Senhor morto- Tuhan sudah Mati
Sabtu Suci adalah hari dalam tahun di mana kita tidak dapat tidak memikirkan ironi teologis mendalam yang terlibat dalam frasa terkenal Nietzsche. “Tuhan telah mati” adalah sesuatu yang dapat kita, umat Katolik yang beriman, ucapkan pada hari sabtu suci dengan devosi yang mendalam.
Tuhan kita Yesus Kristus, Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus, benar-benar mengalami kematian manusia. Pada hari itu, Tuhan telah mati. Benar-benar harfiah begitu. Dan kita memperingati hari itu setiap tahun pada Sabtu Suci, jadi setidaknya secara liturgis kita dapat mengatakan pada hari Sabtu Suci, bersama Nietzsche: Tuhan telah mati. (Nietzsche tentu saja tidak bermaksud seperti itu, tetapi ironisnya kata-katanya membantu kita, pada hari Sabtu Suci, untuk menyatakan iman kita dan merenungkan kedalamannya.)
Anda mungkin berpikir: "Tunggu, Tuhan tidak mati; hanya Yesus yang mati." Prinsip teologis communicatio idiomatum, "komunikasi idiom" menyatakan bahwa atribut dari masing-masing kedua kodrat Yesus dapat diatribusikan kepada pribadi tersebut. Maka kita mengaitkan Pribadi Sang Sabda, yang kita sebut "Allah," dengan sifat-sifat manusiawi dan ilahi. Di antara sifat-sifat manusiawi-Nya, kita sertakan kefanaan-Nya, dan fakta kematian-Nya. Memang benar bahwa Sifat Ilahi tidak mati: Sifat Ilahi itu abadi, dan dalam pengertian ini masing-masing dari ketiga Pribadi Ilahi itu abadi melalui Sifat Ilahi mereka. Tetapi Pribadi Kedua, Pribadi Sabda, "Allah," juga memiliki natur manusia, yang fana ketika berada di bumi ini. Dan melalui kodrat manusia ini, Pribadi Sabda benar-benar mati. Dan fakta inilah yang terutama kita ingat hari Sabtu Suci.
Atau mungkin Anda berpikir: "Yesus tidak mati; hanya tubuhnya yang mati." Kalau Anda berpikir seperti ini, Anda mungkin berpikir tentang kebenaran dasar iman bahwa Pribadi Kedua Tritunggal adalah kekal, dan tidak pernah berhenti, bahkan selama tiga hari dari Jumat Agung sampai Minggu Paskah. Dan memang benar dia tidak pernah berhenti ada. Bahkan bagian-bagian penyusun hakikat manusiawi-Nya (tubuh dan jiwa) pun tidak pernah berhenti ada, sekalipun terpisah-pisah. Dengan kata lain, sepanjang triharisuci, Pribadi Kedua Tritunggal melanjutkan eksistensi ilahi-Nya, dan terus bersatu secara hipostatis tidak hanya dengan jiwa manusiawi-Nya, yang "turun ke neraka," tetapi juga dengan tubuh-Nya, yang terbaring di dalam makam (lih., Summa theologiae IIIa, q. 50). Tetapi tetap benar jika dikatakan bahwa Dia wafat, atau Dia mengalami kematian, sebab kematian tidak berarti berhentinya keberadaan, melainkan berarti terpisahnya jiwa dan raga. Dia benar-benar menderita pemisahan tubuh dan jiwa, yang kita sebut kematian manusia.
Prinsip yang mendasarinya di sini pada akhirnya adalah: acta sunt suppositorum, tindakan dilakukan oleh pribadi (supposits). Kita tidak mengatakan bahwa tubuhku mengendarai mobilku; kita katakan: Saya, orangnya, yang mengendarai mobil, meski melalui tubuh sayalah saya melakukannya. Jadi tindakan dan hasrat Kristus dapat dilakukan melalui tubuhNya, tetapi Dialah yang melakukannya melalui tubuhNya. Maka tidak salah kalau dikatakan jasadnya telah mati, sepanjang kita tidak bermaksud mengingkari bahwa orang tersebut telah mati. Bagaimanapun juga, lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi ("Allah," "Yesus," "Firman") mati.
Itulah yang sangat mengagumkan tentang hari Sabtu Suci: Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus benar-benar menjalani kematian manusia -- pemisahan tubuh dan jiwa-Nya -- demi keselamatan kita. O senhor morto, God is Dead, benar kata Niestzche.