seperti Ekaristi juga. Kita selalu mempersembahkan kurban yang sama, bukan satu anak domba kini, dan besok yang lain tetapi selalu yang sama, dengan akibat bahwa kurban itu satu. Sama seperti argumen ini, karena korban dipersembahkan di banyak tempat, maka apakah ada banyak Kristus? Di mana-mana hanya ada satu Kristus, satu tubuh, sama utuh di satu tempat seperti tempat lainnya. Akibatnya, seperti Dia yang dipersembahkan di banyak tempat, adalah satu tubuh, dan bukan banyak, maka demikian juga kurban. Dia adalah Imam agung, yang mempersembahkan kurban yang memurnikan kita. Inilah apa yang kita kini persembahkan, adalah satu yang dulunya dikurbankan, persembahan yang tidak dapat dirusakkan oleh api. Hal ini terjadi sebagai peringatan akan apa yang pernah terjadi, “Buatlah ini sebagai peringatan akan Daku”. Kita tidak melaksanakan satu kurban yang lain, seperti imam agung biasa perbuat dulu. Kita selalu melakukan kurban yang sama, atau kita malaksanakan peringatan akan kurban yang sama”.

DSA versi Bahasa Inggris


Perlu dicatat bahwa DSA III versi Bahasa Inggris mengabaikan pokok ajaran yang dijelaskan Vagaggini dan diperhatikan dalam versi Latin DSA ini. Pokok itu adalah kharakter mendamaikan dalam / dari misa. Jika diterjemahkan secara harafiah maka terjemahannya demikian: Kami memohon kepadaMu, pandanglah persembahan umatMu dan lihatlah korban, yang mendamaikan kami kembali dengan Dikau, berkat wafatNya.

Terjemahan versi Inggeris dapat dipahami. Doktrin tentang aspek mendamaikan dengan mudah saja dapat disalahpahami oleh orang yang non kristen seperti menenangkan Allah pendendam. Di waktu yang sama, hakekat mendamaikan dari korban Kristus di salib merupakan bagian intrinsik dalam tradisi kita dari PB (Rm 3:25; Ibr 9:11ss; 1Yoh 2:2) dan dengan demikian merupakan bagian dari apa yang diambil Ekaristi, yang diberikan sebagai korban dalam misa dan di atas salib. Tobat merupakan salah satu realitas primordial, yang dialami umat tanpa mampu mengungkapkannya dalam kata-kata. Hal itu merupakan salah satu kebutuhan mendasar orang beragama, dan gereja selalu menyatakannya dalam Ekaristi sebagai sebagian pemenuhan akan kebutuhan itu.

Adalah berarti bahwa hal itu tetap dilaksanakan dalam DSA kita. Versi Jerman mempertahankan ide itu dengan mengemukakan tentang anak domba yang menghapus dosa dunia.

Peranan Roh Kudus

Dalam pembahasan tentang DSA IV telah dibicarakan tentang teologi Roh Kudus dalam liturgi baru. Peranan Roh Kudus, yang begitu penting dalam gereja kontemporer, khususnya lewat penyebaran gerakan kharismatik, merupakan salah satu tema signifikan dalam DSA III. Hal ini sebenarnya merupakan keprihatinan C. Vagaggini.

Menjelang akhir konsili, berkembang perasaan bahwa tidaklah cukup untuk bicara saja tentang Roh Kudus. Mereka yang terlibat dalam membaharui liturgi merasa cemas membereskan kekurangan itu. Mereka sadar bahwa kekurangan tidak hanya bahwa dalam konsili Vatikan II tetapi dalam seluruh tradisi liturgi Barat.

Vagaggini menulis demikian: “Di samping sejumlah pecahan dalam DSA Romawi yang mengikuti pola sebuah epiklesis, ada kekurangan lainnya seperti tidak ada teologi tentang peranan Roh Kudus dalam Ekaristi. Teologi ini sangat penting. Kebutuhan untuk merefleksikan kharakter biblis dan tradisional dari ajaran ini untuk merefleksikan secara langsung bahwa hal ini merupakan kekurangan serius. Kini kita sudah mulai semakin sadar akan penemuan kembali aspek Trinitas yang kita sebut aspek ekonomi sejarah keselamatan; suatu aspek yang digarisbawahi oleh konsili Vatikan II. Hal ini berarti memikirkan tentang pribadi-pribadi Allah Tritunggal tidak sejauh dalam term kesatuan mereka dalam hakekat ilahi seperti dalam term-term distinksi relatif, yang dikenal sebagai suatu prinsip lewat manifestasinya dalam sejarah keselamatan. Ternyata dalam revelasi selanjutnya dan ketetapan keselamatan manusia bahwa pribadi-pribadi ilahi telah wahyukan secara bertahap dan tetap mewahyukannya kepada kita”.

Seperti dalam DSA IV, Roh Kudus dirayakan pada dua pokok khusus DSA yakni epiklesis sebelum kisah institusi dan sesudahnya. Hal yang utama adalah bahwa Roh Kudus mendapat tempat dalam seluruh konteks sejarah keselamatan. Tugas yang dipercayakan kepadaNya adalah yang sudah tradisional dalam liturgi sebagai yang menguduskan semuanya dan yang mengembangkan gereja dalam kasih.

Pandangan tentang Roh Kudus demikian dalam DSA ini mungkin dapat dihubungkan dengan ajaran Vatikan II mengenai kehadiran Allah dalam gereja umumnya dan khususnya dalam liturgi. Seturut SC no. 7, misteri kehadiran Ekaristis harus ditempatkan dalam konteks berbagai jalan di mana Allah hadir dalam umatNya. Konsili nyatakan bahwa Allah sesungguhnya hadir sejak awal misa dan dengan demikian misa dapat dipandang sebagai misteri puncak dari kehadiran, yang mengarah kepada dan jauh dari kegiatan sentral Ekaristi dengan mana Kristus menyerahkan diri kepada Bapa atas nama umat.

Demikian juga halnya dengan DSA III. Dinyatakan bahwa Roh Kudus hadir, bahkan sebelum kita menghadiri misa. Ia berkarya memperdalam realitas hidup dan kekudusan yang mengalir dari Kristus. Karya Roh Kudus dalam Ekaristi, yang menyebabkan kehadiran Tubuh dan Darah Kristus, jadi dipandang sebagai suatu tahap dalam kerangka yang lebih luas. Sesudah kisah institusi, dalam epikesis II, perspektif doa mengarah kepada umat, kembali ke dalam hidup harian umat, sambil membawa kehadiran Roh Kudus yang memperbaharui sedemikian sehingga mereka semakin dapat menjadi tubuh Kristus di tengah dunia.

Perspektif ini mendapat suatu dimensi tambahan dalam doa untuk komemorasi para kudus. Tema ini ditempatkan dalam satu posisi yang tidak biasa dalam DSA. Anjurannya adalah bahwa persaudaraan dalam Roh Kudus yang berasal dari Ekaristi mengarah ke suatu kesatuan yang lebih dalam antara kita dengan seluruh tubuh mistik, dan secara khusus dalam jajaran para kudus di surga. Pikiran ini menjadi jelas dalam versi DSA Perancis, di mana Roh Kudus disebutkan secara explisit sebagai agen kita untuk menjadi korban persembahan yang kekal bagi Bapa dalam kesatuan para kudus. Patut kita sebutkan pernyataan st. Agustinus ini: Roh Kudus merupakan jiwa Tubuh Kristus yang adalah gereja.

Permohonan-permohonan


Pada akhir dari DSA, dikemukakan permohonan. Permohonan itu lebih dari sebuah daftar permohonan kepada yang ilahi. Permohonan-permohonan itu menyatakan dalam satu cara yang lain, tema yang sudah diperluas yakni komemorasi dan persatuan. Dari persatuan dengan penghuni surga kita beralih ke persatuan dengan mereka yang di dunia dan menjadi suatu persatuan dengan mereka yang kebutuhanna kita persatukan dengan kebutuhan kita dalam pengembaraan kita. Yang sungguh berharga adalah doa untuk persatuan yang ditujukan kepada Bapa yang baik. Versi DSA Jerman menambahkan nuansa yang bagus dengan menginterpretasikan doa bagi kegembiraan mengalami Allah sebagai doa agar kita dapat berpartisipasi dalam Kerajaan Allah. Itulah yang merupakan tujuan setiap Ekaristi.

Catatan tambahan:

1. Tentang teks “Sungguh kuduslah Engkau, ……. Untuk memuliakan namaMu”. Bagian ini dinamakan “post sanctus”, yang patut dikomentari. Keseluruhan alinea ini berharga sebagai satu perayaan yang layak dan bernuansa doa bagi umat yang berliturgi untuk memuja Pencipta dalam adorasi dan puji syukur.
2. “…sehingga di seluruh bumi dipersembahkan kurban yang murni untuk memuliakan namaMu”: Teks ini berhubungan dengan Mal 1:11. Patres di masa dulu mendiskusikan Ekaristi dalam hubungan dengan ramalan Maleaki ini. Bahwa dalam Ekaristi, kita mempunyai satu kurban yang murni, yang adalah pemenuhan dari / atas korban Perjanjian Lama. Konsili Vatikan II menyebutkan tema ini dengan mengutip Mal 1:11 itu dalam LG 17.

Oleh. Emanuel Hane. Dosen Liturgi Seminari TInggi Santu Mikhael Kupang

Minggu, 06 November 2011

IBADAT SABDA DENGAN KOMUNI


Ada beberapa alasan yang dapat membenarkan pemberian komuni kepada umat yang menghadiri ibadat sabda di hari Minggu dan hari raya:

= ALASAN TEOLOGIS:
- Supaya pemberian diri Kristus lewat santapan sabda dapat dikukuhkan lewat santapan tubuh Kristus maka sebaiknya diberikan komuni dalam ibadat sabda itu.
- Tubuh dan darah Kristus adalah tanda pembaharuan perjanjian Allah dengan umatNya yang telah dimeteraikan dalam Kristus. Dengan menyambut tubuh Kristus, umat yang sudah menanggapi sabda Allah, membaharui perjanjiannya dengan Allah.
- Komuni adalah perjamuan harapan yang kelak akan terwujud secara sempurna dalam surga.

= ALASAN LITURGIS: Ibadat sabda dengan komuni itu satu perayaan liturgis di mana umat mendengar sabda Allah, menanggapinya dengan syukur pujian dan mempersatukan diri dengan sabda yang telah menjadi daging (Yesus Kristus) lewat komuni.

= ALASAN KATEKETIS: Ibadat sabda dengan komuni merupakan pewartaan tentang allah yang datang untuk mengunjungi umatNya baik lewat pembacaan kitab suci juga lewat komuni tubuh dan darah Kristus. Persatuan umat dengan Allah karena sabda Allah yang diwartakan, dapat diperdalam lewat Komuni.

= ALASAN HISTORIS: Ibadat sabda dengan komuni merupakan satu kebiasaan yang sudah ada sejak abad 16/17. Di samping itu, melaksanakan ibadat sabda dengan komuni, merupakan perwujudan gagasan Kongregasi Ibadat.

Di bawah ini akan disajikan gagasan dan petunjuk Kongregasi Ibadat tentang Ibadat sabda dengan komuni:
Dari Inter Oecumenici (26-9-1964), dapat diketahui bahwa komuni di luar perayaan Ekaristi dapat diberikan dalam konteks ibadat sabda. Hal ini diteguhkan lagi dalam/oleh Eucharisticum Mysterium (15-5-1967) dan de sacra Communione et de cultu mysterii eucharistici extra missam (21-6-1973).
Dari Liturgicae Instaurationes (5-9-1970) nomor 6 Yaitu instruksi ke 3 tentang pelaksanaan Konstitusi Liturgi dapat kita ketahui hal-hal ini:
- Di tanah-tanah misi, Ibadat sabda dengan komuni dapat dipimpin oleh seorang katekis. Dalam ibadat tersebut, hendaknya tidak dipakai Doa Syukur Agung. Kata-kata konsekrasi hendaknya tidak dipakai. Tapi kalau ada maka seharusnya dalam bacaan atau sebagai bacaan.
Gagasan-gagasan ini diwujudkan kalau ada ibadat sabda dengan komuni pada Hari Minggu dan hari Raya.

PENDAPAT PARA DELEGATUS LITURGI SE INDONESIA (LOKA KARYA 7-14/7/1988):

Walaupun ada berbagai alasan yang membenarkan komuni dalam ibadat sabda, tapi dalam loka karya yang dilangsungkan di Yogyakarta itu ditemukan kebijaksanaan lain: Sebaiknya ada ibadat sabda tanpa komuni di hari Minggu dan hari raya karena alasan-alasan ini:
- Perayaan sabda mempunyai nilai tersendiri yang harus ditonjolkan (bahwa Allah hadir dan berkarya di tengah umat yang berhimpun dan juga dalam sabdaNya yang diwartakan hari itu).
- Komuni adalah bagian utuh dari perayaan Ekaristi yang selayaknya diterima/disambut dalam konteks perayaan Ekaristi. Tetapi tiap keuskupan dapat mengambil kebijaksanaan khusus sesuai dengan sikonnya masing-masing.

Syarat yang harus dipenuhi agar ada komuni dalam ibadat sabda adalah: Pelayan khusus yang memadai harus ada; penghormatan yang pantas kepada sakramen Tubuh dan darah Kristus harus diperhatikan. Juga harus diperhatikan agar komuni yang disambut hendaknya dari hosti yang dikuduskan pada hari yang sama di tempat lain yang dapat diantar ke sana oleh diakon atau awam yang dipercayai.


Sabtu, 27 Agustus 2011

LITURGI PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK

Pandangan umum tentang liturgi
Liturgi adalah kegiatan perayaan umat beriman, dalamnya dikenangkan dan dialami hadirnya Allah dengan karya-Nya yang menyelamatkan manausia. Puncak karya penyelamatan adalah misteri Paska Yesus Kristus.
Bagi umat beriman, liturgi adalah puncak dan sumber serta pusat kegiatan Gereja.
Liturgi adalah suatu kegiatan perayaan simbolis (sakramental).
Liturgi Perkawinan
Berdasarkan pemahaman umum tentang liturgi, dapatlah dikatakan satu dua pokok pikiran tentang liturgi perkawinan sebagai berikut.
1. Liturgi perkwinan bukanlah perayaan dua orang atau satu keluarga saja, tetapi merupakan perayaan/kegiatan bersama seluruh Gereja, bersama umat beriman di lingkungan/stasi/paroki.
2. Liturgi perkawinan bukanlah hanya tindakan mengenangkan kehadiran Allah yang setia menyelamatkan dan mempersatukan dengan cinta di masa lampau, tetapi juga merupakan suatu kenangan yang membuat peristiwa itu hidup dan dialami kembali. Dengan “merayakannya” diharapkan inti misteri itu dihayati dalam hidup harian selanjutnya dan akhirnya mencapai kesempurnaannya dalam surga. Hendaknya diingat bahwa di surga orang tidak mengawinkan dan tidak juga dikawinkan, tetapi akan mengalami persatuan cinta kasih yang membahagiakan dengan Allah dan semua orang kudus dalam kebadian.
3. Peristiwa utama yang dirayakan dalam liturgi perkawinan adalah misteri Paska Yesus Kristus, pada peristiwa mana kedua mempelai mengambil bagian secara khusus sebagai suami-isteri (mati dan bangkit bersama Kristus bagi satu sama lain. Dalam hal ini akan nampak inti kesatuan antara suami dan istri.
4. Liturgi perkawinan bukanlah suatu momen biasa sebagai hanya salah satu bagian dari seluruh kehidupan mempelai, tetapi merupakan “saat inti” yang dalam arti tertentu merangkum/meliputi seluruh kegiatan Gereja khususnya kegiatan kedua mempelai; di satu pihak saat ini menjadi puncak dari seluruh kegiatan sebagai pacar-tunangan, dan di pihak lain menjadi sumber rahmat dan kekuatan untuk seluruh kegiatan sebagai suami isteri nanti. “Hendaknya diusahakan agar upacara liturgi perkawinan di gereja janganlah dirasa sebagai formalitas gerejani belaka, sedangkan upacara adat yang menyusul dianggap sebagai puncak perayaan yang sesungguhnya. Umat harus dididik agar menghindarkan penyelenggaraan persta mewah yang menelan biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab sakramen perkawinan tidak diberikan oleh Kristus sebagai kesempatan untuk menonjolkan diri serta meningkatkan gengsi keluarga yang bersangkutan, melainkan untuk memberi restu dan dukungan kepada mempelai baru yang siap sedia mengemban tugas pelayanan suci kepada Gereja dan masyarakat.”[1]
5. Liturgi perkawinan bukanlah suatu upacara sipil biasa, atau sekedar suatu perayaan demi memenuhi persyaratan hukum, tetapi merupakan suatu perayaan simbolis (sakramental) di mana para mempelai mencicipi pengalaman persatuan dan cinta surgawi bersama Allah, persatuan cinta antara Yesus Kristus dan Gereja. Suasana persatuan itu harus dirasakan sebagai pengalaman yang sungguh menyelamatkan. Kesempurnaannya akan dialami di surga yaitu kebahagiaan abadi dalam persatuan dengan Bapa, Anak dan Roh Kudus bersama segala orang kudus. Sebagai suatu perayaan pengalaman iman, liturgi perkawinan tidak boleh menjadi hanya suatu kesempatan didaktik-kateketik. Dengan kata lain, dalam liturgi perkawinan tidak boleh diberikan penjelasan panjang lebar tentang arti/jalannya upacara kepada mempelai. Para mempelai sudah harus tahu sebelumnya (sudah memperoleh pendidikan dan katekese liturgi perkawinan sebelum perayaan) sehingga dalam liturgi perkawinan mereka dapat “mengalaminya” dengan lebih penuh, atau mereka dapat dengan lebih sadar merayakan dan menghayatinya. Oleh karena itu baiklah lebih dahulu dipelajari susunan upacara atau liturgi perkawinan serta arti dari bagian-bagian perayaan itu. Bila tiba waktunya sebaiknya dibuat “latihan” menjelang perayaan. Latihan seperti itu tidak hanya membantu memperlacar jalannya perayaan tetapi lebih dari itu menolong para mempelai dan pelayan-pelayan khusus lainnya untuk mulai “meresapi” dan “menghayati” makna dari liturgi perkawinan itu sendiri.
Tata liturgi perkawinan
Ada sejumlah kemungkinan tata laksana liturgi perkawinan. Dapatlah dibedakan berdasarkan tempat, pemimpin dan iman dari mempelai.
1. Upacara perkawinan di dalam Ekaristi. Ada rumus doa-doa Ekaristi yang khusus untuk perkawinan. Upacara nikah dilaksanakan sesudah liturgi sabda. Dipimpin oleh imam. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); liturgi ekaristi; penutup.
2. Upacara perkawinan di luar Ekaristi. Diselenggarakan dalam liturgi sabda. Sesudah homili/kotbah diadakan upcara perkawinan. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup. Bisa dipimpin oleh imam atau diakon.
3. Upacara perkawinan di rumah. Dapat dibuat dengan pertimbangan pastoral khusus. Hendaknya diperhatikan agar “jangan sampai karena ini timbul perbedaan antara orang kaya dan orang miskin”. Bila para hadirin sebagian besar orang katolik bisa dipakai upacara perkawinan dalam Ekaristi. Bila sebagian besarnya orang bukan katolik bisa dipakai upacara perkawinan di luar Ekaristi. Upacara-upacara adat setempat dapat dimasukkan kalau tidak menyimpang dari ajaran injil. Untuk itu perlu penelitian dan kerja sama antara para pendukung adat, antropolog, pastor. Bagi umat perlu diberikan penjelasan yang memadai.[u1] [2]
4. Upacara perkawinan yang dipimpin oleh awam. Hanya dalam keadaan tertentu/khusus upacara perkawinan dapat dipimpin oleh seorang awam. Untuk itu pemimpin awam tersebut harus mendapat tugas/wewenang dari pimpinan Gereja. Rumus dan tata laksana liturginya kurang lebih sama dengan upacara perkawinan di luar Ekaristi. Urutannya: pembukaan; liturgi sabda; upacara nikah (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.
5. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai kristen dari Gereja lain. Untuk penyelenggaraan perkawinan campur ini harus ada ijin dari pimpinan Gereja. Bila dilakukan, kedua belah pihak harus bebas dari “tekanan batin” dan peristiwa seperti ini tidak boleh menjadi penghalang dialog ekumenis. Lebih cocok kalau dibuat upacara perkawinan di luar Ekaristi. Bisa juga dipakai upacara perkawinan di dalam Ekaristi dengan penyesuaian seperlunya. Dapat pula dipakai upacara perkawinan campur yang diselenggarakan secara ekumenis. Tugas pimpinan liturgi perkawinan dapat dibagi antara imam dan pendeta/ketua Gereja Kristen lain dengan memperhatikan hal-hal berikut:
* Kalau tidak ada dispensasi dari “forma canonica” (= tata peneguhan yaitu perjanjian nikah ke dua mempelai sah bila dilangsungkan di hadapan ordinaris wilayah atau pastor-paroki atau imam maupun diakon yang diberi delegasi, yang meneguhkannya serta dihadapan 2 orang saksi) maka perjanjian nikah harus diterima oleh seorang imam.
* Kalau ada dispensasi dari “forma canonica” maka perjanjian nikah boleh diterima oleh pendeta dan disaksikan oleh imam.
* Tetapi tidak diperbolehkan bahwa perjanjian nikah diterima oleh pendeta/pimpinan dari pihak Gereja lain dan oleh imam dari pihak katolik. Juga tidak boleh diterima dua kali: oleh pemimpin upacara 1, lalu menyusul pemimpin 2.
* Hendaknya diadakan penyesuaian seperlunya, agar tidak menyinggung perasaan pihak yang lain, misalnya dengan menghindarkan istilah “sakramen perkawinan”.[3]
Tata laksana upacara perkawinan campur: Pembukaan; Pelayanan Firman/Liturgi Sabda; Pemberkatan Perkawinan (Perjanjian Nikah, Peresmian Perkawinan, Pemberkatan Mempelai, Simbol-simbol Perkawinan); Doa Syafaat/Doa Umat; Penutup.
6. Upacara perkawinan mempelai katolik dengan mempelai bukan kristen. Lebih baik diadakan di luar Ekaristi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Upacara Perkawinan (perjanjian nikah: pernyataan kesediaan/kerelaan, janji setia perkawinan; peneguhan/pemberkatan nikah; penandatanganan naskah perjanjian nikah; simbol-simbol perkawinan; doa umat); penutup.[4]
7. Upacara convalidatio. Bila suami-istri mau “membereskan” perkawinan mereka di hadapan Gereja (bila terdapat halangan yang bersifat menggagalkan seperti kekurangan sehubungan dengan kesepakatan dan tata peneguhan sehingga perkawinan yang sudah diadakan menjadi tidak syah, haruslah dibereskan supaya menjadi syah). Dalam upacara convalidatio ini perjanjian nikah harus dibaharui di hadapan imam dan dua saksi. Urutannya: Pembukaan, Liturgi Sabda, Pembaharuan Janji Nikah, Penutup.[5]
8. Pemberkatan suami istri yang sudah kawin di luar Gereja. Bila ada suami istri yang menjadi katolik, dapat diselenggarakan upacara ini untuk meneguhkan perkawinan mereka yang sudah syah itu (tetapi terjadi ketika mereka belum dipermandikan). Dalam upacara ini perjanjian nikah dapat dibaharui di hadapan imam. Urutannya: Pembukaan; Liturgi Sabda; Pembaharuan Janji Nikah dan Peneguhan; Penutup.[6]
9. Upacara perkawinan sipil. Bila dua orang yang belum dibaptis (katekumen atau simpatisan) menghadap pastor/imam untuk nikah secara katolik. Pastor hanya bisa melayani mereka kalau ia mempunyai kuasa dari pemerintah setempat untuk bertindak sebagai pengantar agama dalam perkawinan. Pandangan masyarakat setempat harus diperhatikan. Nikah secara katolik ini tidak/belum merupakan sakramen. Urutannya: Pembukaan; (Liturgi Sabda); Amanat Perkawinan; Peresmian-Perjanjian Nikah; Peneguhan oleh imam; Doa atas mempelai; Penandatanganan naskah perjanjian; lambang-lambang Perkawinan; Doa umat; Penutup.[7]
Unsur-unsur Pokok Liturgi Perkawinan
1. Liturgi Sabda. Ada bacaan-bacaan, mazmur tanggapan, homili/kotbah. Dalam bagian ini kita alami hadinya Tuhan lewat pemakluman dan penjelasan sabda-nya. Tuhan sungguh-sungguh hadir dan bersabda kepada kita sebagai persekutuan beriman, khususnya kepada para calon mempelai. Tuhan bersabda untuk meyakinkan kita (khususnya para calon mempelai) bahwa Ia tetap mencintai kita, bahwa Ia setia dalam Perjanjian-Nya dengan kita, bahwa Ia tidak bosan-bosannya menegur kita bila kita mulai lupa akan janji kita kepada-Nya, bahwa Ia senantiasa menguatkan dan menghibur kita dalam setiap kesulitan dan kesusahan, bahwa Ia selalu membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan dalam cinta, bahwa Ia selalu menyelamatkan kita. Karena kesetiaan-Nya itu Ia selalu memberi kita pedoman-pedoman untuk hidup saling mencintai dan saling melayani dengan penuh rasa tanggungjawab. Dalam bagian ini kita harus menyadari pentingnya Sabda Tuhan sebagai dasar hidup perkawinan. Seluruh keluarga harus hidup sesuai dengan pedoman Sabda Allah. Secara konkrit kita diajak untuk mulai di dalam rumah menghargai kehadiran Tuhan dalam Kitab Suci dengan membaca, merenungkan dan menghayati-Nya dalam hidup harian.
2. Perjanjian Nikah. Sesudah homili, mempelai dipersilahkan berdiri, juga orang tua/wali dan saksi. Sesuai adat setempat imam boleh mengajak para mempelai untuk meminta doa restu kepada orang tua mereka. Hendaknya tindakan ini mengingatkan kita untuk berterimakasih kepada orang tua karena kerelaan dan cinta mereka, karena restu, berkat, dorongan dan pengampunan yang diberikan kepada para mempelai. Coba bayangkan kesulitan yang dialami ketika para orang tua tidak merestui sang pacar, tunangan bahkan menolak dengan tegas dan ganti memberi restu mereka menyumpah dan mengutuk. Maka restu saat ini mengungkapkan saling pengertian, kerelaan orang tua menerima para calon mempelai apa adanya, serta pengorbanan mereka demi kebahagiaan para calon mempelai. Sepantasnya restu ini diterima dan dialami dengan penuh rasa syukur.
Sesudah menerima restu dari orang tua, para calon mempelai menyatakan (dengan menjawabi pertanyaan tentang) kesediaan-kerelaan dan keikhlasan hati untuk saling menerima dan saling mencintai sebagai suami istri. Dengan suara jelas-kuat, di hadapan imam, saksi dan umat yang hadir para calon mempelai menyatakan kesediaan dan keikhlasan hati. Dengan ini mereka menyatakan kebebasan dalam pilihan mereka. Tidak ada satu paksaan pun dalam relasi para calon mempelai. Sebagai manusia bebas mereka telah saling mengundang dan memilih untuk mencintai satu sama lain.
Lalu menyusul Perjanjian Nikah. Dalam bagian ini para pihak mengucapkan Perjanjian Nikah: secara resmi mau mengikat diri pada yang lain dan demikian mengikat yang lain kepada diri sendiri sebagai suami atau istri sambil berjanji untuk mencintai yang lain dengan setia dan ikhlas hati seumur hidup, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Mereka meragakan janji setia itu dengan meletakkan tangan kiri di atas Kitab Suci yang dipegang imam dan mengangkat tangan kanan sambil mengucapkan kata-kata janji setia. Dapat pula Kitab Suci itu ditumpangkan di atas bahu para mempelai. Pada saat ini lewat kata-kata dan tindakan simbolis mereka berjanji untuk saling mencintai dengan setia seumur hidup. Dengan janji ini mereka mengikat satu sama lain secara resmi sebagai suami-istri.
3. Peneguhan dan pemberkatan perkawinan. Dalam bagian ini imam atas nama Gereja meneguhkan peresmian perkawinan para mempelai. Ia menegaskan bahwa perkawinan itu adalah perkawinan kristen yang syah, dipersatukan oleh Allah dan tidak boleh diceraikan manusia. Dan supaya perkawinan ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan, imam berdoa memohon berkat untuk para mempelai.
Imam berdoa bagi mempelai wanita: supaya hatinya penuh rahmat cinta dan damai, dan menjadi isteri yang setia serta ibu yang baik.
Imam berdoa juga bagi mempelai pria: supaya berusaha menunaikan tanggungjawab terhadap istri, anak-anak dan masyarakat.
4. Penandatanganan naskah perjanjian nikah. Dapat dibuat pada kesempatan ini atau pada bagian penutup. Ini merupakan bukti tertulis dari janji nikah. Dengan tanda tangan dari semua pihak (para mempelai, imam, para saksi) naskah tertulis dari janji nikah itu menjadi sebuah dokumen resmi menurut hukum.
5. Lalu dibuat simbol-simbol perkawinan. Ditawarkan dua simbol: a) pemberkatan dan pengenaan cincin; b) pembukaan selubung. Boleh juga dipilih simbol lain yang sesuai dengan budaya setempat. Sebagai simbol perkawinan, semuanya mengungkapkan kesetiaan dan cinta satu sama lain yang mengikat para mempelai sebagai suami istri dan menjadi sumber kebahagiaan sejati.
6. Doa Umat/Doa Syafaat. Secara khusus hari ini para mempelai harus sadar bahwa umat beriman merestui perkawinan mereka dan turut mendoakan mereka serta seluruh keluarga demi kebahagiaan dalam hidup di bumi ini maupun di akhirat nanti.
7. Bila diteruskan dengan perayaan Ekaristi maka unsur-unsur berikut ini mempunyai arti khusus.
a. Persiapan Persembahan. Dalam bagian ini para mempelai mempersiapkan segala yang perlu untuk memberi/mempersembahkan dri (keluarga) dalam persatuan dengan bahan korban syukur Yesus Kristus (roti dan anggur).
b. Doa Syukur Agung. Dalam persatuan dengan Yesus Kristus, seluruh umat beriman, khususnya para mempelai, menyampaikan korban syukur-pujian kepada Allah penuh cinta dan sumber kebahagiaan sejati. Syukur pujian atas segala anugerah (karya agung Allah) yang telah dialami selama ini oleh para mempelai, secara istimewa pada hari ini dalam persatuan cinta para mempelai sebagai suami istri.
c. Doa Damai dan Salam Damai. Kita mengungkapkan damai satu sama lain. Hendaknya para mempelai melupakan segala yang menyakitkan di masa lampau. Dan bila di masa depan akan alami kesulitan dalam keluarga, ingatlah akan damai yang Tuhan anugerhkan secara khusus pada perayaan perkawinan ini.
d. Komunio. Dibuat dalam dua rupa. Sesuai dengan kebiasaan setempat dapat dilakukan dengan saling menyuap. Hal ini mengungkapkan sikap saling memberi dan menerima serta kebahagiaan dalam persatuan di antara suami istri dan dengan Yesus Kristus. Sesudah komunio biasanya ada kesempatan berdoa secara pribadi. Bersyukurlah kepada Allah atas anugerah-anugerah-Nya teristimewa untuk rahmat perkawinan ini. Patut diingat dalam doa semua orang yang berjasa baik langsung maupun tidak langsung, khususnya bagi orang tua, teman-teman (termasuk mantan-mantan pacar kalau ada, sebab mereka juga mempunyai andil untuk membina para mempelai menjadi matang dalam mencinta).
e. Berkat dan pengutusan. Para mempelai mendapat berkat khusus hari ini. Dengan ini mau diungkapkan bahwa Tuhan selalu menyertai mereka dalam hidup dan karya setiap hari, khususnya dalam melaksanakan tugas-tugas perutusan, agar menjadi saksi cinta Allah dan menjadi berkat serta kebahagiaan bagi orang lain.
Semoga liturgi perkawinan dirayakan sebagai puncak dan sumber kegiatan hidup para mempelai.
Oleh: Rm Bernardus Boli Ujan, SVD



[1] PWI-Liturgi, Upacara Perkawinan. Buku PemimpinUpacara, Ende: 1976, hlm 13. Selanjutnya dipakai singkatan UP.
[2] Bdk UP, hlm 47.
[3] Bdk UP, hlm 57-74.
[4] Bdk UP, hlm 75.
[5] Bdk UP, hlm 87.
[6] Bdk UP, hlm 91-94.
[7] Bdk UP, hlm 95-96.


[u1]Betapa sering upaya penyesuaian dilakukan tanpa mengindahkan hak umat untuk memberikan pendapat atau penilaian serta hak untuk memperoleh penjelasan yang memadai.

Rabu, 24 Agustus 2011

MAKNA NYANYIAN DALAM PERAYAAN EKARISTI

Perlu dicatat bahwa penggunaan lagu-lagu liturgis untuk tiap bagian perayaan liturgi secara khusus dan secara umum untuk perayaan liturgi, sepatutnya direstui oleh pimpinan gereja setempat yang berwenang. Terlebih kalau lagu-lagu itu merupakan ciptaan baru. Lagu-lagu itu juga seharusnya sesuai dengan kekhasan bagian-bagian perayaan itu. Pimpinan itulah yang harus mengesahkan lagu-lagu tersebut (IML 32).


1. Lagu-lagu proprium.

Nyanyian-nyanyian yang disebut proprium adalah nyanyian-nyanyian (dalam perayaan Ekaristi) yang kata-katanya (seperti dalam edisi resmi) selalu berbeda dari perayaan ke perayaan.


IML sangat mengharapkan agar jemaat / persekutuan liturgis berpartisipasi sedapat mungkin dalam lagu-lagu proprium (nyanyian-nyanyian khusus, kata-katanya berbeda dari perayaan ke perayaan) (IML 33). Untuk itu sebaiknya dipersiapkan refrein dalam bentuk jawaban-jawaban sederhana yang dapat diulangi umat.


= Lagu pembukaan (Introitus):
Tujuannya seperti telah dikemukakan di atas. Sifatnya aktip (untuk mempersatukan umat), meriah (sesuai dengan perayaan Ekaristi yang adalah pesta, terkecuali Adventus, Puasa dan peringatan orang mati.


Bentuknya boleh berupa nyanyian berbait. Teks yang dipakai sebaiknya menceriterakan kembali secara poetis, misteri keselamatan yang dirayakan dan memasukkan ke dalamnya unsur pujian dan permohonan[1]. Diharapkan semua umat/paduan suara melagukannya. Adalah baik kalau umat melagukan refrein sedangkan paduan suara solo. Lagu ini penting (tak boleh diganti) karena memuat tema perayaan. Kalau tak dinyanyikan maka sebaiknya salah seorang wakil umat mengucapkan antifon bersangkutan (dalam setiap perayaan tersedia antifon termaksud).


= Masmur tanggapan:
Sampai kini beredar nama-nama yang tak tepat bagi masmur tanggapan seperti nyanyian antar bacaan/nyanyian selingan. Bahkan ada yang menggantinya seenaknya tidak seperti yang dicanangkan gereja bahwa ia harus diambil dari buku lectionarium (sudah tersedia). Ia bertujuan untuk menanggapi bacaan yang telah dimaklumkan (bacaan I) dan diambil dari masmur yang mempunyai hubungan (sebagai tanggapan) dengan bacaan tersebut. IML 33 menyatakan bahwa ia adalah bagian utuh dari liturgi sabda. Diharapkan agar psalmista, umat dan imam menyanyikan / memadahkan masmur tanggapan itu. Tak boleh dibawakan oleh koor saja sebab ia adalah jawaban umat seluruhnya atas sabda Allah yang telah diwartakan dalam bacaan I itu.


= Bait pengantar Injil:
Di masa paskah dan biasa terdiri dari alleluya dan sebait kata yang dapat diambil dari injil bersangkutan atau lainnya yang cocok dengan tema injil hari itu. Di masa prapaskah tak ada alleluya. Ada nama tak tepat yang dipakai seperti nyanyian selingan sesudah bacaan II. Salah seorang wakil umat melagukan alleluya, umat mengulanginya, wakil umat itu melagukan bait kata-kata itu dan ditutup dengan alleluya yang dilagukan oleh umat seluruhnya. Kalau tidak dilagukan sebaiknya tidak diucapkan.


= Nyanyian persiapan persembahan:
Ia bertujuan untuk mengiringi persiapan bahan persembahan yang dapat dibawakan dalam perarakan umat dan berlangsung selama persiapan persembahan itu berjalan (PUBM 46). Sifatnya meditatip dan dapat berbentuk apa saja. Koor boleh melagukan nyanyian itu, kalau umat semua akan lebih baik. Ia tidak terlalu penting untuk dibawakan / dapat dihilangkan atau diganti dengan instrumen. Kalau tak dilagukan, antifonnya (kalau ada) tak perlu diucapkan. Kalau ada lagu untuk tarian persiapan persembahan maka sebaiknya tidak perlu ada lagi lagu persiapan persembahan yang khusus.


= Nyanyian komuni:
Ia bertujuan untuk mengiringi komuni yang didistribusikan kepada umat dan mempersatukan umat yang berkomuni. Sifatnya aktip (untuk mempersatukan), dapat dilagukan oleh semua peserta atau solis atau paduan suara. Dapat berbentuk mmasmur dengan refrein, atau nyanyian berbait dengan refrein. Nilainya: penting / tak boleh dihilangkan. Dalam perayaan kelompok kecil, sebaiknya dilagukan sesudah semua berkomuni. Ada praktek yang kelewat batas: di waktu pesta-pesta besar, umat diberi kemungkinan untuk membawakan lagu komuni walaupun komuni yang diringi oleh lagu itu sudah selesai. Entah itu masuk akal?


= Nyanyian penutup:
Bertujuan mengiringi perarakan pulang selebran (imam) beserta para pembantunya ke sakristi; ia merupakan nyanyian umat; berbait dan singkat sebagai pengiring.


2. Nyanyian-nyanyian ordinarium:

Nyanyian Ordinarium adalah nyanyian yang sesuai dengan buku-buku resmi yang kata-katanya selalu sama dari perayaan ke perayaan.


= Kyrie:
berasal dari kata Kyrios (sapaan tua kepada Kristus Tuhan). Lagu ini bertujuan untuk menyatakan tobat sambil memohonkan belas kasihan dan kemurahan Tuhan. Sifat dari lagu ini ditentukan oleh tujuannya yaitu tenang, bernada memohon. PUBM 396 menyatakan sebaiknya seluruh umat melagukannya. Nilainya: dapat digabungkan dengan tobat yang mendahuluinya.


= Gloria (Kemuliaan):
Dalam perayaan Ekaristi ada gloria yang disebut doxologi panjang. Ia adalah madah yang sangat dihargakan sejak dulu terlebih di zaman purba. Ia merupakan sarana jemaat yang dikumpulkan oleh Roh Kudus untuk mengungkapkan kemuliaan Allah Tritunggal, kegembiraan dan pujian kepada allah yang sama: Allah Bapa dan Anak Domba serta Roh Kudus. Dilagukan pada hari-hari pesta sekaligus sebagai pengungkap permohonan (PUBM 397). Sifatnya meriah. Dibawakan oleh umat dengan paduan suara atau paduan suara saja.


= Credo (Aku percaya):
Menyatakan iman umate yang bersekutu. Dapat dilagukan oleh umat dan imam. Bentuknya tradisionil seperti dalam Tata Perayaan Ekaristi.


= Sanctus (kudus):
Untuk mengikut sertakan umat dalam Doa syukur agung, guna bersama penghuni surga memuji Allah. Sifatnya aktip, meriah. Harus dibawakan oleh seluruh umat dan imam. Bentuknya tradisionil seperti dalam Tata Perayaan Ekaristi atau nyanyian berbait.


= Agnus Dei (Anak Domba Allah):
bertujuan untuk mengiringi pemecahan Tubuh Kristus, bersifat tenang. Dapat dibawakan oleh paduan suara. Bentuknya tradisionil atau nyanyian berbait.


3. Catatan penting:

Kini orang mulai meninggalkan pola pembagian nyanyian perayaan Ekaristi atas proprium dan ordinarium. Seluruh nyanyian perayaan Eakristi merupakan satu paket yakni nyanyian perayaan Ekaristi. Masing-masing nyanyian itu berperan secara dinamis sesuai dengan gerak dinamis perayaan Ekaristi. Pengelompokan nyanyian perayaan Ekaristi demikian:


= Tingkat I:

Kelompok I ini adalah nyanyian yang berupa aklamasi yang meliputi Alleluya, Aklamasi sebelum dan sesudah Injil, Kudus, Anamnesis, Amin pada akhir Doa Syukur Agung. Termasuk juga aklamasi dialogal yang melibatkan pemimpin dan umat. Pada dasarnya, nyanyian aklamasi tidak boleh didaras; hendaknya selalu dinyanyikan.

= Tingkat II: Kelompok ini meliputi nyanyian Masmur tanggapan dan nyanyian yang melibatkan pemimpin dan umat bersama-sama seperti Kemuliaan, Bapa Kami, Madah Syukur dan Penutup.

= Tingkat III: hanya meliputi nyanyian pembukaan.

= Tingkat IV: nyanyian tambahan yang dapat diganti dengan musik instrumental: persiapan persembahan.

Ilham untuk mengelompokkan nyanyian perayaan ekaristi atas cara demikian rupanya antara lain ditimba dari tulisan orang-orang ini:


+ John Hibbard dalam bukunya “Guidlines for music in the Liturgy, yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas dua yakni: kelompok primer (nyanyian pembukaan, masmur tanggapan, aklamasi Injil, Kudus, aklamasi anamnesis, Amin sesudah Doa Syukur Agung, nyanyian Komuni; Kelompok sekunder yakni Kyrie, Gloria, Jawaban Doa Umat, Bapa Kami dan madah syukur sesudah komuni.


+ Buku Celebration Hymnal yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas tiga yakni Tingkat I yang meliputi nyanyian-nyanyian paling penting yakni aklamasi sebelum dan sesudah Injil, aklamasi dalam DSA (Kudus, Anamnesis dan Amin meriah); Tingkat II yang meliputi Gloria, Masmur Tanggapan; Tingkat III yang terdiri dari nyanyian pembukaan, persiapan persembahan, Komuni dan Penutup.


+ Dokumen Music in Catholic Worship yang dikeluarkan Konperensi Wali Gereja Amerika Serikat yang mengelompokkan nyanyian perayaan Ekaristi atas lima: Nyanyian aklamasi (Alleluya, Kudus, Anamnesis, Amin; Nyanyian perarakan yakni pembukaan dan komuni; Nyanyian masmur tanggapan; nyanyian Ordinarium (seperti yang dikenal ditambah Bapa Kami) dan nyanian tambahan yang meliputi persiapan persembahan madah syukur serta penutup[2].

Penutup

Orang Latin mengatakan "Qui bene cantat, bis orat" yang berarti yang menyanyi dengan baik, berdoa dua kali. Ungkapan ini dapat meyakinkan kita bahwa nyanyian liturgi sungguh bermanfaat dalam/untuk menyatakan tanggapan peserta perayaan atas sabda Allah, atas karya Allah dan sekaligus merupakan doa yang sungguh berarti.



[1] J. Gelineau, op. cit., hal. 500.

[2] Ernest Maryanto, Praktek liturgi pasca-Vatikan II, dalam Gereja Indonesia pasca-Vatikan II, Kanisius, 1997, hal. 300-301.

Rabu, 10 Agustus 2011

Tata Liturgi Pemakaman Katolik



Kematian bukanlah akhir segala-galanya. Kematian adalah awal hidup baru. Kematian para martir pada abad-abad pertama disebut “saat kelahiran” dalam hidup abadi. Maka peringatan hari kemartiran mereka dirayakan sebagai “dies natalis” (misalnya hari peringatan kemartiran santo Laurensius disebut “dies natalis sancti Laurentii”).
Bagi orang beriman kristiani, mengalami kematian merupakan partisipasi manusia dalam peristiwa kematian Yesus Kristus sebagai langkah penting dalam mengalahkan kelemahan, dosa, maut dan kesementaraan menuju keabadian, hidup, kekudusan dan kemuliaan surgawi.

Upacara Pemakaman

1. Suatu penghargaan terhadap martabat manusia. Manusia utuh, dengan tubuh dan roh (badan dan jiwa) merupakan ciptaan Tuhan yang telah ditebus oleh Tuhan. Orang-orang beriman adalah bait Allah Roh Kudus (1 Kor 6:19).

2. Suatu tanda solidaritas. Dengan upacara ini kita mengungkapan persekutuan antara kita yang masih hidup dengan mereka yang sudah meninggal dunia.

3. Penghargaan terhadap nilai-nilai positip dari budaya setempat dalam hubungan dengan upacara pemakaman dan peringatan arwah. Perlu suatu penelitian dan penilaian terhadap kebiasaan setempat sejauh mana cocok atau bertentangan dengan ajaran iman.
 Misalnya tentang:
  • Upacara memandikan dan mengapani jenasah;
  • Upacara memasukkan jenasah ke dalam peti;
  • Upacara pemberkatan jensah;
  • Upacara perarakan ke kubur dan pemakaman;
  • Upacara peringatan arwah (3,7,40,100,1000 hari sesudah kematian).
4. Kesempatan didaktis pastoral. Peristiwa kematian, suasana sekitar kematian dan upacara pemakaman merupakan suatu kesempatan yang bagus dan peka untuk bertemu dengan banyak orang dan menyampaikaan atau mewariskan nilai-nilai dan keutamaan kristiani seperti persaudaraan iman, harapan, kebangkitan dll. Untuk itu para pelayan perlu mempersiapkan diri dengan baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya agar dapat lebih menyentuh dan menggerakan semua orang yang mengambil bagian dalam kesempatan pemakaman itu.

Makna liturgi pemakaman
1. Peringatan misteri Paska Kristus.
2. Memuliakan Allah dan bersyukur kepada-Nya.
3. Memohon kebahagiaan abadi bagi yang telah meninggal.
4. Mengalami persatuan dengan orang yang meninggal.
5. Menghibur keluarga yang berduka dan menguatkan iman umat.
6. Merupakan kesempatan untuk mewartakan dan menyaksikan iman akan Kristus dan harapan akan kebangkitan.


Tata Ibadah Pemakaman

A. Di Rumah (Rumah Duka) dan Perarakan ke Gereja
  1. Salam
  2. Perecikan, pendupaan jenasah (penaburan bunga atas jensah; pamitan dengan jenasah sesuai kebiasaan setempat).
  3. Penutupan peti jenasah diiringi doa atau lagu.
  4. Doa Pemimpin untuk orang yang meninggal dan untuk keluarga yang berduka.
  5. (Sambutan-sambutan sesuai kebiasaan setempat). Ajakan Pemimpin untuk menghantar jenasah.
  6. Perarakan jenasah ke gedung gereja (dapat diiringi doa dan lagu).
  7. Penjemputan/penerimaan jenasah di depan gereja.
  8. Perarakan ke dalam gereja diiringi nyanyian.
  9. Penutup.

B. Upacara di gereja
  • PEMBUKAAN
1. Salam
2. Kata Pengantar oleh Pemimpin.
3. Tuhan kasihanilah kami.
4. Doa Pembukaan
  • LITURGI SABDA
  • LITURGI EKARISTI
  • UPACARA PEMBERKATAN JENASAH DAN PERARAKAN KE KUBURAN
Dibuat sesudah Tanda Salib dan Salam (kalau tidak ada liturgi sabda dan liturgi Ekaristi), atau sesudah Doa Umat (kalau tidak ada liturgi Ekaristi) atau seusai Doa Sesudah Komuni (bila ada liturgi Ekaristi).
1. Pengantar oleh Pemimpin.
2. Perecikan dan pendupaan jenasah diiringi nyanyian.
3. Doa oleh Pemimpin.
4. (Sambutan-sambutan sesuai dengan kebiasaan setempat).
5. (Kesempatan melihat jenasah dan pamit).
6. Perarakan ke kuburan (diriirngi doa dan nyanyian).

C. Upacara di Kuburan
1. Kata Pengantar oleh Pemimpin.
2. Doa oleh Pemimpin
3. Bacaan.
4. Pemberkatan Makam.
5. Upacara Perpisahan:
* Peti jenasah dimasukkan ke dalam makam diiringi kata pengantar.
* Perecikan peti jenasah.
* (Pendupaan peti jenasah sesuai kebiasaan setempat).
* (Penaburan bunga atas peti jenasah sesuai kebiasaan setempat).
* Penaburan tanah ke atas peti jenasah. Hadirin dapat dipersilahkan untuk melakukannya.
* Pemimpin membuat tanda salib atas peti jenasah.
6. Doa Umat.
7. (Sambutan-sambutan).
8. Penutup.

Rabu, 03 Agustus 2011

ATURAN BUSANA LITURGIS


1. Pendahuluan singkat: Dalam masyarakat, juga dalam perayaan-perayaan, termasuk perayaan liturgis, pakaian khusus mempunyai peranan dan menyampaikan pesan tertentu tentang jati diri pemakainya. Dari pakaian yang dipakai, kita dapat mengenal siapa orang itu. Yang dibahas di sini adalah busana liturgis khusus untuk perayaan Ekaristi, khususnya bagi pelayan khusus.

2. Tinjauan historis:

2.1 Busana jemaat: Rupanya di jaman st. Paulus ada kebiasaan berbusana khusus bagi jemaat, dalam liturgi. (Cf. 1 Kor 11:2.4-5.16). Bahwa kaum pria tidak perlu bertudung kepala, sedangkan wanita sepatutnya bertudung kepala. Tetapi asal usul kebiasaan ini tidak jelas. Kini tidak diberlakukan lagi.

Kemudian tudung kepala itu menjadi tanda pengudusan diri para perawan, yang dilaksanakan dalam upacara liturgis yang disebut velatio.

Suatu kebiasaan lainnya dalam hal busana khusus dalam liturgi ialah pemakaian pakaian putih ketika seorang diinisiaikan dan selama pekan sesudahnya. Karena inisiasi masa itu dilaksanakan pada malam Paskah, maka kebiasaan berpakaian putih ini berlangsung hingga Sabtu sebelum Hari Minggu II Paskah.

2.2 Busana pelayan tertahbis dalam liturgi:

2.2.1 Pada abad-abad pertama: Pada awalnya dalam perayaan Liturgis, tidak jelas adanya ketentuan untuk berbusana khusus bagi para pelayan tertahbis. Tanda pembeda khusus hanya berupa tempat khusus yang diberikan kepada pelayan-pelayan itu. Toh Origenes menyatakan bahwa ketika memimpin inisiasi, uskup mengenakan satu set busana yang berbeda dengan busana untuk mengunjungi umat. Seturut Hironimus dan Hipolitus rupanya dipakai tunika putih, yang mungkin didasarkan pada Imamat 16:4. Sedangkan Theodorus dari Mopsuestia tulis bahwa dalam memimpin inisiasi, hendaknya pakaian uskup berwarna terang dan terbuat dari linen halus. Pakaian diakon yang membantu uskup, hendaknya sesuai dengan tugas yang diemban. Ia mengenakan Orarion (yang kemudian berkembang menjadi stola). St. Ambrosius mencatat bahwa ternyata uskup, imam dan diakon mudah dibedakan dari peserta jemaat yang lain oleh katekumen-katekumen,rupanya karena mereka memakai busana tertentu.Karena itu di abad-abad ini catatan-catatan tentang busana liturgis ada, tetapi tidak terlalu jelas. Di abad ke 4 dan seterusnya, mulai ada perkembangan baru. Penghargaan pemerintah terhadap pejabat-pejabat tingginya, juga diberikan kepada para uskup. Karena itu tanda-tanda penghargaan dalam bentuk busana khas juga diberikan kepada mereka. Sehingga busana-busana liturgis gereja berasal usul sipil seperti tunika, dalmatik, paenula, pallium.

2.2.2 Di abad 8-10 (OR-Ordo Romanus hingga Caeremoniale Episcoporum): Di abad ini busana-busana liturgis semakin mantap tetapi juga semakin berbelit perkembangannya. Saya hanya mencoba menyebutkan beberapa seperti paenula (planeta atau casula), linea dalmatica (dalmatik), analogaium (humerale, amictus-kain bahu), cingulum atau singel. Mappula (dipakai konsul untuk membuka pertandingan, yang dipakai paus untuk memberikan tanda mulainya perayaan liturgi); stola/orarion, orarium; manipel (hiasan bagi mappa), cappa (mantol-pluviale) yang dipakai dalam perarakan). Khusus untuk uskup: tongkat kegembalaan,Mitra, cincin.

2.2.3 Ketentuan masa kini: Sebelum konsili, sudah ada gerakan untuk memperbaharui busana liturgis; konsili mengikutinya, tetapi menyederhanakannya seperti ditulis dalam PUBM 297 - 310. Busana-busana liturgis itu adalah: alba (yang dapat dipakai oleh semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis), singel (dipakai kalau alba kebesaran, kalau alba sesuai atau jubah pengganti alba, maka tidak perlu dipakai), stola berwarna sesuai dengan kasula (untuk yang tertahbis: diakon = menyilang dari bahu kiri ke samping kanan; imam dan uskup = dikalungkan pada leher); kasula yang merupakan pakaian luar, sesuai dengan warna tahun liturgi (hanya dipakai imam dan uskup); untuk diakon, ada dalmatik. Khusus untuk uskup ada cincin, mitra dan tongkat.




Singkatnya ada 3 kategori busana liturgis: Yang dikenakan di bagian dalam (alba dan singel); berlaku bagi semua pelayan liturgis; yang dikenakan di bagian luar: sebagai unsur pembeda seperti kasula, dalmatik, pluviale (mantol waktu perarakan); yang melambangkan fungsi atau tugas khusus: stola (imam, uskup), mitra, tongkat (uskup), pallium (uskup agung).

3. Warna pakaian liturgis: Di gereja katolik Latin, warna pakaian liturgis penting; lain halnya di gereja Timur. Busana liturgis yang berwarna tertentu pula, mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan serta alur perkembangan hidup kristiani sepanjang tahun. Pada awalnya hanya ada satu warna pakaian liturgis yakni putih, tetapi di abad ke 9, ditambahkan warna-warna lainnya. Sesuai dengan ketentuan masa kini, warna liturgis adalah putih lambang kesucian, kemuliaan, dan kemuliaan dalam Kristus; Dapat pula dipakai kuning sebagai pengganti putih, tetapi warna ini rupanya kurang dimanfaatkan, juga di Indonesia; Merah lambang RK, darah, api, cinta kasih, pengorbanan (karena itu cocok untuk pesta RK, para martir dan Jumat Besar); Ungu lambang tobat, duka, mati raga (Adven dan Prapaskah); Hitam mempunyai makna yang sama dengan ungu dan kini lebih banyak dipakai warna ungu. Hitam menghilang dari pemakaian; Hijau lambang harapan, syukur dan kesuburan.

4. Makna teologis busana liturgis:

Secara umum: Pakaian merupakan tanda siivilisasi, serta tanda martabat seseorang dalam lingkungan masyarakat tertentu. Ia juga meemperingatkan kita akan bukti kasih Tuhan yang tetap melindungi kita sesudah dosa. Pakaian karung (kitab suci dan tradisi purba) melambangkan sikap tobat umat manusia. Pakaian juga merupakan tanda pengungkap hidup yang telah ditransformasikan dalam Kristus.

4.1 Pakaian spesial (liturgis bagi para pelayan): Busana liturgi mengungkapkan hidup gerja dalam Kristus. Kristus memanggil setiap orang dan setiap orang menanggapinya atas cara yang berbeda. Karena itu ada perbedaan tugas dan fungsi di kalangan umat Allah; Liturgi merupakan suatu perayaan yang menuntut partisipasi sesuai dengan fungsi masing anggota. Hal ini menyata dalam pakaian yang dikenakan selama perayaan liturgi berlangsung. Pelayan-pelayan, terutama pelayan tertahbis biasanya mengenakan busana khusus yang lain dari yang dikenakan jemaat lainnya.

Yang berperanan sebagai pemimpin yang “melayani” biasanya mengenakan busana liturgis khusus; hal ini menandakan bahwa umat Allah yang membentuk jemaat liturgis itu terdiri dari pemimpin dan yang dipimpin (terdiri dari pribadi-pribadi unik); serta Tuhan yang diimani adalah satu dan sama (yang dilambangkan oleh pemimpin). Busana liturgis juga memperlihatkan suasana pesta dari liturgi yang dirayakan; ada keyakinan bahwa liturgi itu suatu pesta (perayaan meriah) sebab liturgi merupakan puncak kehidupan umat (KL 10). Karena itu PUBM no 306 menyatakan bahwa busana liturgis hendaknya indah dan agung.

Di bawah ini saya kemukakan busana-busana liturgis aktual serta maknanya masing-masing:

+ Kasula lambang distinktif tugas seorang imam (dan uskup), yang diemban. Biasanya dipakai dalam perayaan Ekaristi. Asal katanya: Latin, “Casula” yang berarti rumah kecil; Sejarah menyatakan bahwa kasula mempunyai makna simbolis: lambang kuk yang harus dipikul seorang imam. Pakaian liturgis yang berfungsi hampir sama dengan kasula adalah dalmatik untuk diakon; di waktu perarakan, dipakai mantol (pluviale).




+ Stola: menilik asal usulnya, stola berhubungan dengan orarium / orarion yakni handuk yang biasanya dibelitkan di leher sebagai pemanas leher di musim dingin. Dapat juga dipakai untuk melap tangan dan mulut. Diberikan kepada diakon (pelayan pembantu uskup dalam liturgi di dunia) dan kemudian dilihat sebagai sayap para malaikat yang melayani dalam liturgi surgawi. Stola adalah lambang tugas yang diemban sehingga dalam konselebrasi, kalau kasula tidak cukup tersedia, maka diharapkan paling kurang ada stola yang dipakai di atas jubah atau alba. Warnanya sesuai denga kasula yang pada umumnya sesuai dengan masa dalam tahun liturgi. Khusus untuk uskup agung yang membawahi beberapa uskup lain, ada sejenis stola yang disebut pallium.




+ Alba yang biasanya berwarna putih, dapat dipakai semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis; Ia melambangkan kemurnian hati dikurniakan dalam sakramen Baptis.




+ Lambang-lambang khusus untuk uskup: mitra (sejenis topi bercabang dua - terbelah di tengah) sebagai lambang tugas uskup dalam membela keadilan, kebenaran; cincin yang dipakai di jari tangam kanan sebagai lambang kesetiaan uskup terhadap gereja; Tongkat lambang tugas kegembalaan uskup.




4.2 Makna pakaian biasa (yang dipakai umat): Pakaian yang dikenakan umat (berbeda-beda dalam bentuk, jenis) mempunyai makna simbolis tersendiri: jemaat yang merayakan liturgi (puncak kehidupan kristiani) adalah umat yang siap untuk diutus guna bersaksi tentang Kristus. Mengenakan pakaian biasa (hendaknya baik, bersih) berarti selalu siap untuk diutus.




5. Kemungkinan inkulturasi:

Teks pendukung: KL 128

Liturgicae instaurationes:

PUBM 304 dan 305.

Dokumen-dokumen itu menjadi dasar inkulturasi busana liturgis. Inkulturasi yang merupakan tugas waligereja setempat. Teks-teks terkait menyebutkan bahwa bentuk dan bahan pembuat busana liturgis itu dapat disesuaikan; sedangkan warna, tidak disebutkan. Karena itu tugas waligereja setempat yang dapat diwakili komisi liturgi keuskupan (wali gereja) adalah mencari bentuk asli busana lokal yang dapat dipakai untuk menginkulturasikan busana liturgis. Yang tengah dibuat di Indonseia, juga di Timor adalah busana liturgis yang bermotif Indonesia, Timor (terbuat dari tenunan), tetapi bentuk dan warna masih bersifat Barat. Manakah bentuk serta warna asli Timor itu yang dapat dipakai sebagai pengungkap misteri liturgi yang dirayakan?

Ada empat aspek yang harus dipedomani dalam membuat inkulturasi busana liturgi (sesuai sidang pleno Komisi Liturgi KWI): lihat halaman: 13.

6. Penutup: Bagaimanapun, busana liturgis itu adalah busana pelayanan demi kepentingan jemaat dan demi kemuliaan Tuhan. Ia adalah sarana simbolis yang tentunya bermakna simbolis pula. Busana liturgis inkulturatip menyatakan bahwa kita hendak memuji dan memuliakan Allah dengan seluruh kemampuan manusiawi kita ketika berliturgi.

Sabtu, 19 Maret 2011

KETAATAN DALAM HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN LITURGI

Mendengar kata “taat” atau “ketaatan” dalam hubungan dengan hal-hal liturgis bisa muncul macam-macam reaksi, entah biasa-biasa dan indiferen, atau menolak keras dalam arti sama sekali tidak mau taat, atau menerima dengan catatan kritis tetapi rela melaksanakan apa yang seharusnya, atau menerima lalu melaksanakannya secara buta dan kaku. Mungkin baik kalau kita memahami secara singkat dan menyeluruh apa yang harus ditaati, kepada siapa kita taat, latarbelakang historis singkat mengenai ketaaatan dan gejala-gejala ketidaktaatan serta tujuan atau maksud ketaatan dalam hal-hal liturgis.

APA YANG HARUS DITAATI?
Bila kita tidak mengetahui dengan jelas apa yang seharusnya ditaati maka ada kemungkinan kita akan bersikap “membeo” atau bagai “kerbau dicocok hidung”, sebaliknya bisa saja kita kurang atau sama sekali tidak menghargai ketaatan itu. Maka perlu kita menyadari apa sebetulnya yang kita taati dalam hal-hal yang berhubungan dengan perayaan liturgis. Hal paling utama yang harus ditaati adalah inti misteri iman yang dirayakan dalam liturgi. Ini yang harus ditaati sebagai isi dari setiap perayaan liturgi. Yang dirayakan adalah karya-karya agung Allah yang menyelamatkan yang mencapai puncaknya dalam karya-agung Yesus Kristus atau Misteri Paskah Yesus Kristus. “Karya penebusan manusia dan pemuliaan sempurna Allah ini, telah dimulai dengan karya agung ilahi dalam Perjanjian Lama. Karya ini diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri paskah” (SC, no. 5).

Kehendak Tuhan, Sabda dan hukum-hukum-Nya. Hal ini terungkap dalam Kitab Suci maka kita perlu mencari dan menemukan lalu mentaati kehendak Tuhan yang diwahyukan kepada kita lewat Kitab Suci khususnya mengenai ibadat atau liturgi dan berusaha melaksanakannya dengan setia. Hal ini ditegaskan dalam Liturgicae Instaurationes (Instruksi Pelaksana 3, no. 1 sbb: “Kedayagunaan perayaan liturgis tidak terletak dalam sering mengadakan eksperimen dan mengubah upacara baru atau mencari bentuk yang lebih sederhana, tetapi dalam pemahaman yang semakin mendalam tentang sabda Allah dan misteri yang dirayakan; kehadiran sabda dan misteri ini diteguhkan justru dengan mematuhi upacara-upacara Gereja, bukannya oleh upacara-upacara yang ditentukan oleh seorang imam atas dasar minat pribadi” (SBL 2A no. 183, hal 76-77). Upacara-upacara Gereja harus mematuhi apa yang dikehendaki Kristus. “Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa atas hal-hal yang ditetapkan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak berubah dalam Liturgi” (Redemptionis Sacramentum no. 10)

Ajaran Gereja dalam kaitan dengan liturgi (bdk, RS no. 2). Hal-hal ini hampir selalu ditegaskan dalam Peraturan atau Hukum Gereja dan dalam pedoman-pedoman umum atau pedoman khusus yang ditulis sebagai pengantar perayaan-perayaan liturgis dan biasanya ditemukan di bagian awal buku-buku liturgi acuan. “Maklumlah Liturgi Suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks-teks dan tata cara yang tidak disahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara lex orandi dan lex credendi” (RS no. 10). Umumnya ajaran Gereja dan peraturan atau hukumnya disusun berdasarkan Kitab Suci (bdk RS no. 9).

Dokumen Gereja yang secara khusus merumuskan ajaran tentang liturgi adalah Konstitusi Liturgi (SC) dan Instruksi Pelaksanaan isi tertentu dari Konstitusi mengenai liturgi seperti instruksi terakhir mengenai liturgi Ekaristi (Redemptionis Sacramentum) yang dikeluarkan oleh Takhta Apostolik 25 Maret 2004. Secara lebih rinci dan praktis ajaran itu dijabarkan dalam Pedoman-pedoman umum (Praenotanda) dan pedoman khusus serta rubrik yang terdapat didalam buku-buku liturgi acuan (bdk. RS, no. 7).

Jadi yang harus ditaati adalah hal-hal yang benar dan tepat sebagai inti hakekat dari liturgi. Ada hal yang jelas diungkapkan sebagai suatu keharusan. Sifatnya normatif. Berarti harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Tetapi ada juga hal-hal yang dirumuskan sebagai alternatif. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk memilih cara atau bentuk yang lebih cocok. Maka perlu diketahui hal yang benar dan tepat (sama dan tak berubah) yang mau diungkapkan oleh variasi bentuk itu. Dengan demikian ada ketaatan kepada isi/makna dan hakekat liturgi, dan bukan terutama kepada bentuk lahiriah. Ketaatan terhadap bentuk kurang/tidak berarti kalau tidak dibarengi dengan ketaatan kepada isi. Maka sikap taat secara lahiriah harus selaras dengan sikap taat secara batiniah. “Upacara-upacara liturgis, hendaknya dirayakan sesempurna mungkin; untuk itu ... rubrik hendaknya ditaati dengan teliti, dan upacara diselenggarakan dengan khidmat, di bawah pengawasan yang cermat dari para pembesar gerejawi; semua perayaan itu harus dilatih lebih dulu” (Inter Oecumenici [Instruksi Pelaksana I], no. 13.

TAAT KEPADA SIAPA?
Dalam hubungan dengan hal-hal liturgis kita harus taat pertama-tama kepada Tuhan: taat pada rencana dan kehendak Tuhan, pada ajaran Yesus Kristus, pada dorongan Roh Kudus.

Kepada Pimpinan Gereja: taat pada keputusan-keputusan Takhta Apostolik (Paus, Kongregasi Ibadat dan Disiplin Sakramen [plenaria]), Uskup setempat ([Konferensi Wali Gereja Setempat] bdk SC, no. 22, 26, 39-42).

Kepada Umat. Taat melayani umat yang punya hak untuk mengambil bagian dalam liturgi yang tepat dan benar (bdk RS 12). Ketaatan ini dituntut dari semua petugas atau penanggungjawab dalam merencanakan dan melaksanakan liturgi. Khusus kepada seorang imam dituntut ketaatan ini. “Hendaknya disadari bahwa seorang imam yang melancarkan pemugaran pribadi atas upacara-upacara suci merongrong martabat kaum beriman; pun pula ia membuka jalan untuk bentuk-bentuk individual menurut selera pribadi dalam merayakan upacara-upacara kudus yang jelas merupakan wewenang seluruh Gereja. Sebab tugas pelayanan yang disandang oleh setiap imam adalah melayani seluruh Gereja, dan itu hanya dapat diamalkan dalam ketaatan, dalam persekutuan dengan hirarki, dan dalam pelayanan kepada Allah serta serta sesama saudara. Ciri hirarkis dan daya sakramental liturgi serta ketundukan yang harus diberikan kepada jemaat kaum beriman menuntut agar setiap imam menunaikan tugas liturgisnya sebagai seorang ‘hamba setia yang kepadanya dipercayakan rahasia-rahasia Allah’; hendaknya ia tidak menambahkan upacara apa pun yang tidak ditentukan atau disetujui oleh buku-buku liturgi” (Liturgicae Instaurationes, Instruksi Pelaksana 3, no. 1).

Jadi ketaatan kepada Tuhan dan pimpinan Gereja tidak bertentangan dengan ketaatan kepada umat beriman. Karena “menjadi hak sekalian orang beriman bahwa Liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan ketetapan-ketetapannya seperti digariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum serta peraturan lainnya. Demikian pula, umat Katolik berhak untuk Kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan ajaran Gereja. Dan akhirnya, adalah hak komunitas Katolik bahwa Ekaristi yang Mahakudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, seraya menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja” (RS no. 12). Ini tidak berarti semua yang diinginkan oleh umat harus diikuti atau ditaati oleh pemimpin perayaan. Ada keinginan umat yang bertentangan dengan pedoman-instruksi yang ada. Jelas tidak perlu mengikuti keinginan-keinginan seperti ini. Jadi ketaatan itu sebenarnya dituntut dari semua, bari dari para pemimpin dan penanggungjawab dalam hal-hal liturgis maupun dari umat beriman.

SEKILAS PENGALAMAN HISTORIS
Yesus Kristus taat pada peraturan-peraturan ibadat Yahudi tetapi sekaligus menyempurnakannya atau memberi arti baru berdasarkan kesadaran akan diri-Nya sebagai Putera Allah yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Ibadat-Nya (doa, hidup dan karya-Nya) adalah ibadat sejati karena dijalankan sesuai dengan rencana dan kehendak Bapa. Bagi Yesus melaksanakan rencana dan kehendak Allah untuk mengasihi atau hukum kasih mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan ketaatan lahairiah pada sebuah peraturan ibadat yang bisa menghalangi orang untuk berbuat baik sebagai wujud dari kasih itu. Tidak heran kalau Yesus berani mengubah sejumlah peraturan Perjanjian Lama dan menggantinya dengan hukum baru seraya menegaskan bahwa aturan ibadat pada hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hari Sabat. Para pengikut Yesus meneruskan semangat ibadat sejati ini “dalam roh dan kebenaran”. Ketaatan kepada Roh (bimbingan Roh Kudus) dan Kebenaran (Yesus dan ajaran serta contoh hidup-Nya) merupakan jaminan bagi umat Gereja purba dalam menjalankan ibadatnya yang sejati. Ketaatan itu dituntut oleh pimpinan umat (uskup, paus, patriark) terutama pada masa merebaknya kebebasan yang berlebihan dalam menafsirkan ajaran Yesus Kristus dengan akibat munculnya kesesatan-kesesatan.

Dalam sejarah hidup Gereja ada masa (khususnya pada abad-abad pertengahan) di mana ketidaktaatan dalam hal-hal liturgis menjadi sebab perpisahan, perpecahan, meskipun ketidaktaatan itu menyangkut hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ada masa rubrikisme yang kaku di mana ketaatan dituntut sampai pada hal-hal yang amat kecil. Hal ini mengakibatkan sikap rigoristis dan skrupel dalam menjalankan semua peraturan.

Sejak Konsili Vatikan II, sikap taat yang skrupel ini hendak dihindarkan dan diganti dengan ketaatan dalam kebebasan dan tanggungjawab. Taat bukan karena terpaksa tetapi dengan penuh kesadaran karena tahu dan yakin mengapa demikian. Dalam hal ini dibutuhkan keserasian di antara pemikiran dan kata-kata, di antara sikap lahir dan sikap batin (RS, no. 5). Jadi bukan ketaatan buta.

Namun ketika jendela rumah pembaruan dibuka lebar oleh Konsili Vatikan II, ternyata bukan hanya angin segar-sejuk yang masuk tetapi juga angin ribut dan kencang yang pada saat tertentu memporak-porandakan isi rumah. Ada yang tidak setuju dengan aneka pembaruan dan berusaha mempertahankan tradisi liturgi pra Vatikan II tanpa mengubah sedikitpun (Uskup Lefebre dkk). Ketidaktaatan mereka pada semangat pembaruan Konsili Vatikan II memisahkan mereka dari Gereja Katolik. Tetapi ada juga yang amat progresif dan mulai membuat macam-macam eksperimen sesuka hati tanpa menghiraukan pedoman-pedoman pembaruan/penyesuaian yang telah dikeluarkan oleh Pimpinan Gereja. Ketidaktaatan ini membingungkan banyak umat (terutama yang sederhana dan setia) hingga kehilangan arah yang benar.

GEJALA-GEJALA KETIDAKTAATAN
Ada ketidaktaatan yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yaitu yang melawan atau bertentangan dengan inti hakekat liturgi dan bertentangan dengan tradisi serta melawan wewenang pimpinan Gereja (RS, no. 4).

Ada pelanggaran yang mengaburkan iman yang benar dan doktrin Katolik mengenai Sakramen yang agung. Ada yang tidak memupuk rasa hormat yang mendalam terhadap keagungan Tuhan (RS, no. 6). Perayaan-perayaan liturgis lalu menjadi kegiatan yang kurang lebih sama dengan kegiatan profan: pertunjukan, sandiwara, resepsi, rekreasi (bdk RS, no. 78).

Ada pelanggaran yang disebabkan oleh tafsiran berlebihan tentang kebebasan. Kebebasan dimengerti sebagai keinginan untuk melaksanakan apa saja yang dikehendaki. Padahal kebebasan yang dimaksudkan adalah kerelaan untuk melakukan apa yang pantas dan layak (RS no. 7).

Ada praktek Ekaristi ekumenis yang sebenarnya berlawanan dengan pandangan Gereja Katolik tentang Ekaristi (RS no. 8).

Juga ada pelanggaran melawan sifat sakral dan dimensi universal dari Ekaristi (RS, no. 11).

Selain itu ketidaktaatan itu dapat terjadi karena “ketidaktahuan”. Tidak tahu arti dari kegiatan liturgis dan tidak tahu latar belakang historis (RS no. 9).
Jadi ketidaktaatan atau pelanggaran ini bisa terjadi tanpa sadar (lalai, lupa, tidak tahu), tetapi bisa juga terjadi dengan penuh kesadaran (tahu baik yang seharusnya dan dengan sengaja melanggarnya). Ada pelanggaran yang disebut graviora delicta (kejahatan besar), ada yang disebut pelanggaran berat dan ada yang disebut pelanggaran/penyelewengan biasa (bdk RS, no. 172-175).

Berhadapan dengan gejala-gejala ketidaktaatan atau pelanggaran ini kita diajak untuk belajar menjadi taat dalam menjalankan pedoman-pedoman atau instruksi yang ada. Pedoman-pedoman atau instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan Gereja sesudah Konsili Vatikan II sebenarnya mempunyai tujuan yang mulia, bukan terutama untuk membatasi kegiatan umat beriman dengan rubrik-rubrik. Maka baiklah kita melihat lebih jauh apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari ketaatan orang beriman dalam hal-hal liturgis menurut pedoman atau instruksi yang telah digariskan tentang hal itu.

TUJUAN DARI KETAATAN
Tujuan dari ketaatan itu adalah bukan demi ketaatan itu sendiri, tetapi agar keutuhan misteri yang kudus dapat dialami dan dengan itu seluruh umat dapat mengambil bagian secara aktip dan penuh dalam misteri keselamatan itu. “Oleh karena itu para gembala rohani hendaknya memperhatikan dengan saksama, agar dalam perayaan liturgi tidak hanya hukum-hukumnya ditaati demi sah dan halalnya perayaan, tetapi agar umat berpartisipasi secara sadar, nyata dan penuh makna” (SC, no. 11; SBL 2A, no. 11). Dengan kata lain bila kaidah-kaidah umum yang berlaku dalam liturgi ditaati dengan setia diharapkan “iman para peserta dipupuk dan hati mereka diangkat kepada Allah untuk memberikan penghormatan yang wajar serta menerima rahmat dengan lebih limpah” (SC no. 33).

Ketaatan itu menolong menciptakan kesatuan hati dan budi (bukan terutama kesatuan bentuk lahiriah) sebagai satu kesaksian yang meyakinkan tentang persatuan-persaudaraan dalam Tuhan, dalam roh dan kebenaran (bdk RS, no. 11). Dengan demikian diharapkan bahwa aspek universal dari ibadat dapat dihayati. Maka ketaatan itu membantu umat beriman untuk mengalami unitas yang sejati bukan terutama uniformitas.
Dengan ketaatan ini sifat sakral dari ibadat (Ekaristi) dapat dipelihara dan dialami. “Pemugaran upacara-upacara suci sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dinamakan ‘deskralisasi’, dan secara bagaimana pun juga tidak mau memberi angin kepada apa yang disebut ‘sekularisasi dunia’. Oleh karena itu ciri-ciri khas upacara-upacara liturgis, yakni luhur, khidmat dan kudus harus tetap dipertahankan” (Liturgicae Instaurationes [Instruksi Pelaksana 3, no. 1).

Ketaatan itu juga akan menjamin keutuhan iman yang dirayakan dan dihayati dalam liturgi sesuai dengan adagium lex orandi, lex credendi (bdk RS, no. 10), yang pada waktunya akan menolong umat beriman untuk taat setia (pada Tuhan dan kehendak serta ajaran-Nya) dalam hidup dan karyanya (lex vivendi).

KESIMPULAN
Ketaatan yang dituntut sebenarnya mempunyai tujuan luhur dan bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan umat beriman dalam melaksanakan kegiatan liturgis. Maka perlu mempelajari pedoman-pedoman dan peraturan yang ada dan memahami makna/maksud yang ada di baliknya, serta latarbelakang penyusunan pedoman atau instruksi yang ada (latar belakang biblis, teologis, liturgis, pastoral). Juga perlu menghindarkan sikap rubrikisme, rigoristis, skrupel dan sekaligus mengembangkan sikap taat dalam kebebasan dan tanggungjawab. Dengan semangat ini kiranya kita membaca dan memahami serta melaksanakan instruksi Redemptionis Sacramentum.

Jakarta, Juni 2004.
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD

Rabu, 02 Maret 2011

Hal-hal pokok dan tidak pokok dalam Perayaan Ekaristi

Sebuah Ceramah oleh Bernardus Boli Ujan, SVD

Presidium KWI dalam rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai berikut: “Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan yang amat besar”.

Mewujudkan semangat pembaharuan Konsili Vatikan II
Sikap ini sesuai dengan pandangan Bapa-Bapa Konsili Vatikan II, yang sudah dirumuskan secara jelas dalam Konstitusi Liturgi (SC) n. 50 dalam kaitan dengan pemugaran Tata perayaan Ekaristi (huruf tebal dan miring pada teks-teks dokumen adalah tambahan sekedar memperjelas kalimat/bagian/kata yang berkaitan dengan tema):
“Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif. Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.”

Bandingkan penegasan umum tentang syarat yang harus diperhatikan agar pembaharuan liturgi dapat lebih menjamin upaya memperoleh rahmat berlimpah (KL, n.21):
“Supaya lebih terjaminlah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam Liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan saksama pembaharuan umum Liturgi sendiri. Sebab dalam Liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan harus mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakekat Liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok.”

Berdasarkan semangat pembaharuan liturgi ini, Paus Paulus VI menegaskan lagi dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum yang dikeluarkan tgl 3 April 1969:
“Sejauh menyangkut Ordo Missae, ‘tata cara dibuat lebih sederhana dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok,’ dengan menghilangkan ‘pengulangan dan tambahan tidak perlu yang muncul dalam perjalanan sejarah,’ dalam kaitan dengan tata cara persembahan roti serta anggur dan tata cara pemecahan roti serta komuni”.
Hal pokok berdasarkan isi perayaan.

Yang menjadi inti pokok atau asas dasar setiap perayaan liturgi termasuk Ekaristi adalah Mysteri Paskah yang puncaknya adalah peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Selain KL nn. 5 dan 6, Liturgi Romawi dan Inkulturasi, Instruksi IV tentang Pelaksanaan Yang Benar Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40, menyatakan dengan jelas tentang hal ini dalam no.12:
“Sebelum menumpahkan darah-Nya untuk mensahkan ‘Mysteri Paskah’ yang merupakan unsur hakiki ibadat kristen, Kristus berkenan menetapkan Ekaristi, kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya, sampai Ia datang kembali. Di sinilah ditemukan asas dasar liturgi kristen dan intisari ungkapan ritualnya.”

Pandangan yang sama dirumuskan oleh Paulus VI dalam Surat Apostolik Mysterii paschalis, 14 Pebruari 1969, AAS 61(1969), 222-226. Unsur hakiki atau asas dasar liturgi ini tidak dapat diganti dengan yang lain. Ketika tata perayaan Ekaristi dibaharui sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II yang tertuang dalam KL (SC), inti pokok itu (mysteri Paskah sebagai puncak dari mysteri penyelamatan) tetap dipertahankan.

Hal pokok dalam arti bagian-bagian pokok yang membentuk tata perayaan.
Bagian pokok dalam Ekaristi ada dua: Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Konstitusi Liturgi n. 56 (ditegaskan lagi oleh Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 28) merumuskannya sbb.:
“Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib.”

Liturgi Sabda

Berdasarkan Konstitusi Liturgi n. 56 ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan menghilangkan bagian Liturgi Sabda dengan kegiatan lain atau hanya merayakan bagian Liturgi Ekaristi.

Bahwa unsur Sabda Allah dalam liturgi merupakan hal penting atau pokok, juga telah digariskan oleh Konstitusi Liturgi n. 24:
“Dalam perayaan Liturgi, Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.”
Instruksi Liturgi Romawi dan Inkulturasi n. 23 mengungkapkan hal yang sama mengenai unsur Sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai hal pokok sehingga tidak dapat diganti oleh yang lain:
“Gereja dihidupi oleh Sabda Allah yang tersurat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ketika Gereja mewartakan Sabda di dalam liturgi, Gereja menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus. ‘Dialah yang berbicara pada waktu Alkitab dibacakan di dalam Gereja’. Oleh karena itu Sabda Allah begitu penting di dalam liturgi, sehingga Alkitab tak boleh diganti oleh teks apa pun, tidak perduli betapa terhormatnya bacaan pengganti itu. Apalagi Alkitab adalah sumber yang tak tergantikan dari bahasa liturgi, dari tanda-tanda dan dari doa-doanya, lebih-lebih dalam mazmur.”

Jadi pembacaan Sabda Allah dari Kitab Suci adalah unsur yang amat penting dan tak tergantikan. Bandingkan Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 29 dan 57:
PUMR n. 29: “Oleh karena itu, pembacaan Sabda Allah merupakan unsur yang sangat penting dalam liturgi. Umat wajib mendengarkannya dengan penuh hormat.”
PUMR n. 57: “Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.”

Karena merupakan unsur penting dalam liturgi, Sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci dihidangkan secara lebih melimpah dalam kurun waktu tertentu. KL n. 51 menyatakan sebagai berikut:
“Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada Umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci dibacakan kepada Umat.”
Bandingkan rumusan Paulus VI dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum, yang dikeluarkan tgl 3 April 1969:
“Konsili Vatikan II juga menentukan agar ‘dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting dari Alkitab dibacakan kepada umat.’ Oleh karena itu, seluruh khazanah bacaan hari Minggu diatur dalam lingkaran tiga tahun. Kecuali itu, pada setiap hari Minggu dan hari raya pembacaan surat-surat dan Injil didahului dengan satu bacaan lain, yang diambil dari Perjanjian Lama atau – dalam Masa Paskah – dari Kisah Para Rasul. Dengan ini kesinambungan proses dalam sejarah keselamatan menjadi lebih jelas, sebagaimana tampak dalam sabda-sabda yang diwahyukan Allah sendiri. Khazanah bacaan Alkitab yang melimpah ini, yang pada hari Minggu dan hari raya menyajikan bagian-bagian yang paling penting, akan dilengkapi dengan kutipan-kutipan lain dari Alkitab, yang dibawakan pada hari-hari lain.”

Dalam Liturgi Sabda, bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok. Lihat penegasan Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 55:
“Bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda”. Bandingkan PUMR n. 61 yang mengungkapkan bahwa mazmur tanggapan merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda.

Selanjutnya Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 60 menegaskan bahwa dari bagian pokok ini, pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda:
“Pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Liturgi sendiri mengajarkan bahwa pemakluman Injil harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hormat. Ini jelas dari aturan liturgi, sebab bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain.”

Liturgi Ekaristi

Liturgi Ekaristi sebagai bagian pokok dari perayaan Ekaristi sudah dirumuskan oleh Konstitusi Liturgi n. 56 dan ditegaskan lagi oleh Pedoman Umum Misale Romawi 2000, n. 28 (lihat di atas, hal. 2).

PUMR n. 72 menyatakan bahwa Liturgi Ekaristi terdiri dari tiga bagian yang disusun sesuai dengan kata-kata dan tindakan Kristus. Maka ketiga bagian itu tidak dapat diubah atau diganti dengan bagian lain atau dihilangkan (bdk KL n. 21).
PUMR n.72:
“Liturgi Ekaristi disusun oleh Gereja sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kata-kata dan tindakan Kristus tersebut:
1. Waktu persiapan persembahan, roti dan anggur serta air dibawa ke altar; itulah bahan-bahan yang sama yang juga digunakan Kristus.
2. Dalam Doa Syukur Agung dilambungkan syukur kepada Allah Bapa atas seluruh karya penyelamatan, dan kepada-Nya dipersembahkan roti dan anggur yang menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
3. Melalui pemecahan roti dan komuni, umat beriman, meskipun banyak, disatukan karena menyambut Tubuh dan Darah Kristus yang satu, sama seperti dahulu para rasul menerimanya dari tangan Kristus sendiri.”

Yang menjadi pusat dan puncak dari bagian ini adalah Doa Syukur Agung. Bagian ini merupakan doa syukur dan pengudusan. Bagian-bagian yang paling penting dari Doa Syukur Agung adalah: Ucapan syukur, Aklamasi (Kudus), Epiklesis, Kisah Institusi dan konsekrasi, Anamnesis, Persembahan, Permohonan, Doksologi-Amin (Lihat PUMR n. 78 dan 79). PUMR n. 78 merumuskan hal ini sbb.:
“Pusat dan puncak seluruh perayaan sekarang dimulai, yakni Doa Syukur Agung, suatu doa syukur dan pengudusan. Imam mengajak jemaat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dengan berdoa dan bersyukur. ... Adapun maksud doa ini ialah agar seluruh umat beriman menggabungkan diri dengan Kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan dalam mempersembahkan kurban.”

PUMR n. 79:
“Bagian-bagian yang paling penting dalam Doa Syukur Agung ialah:
a. Ucapan syukur, ...
b. Aklamasi. ...
c. Epiklesis. ...
d. Kisah Institusi dan konsekrasi. ...
e. Anamnesis. ...
f. Persembahan. ...
g. Permohonan. ...
h. Doksologi Penutup. ... Amin.”
Unsur-unsur penting ini tidak boleh dihilangkan dari satu Doa Syukur Agung.
Bagian Pembukaan dan Penutup
Bagian Pembukaan dan Penutup bukan bagian pokok dalam arti berfungsi sebagai “pelengkap” yaitu “membuka” dan “mengakhiri” Perayaan Ekaristi. Karena itu seturut kaidah-kaidah buku-buku liturgis bagian-baigian ini dapat dihilangkan atau dilaksanakan secara khusus. Inilah pedoman mengenai ritus pembuka dalam PUMR n. 46 (dapat berlaku juga untuk ritus penutup):
“Seturut kaidah buku-buku liturgis, Ritus Pembuka dihilangkan atau dilaksanakan secara khusus, kalau Misa didahului perayaan lain.”
Contoh: Misa yang didahului oleh Ibadat Pagi, Ekaristi pada hari Minggu Palma, Misa yang disusul oleh Upacara pemberkatan jenazah dan pemakaman, Ekaristi pada hari Kamis Putih malam yang disusul dengan upacara perarakan Sakramen Mahakudus dan pengosongan altar.

Penyesuaian

Penyesuaian tidak hanya dibuat dalam hubungan dengan bagian tidak pokok, tetapi juga pada bagian pokok. Misalnya pada bagian Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi dapat dibuat penyesuaian dalam hal bahasa/teks, musik/nyanyian, tata gerak, tata perayaan, simbol, seni bangunan/hias/perabot/warna, sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam edisi acuan. Dalam hal ini perlu diperhatikan tujuan penyesuaian, kebutuhan umat sesuai dengan situasi/kebudayaannya, wewenang dalam menentukan penyesuaian (Tahta Suci, Uskup/Konferensi Keuskupan, Pastor/Imam yang memimpin perayaan Ekaristi), bentuk dan tahap/proses yang perlu ditempuh untuk membuat penyesuaian, kesatuan hakikih (yang terdapat dalam editio typica ritus Romawi). Bandingkan LRI n. 34-45.

Khususnya dalam perayaan Ekaristi, LRI n. 54 menyebutkan dengan jelas hal-hal yang dapat disesuaikan dengan ciri khas bangsa/daerah/kelompok:
“Untuk perayaan Ekaristi, Buku Misale Romawi (Missale Romanum), ‘meskipun mengizinkan (...) adanya perbedaan-perbedaan yang sah dan penyesuaian-penyesuaian menurut ketentuan Konsili Vatikan II’, harus tetap menjadi ‘tanda dan alat persatuan’ Ritus Romawi dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Pedoman Umum Misale Romawi menggariskan bahwa ‘sesuai dengan Konstitusi Liturgi, setiap Konferensi Waligereja memiliki kuasa menentukan kaidah-kaidah untuk wilayahnya sendiri, yang cocok dengan tradisi dan ciri khas bangsa, daerah, dan kelompok yang berbeda-beda.’ Hal yang sama berlaku dalam tatagerak dan sikap badan umat beriman, cara-cara menghormati altar dan buku Injil, syair nyanyian pembukaan, nyanyian persiapan persembahan, dan nyanyian komuni, cara salam damai, syarat-syarat mengatur komuni dengan piala, bahan-bahan altar dan perabot liturgi, bahan dan bentuk bejana suci, busana liturgi. Konferensi Waligereja juga dapat menentukan cara menerimakan komuni.”

Hal-hal ini dirumuskan lagi dalam PUMR (IGMR) 2000, n. 390:
“Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan penyerasian-penyerasian yang ditunjukkan dalam Pedoman Umum dan dalam Tata Perayaan Ekaristi. Sesudah keputusan mereka diketahui oleh Takhta Aapostolik, mereka harus mencantumkan penyerasian-penyerasian itu dalam buku Misale (bdk. n. 25 di atas). Penyerasian-penyerasian itu mencakup:
# tata gerak dan sikap tubuh umat beriman (bdk. n. 43);
# cara menghormati altar dan Kitab Injil (bdk. no. 273);
# teks nyanyian pembuka, persiapan persembahan, dan komuni (bdk. no. 48, 74, 87);
# bacaan Alkitab untuk kesempatan-kesempatan khusus (bdk. no. 362);
# bentuk atau tata gerak salam-damai (bdk. no. 82);
# tata cara komuni (bdk. 160, 283);
# bahan untuk altar dan perlengkapan liturgi, khususnya bejana-bejana kudus; juga bahan, bentuk, dan warna busana liturgis (bdk. no. 301, 326, 3229, 342, 343, 346).
Setelah diketahui oleh Takhta Apostolik, Pedoman atau Instruksi Pastoral yang dirumuskan oleh Konferensi Uskup dapat dicantumkan dalam Misale Romawi pada tempat yang sesuai.”

Hal mana yang telah/akan disepakati oleh KWI dan mana yang mau diserahkan kepada kebijaksanaan Uskup masing-masing?
Yang menjadi wewenang uskup diosesan untuk membuat penyerasian oleh PUMR no. 387 dirumuskan sebagai berikut:
“Uskup diosesan hendaknya dipandang sebagai imam agung kawanannya. Dalam batas tertentu, ini berarti bahwa kehidupan umat yang beriman akan Kristus yang ada dalam reksa pastoral uskup bersumber dari uskup dan tergantung pada uskup. Ia harus menggerakkan, mengatur, dan mengawasi kehidupan liturgi di keuskupannya. Dalam Pedoman Umum ini uskup dipercaya untuk
(1) merumuskan tata cara konselebrasi (bdk. no. 202);
(2) merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tugas melayani imam di altar (bdk. no. 107);
(3) merumuskan kaidah-kaidah komuni-dua-rupa (bdk. no. 283);
dan (4) merumuskan kaidah-kaidah tata bangun serta tata ruang gereja (bdk. no. 291-294).

Akan tetapi tugas utamanya adalah memupuk semangat liturgi kudus dalam diri para imam, diakon, dan umat beriman.”

Orang lain termasuk imam tidak mempunyai wewenang dalam inkulturasi liturgi atas prakarsa sendiri (bdk. KL no. 22:3; LRI no. 37). Hanya dalam pengantar dan rubrik dari buku-buku liturgi terdapat petunjuk yang telah disetujui oleh pimpinan Gereja yang berwewenang mengenai kemungkinan membuat pilihan sesuai dengan situasi umat. Dalam hal itu imam sebagai pemimpin perayaan dapat membuat pilihan sesuai dengan kebutuhan pastoral (tahap penyesuaian sederhana = akomodasi). Lihat LRI no. 37, catatan n. 82.
“Lain halnya kalau dalam buku-buku liturgi yang diterbitkan sesudah KL, pengantar dan rubrik menggariskan penyesuaian dan memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan kepada kepekaan pastoral pemimpin ibadat, misalnya jika dikatakan, ‘kalau dianggap baik’, ‘dengan rumusan berikut atau yang senada’, ‘juga’, ‘sesuai dengan situasi’, ‘atau ... atau ...’, ‘kalau baik’, ‘biasanya’, ‘dapat dipilih bentuk yang paling sesuai’. Dalam menentukan pilihan, pemimpin ibadat hendaknya mengupayakan kebaikan jemaat, memperhitungkan kesiapan spiritual dan mental peserta ibadat, dan tidak hanya mengutamakan selera sendiri atau sekedar mencari yang paling mudah. Dalam perayaan untuk kelompok khusus kemungkinan-kemungkinan lain ditawarkan. Bagaimana pun, kebijaksanaan dan kecermatan selalu dituntut untuk menghindari jangan sampai Gereja setempat terpecah-pecah menjadi ‘gereja-gereja kecil’ atau ‘kubu’ yang serba tertutup.”

Hal yang sama diungkapkan dalam PUMR (IGMR) 2000 n. 24:
“Untuk sebagian besar, penyerasian-penyerasian itu terbatas pada pemilihan ritus atau teks, yakni pemilihan nyanyian, bacaan, doa ajakan, dan tata gerak yang lebih sesuai dengan kebutuhan, kesiapan, dan kekhasan jemaat. Pemilihan-pemilihan seperti itu dipercayakan kepada imam yang memimpin perayaan Ekaristi. Namun, imam harus ingat bahwa dia adalah pelayan liturgi kudus, dan bahwa ia sendiri tidak diizinkan menambah, mengurangi, atau mengubah sesuatu dalam perayaan Misa atas kemauannya sendiri.”

Jadi penyesuaian dalam hal-hal tidak pokok ditentukan oleh Uskup/konferensi keuskupan. Lalu imam yang memimpin perayaan Ekaristi memilih salah satu dari kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan. Bagaimana dalam praktek? Apakah masing-masing telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya? Apakah uskup-uskup membiarkan saja imam-imamnya “menentukan sendiri”? Apakah imam-imam yang memimpin telah mengambil alih wewenang dari uskup/konferensi keuskupan?

Jakarta, Pebruari 2003

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget