Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Jumat, 18 April 2025

Senhor morto- Tuhan sudah Mati

Sabtu Suci adalah hari dalam tahun di mana kita tidak dapat tidak memikirkan ironi teologis mendalam yang terlibat dalam frasa terkenal Nietzsche. “Tuhan telah mati” adalah sesuatu yang dapat kita, umat Katolik yang beriman, ucapkan pada hari sabtu suci dengan devosi yang mendalam.

Tuhan kita Yesus Kristus, Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus, benar-benar mengalami kematian manusia. Pada hari itu, Tuhan telah mati. Benar-benar harfiah begitu. Dan kita memperingati hari itu setiap tahun pada Sabtu Suci, jadi setidaknya secara liturgis kita dapat mengatakan pada hari Sabtu Suci, bersama Nietzsche: Tuhan telah mati. (Nietzsche tentu saja tidak bermaksud seperti itu, tetapi ironisnya kata-katanya membantu kita, pada hari Sabtu Suci, untuk menyatakan iman kita dan merenungkan kedalamannya.)

Anda mungkin berpikir: "Tunggu, Tuhan tidak mati; hanya Yesus yang mati." Prinsip teologis communicatio idiomatum, "komunikasi idiom" menyatakan bahwa atribut dari masing-masing kedua kodrat Yesus dapat diatribusikan kepada pribadi tersebut. Maka kita mengaitkan Pribadi Sang Sabda, yang kita sebut "Allah," dengan sifat-sifat manusiawi dan ilahi. Di antara sifat-sifat manusiawi-Nya, kita sertakan kefanaan-Nya, dan fakta kematian-Nya. Memang benar bahwa Sifat Ilahi tidak mati: Sifat Ilahi itu abadi, dan dalam pengertian ini masing-masing dari ketiga Pribadi Ilahi itu abadi melalui Sifat Ilahi mereka. Tetapi Pribadi Kedua, Pribadi Sabda, "Allah," juga memiliki natur manusia, yang fana ketika berada di bumi ini. Dan melalui kodrat manusia ini, Pribadi Sabda benar-benar mati. Dan fakta inilah yang terutama kita ingat hari Sabtu Suci.


Atau mungkin Anda berpikir: "Yesus tidak mati; hanya tubuhnya yang mati." Kalau Anda berpikir seperti ini, Anda mungkin berpikir tentang kebenaran dasar iman bahwa Pribadi Kedua Tritunggal adalah kekal, dan tidak pernah berhenti, bahkan selama tiga hari dari Jumat Agung sampai Minggu Paskah. Dan memang benar dia tidak pernah berhenti ada. Bahkan bagian-bagian penyusun hakikat manusiawi-Nya (tubuh dan jiwa) pun tidak pernah berhenti ada, sekalipun terpisah-pisah. Dengan kata lain, sepanjang triharisuci, Pribadi Kedua Tritunggal melanjutkan eksistensi ilahi-Nya, dan terus bersatu secara hipostatis tidak hanya dengan jiwa manusiawi-Nya, yang "turun ke neraka," tetapi juga dengan tubuh-Nya, yang terbaring di dalam makam (lih., Summa theologiae IIIa, q. 50). Tetapi tetap benar jika dikatakan bahwa Dia wafat, atau Dia mengalami kematian, sebab kematian tidak berarti berhentinya keberadaan, melainkan berarti terpisahnya jiwa dan raga. Dia benar-benar menderita pemisahan tubuh dan jiwa, yang kita sebut kematian manusia.

Prinsip yang mendasarinya di sini pada akhirnya adalah: acta sunt suppositorum, tindakan dilakukan oleh pribadi (supposits). Kita tidak mengatakan bahwa tubuhku mengendarai mobilku; kita katakan: Saya, orangnya, yang mengendarai mobil, meski melalui tubuh sayalah saya melakukannya. Jadi tindakan dan hasrat Kristus dapat dilakukan melalui tubuhNya, tetapi Dialah yang melakukannya melalui tubuhNya. Maka tidak salah kalau dikatakan jasadnya telah mati, sepanjang kita tidak bermaksud mengingkari bahwa orang tersebut telah mati. Bagaimanapun juga, lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi ("Allah," "Yesus," "Firman") mati.

Itulah yang sangat mengagumkan tentang hari Sabtu Suci: Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus benar-benar menjalani kematian manusia -- pemisahan tubuh dan jiwa-Nya -- demi keselamatan kita. O senhor morto, God is Dead, benar kata Niestzche.

Kamis, 17 April 2025

"Tetelestai" - Sudah Selesai

 

Pengantar: Sebuah Kata yang Mengubah Segalanya

Pada saat Yesus tergantung di kayu salib, menjelang akhir hidup-Nya di dunia, Ia mengucapkan sebuah kata terakhir yang menggema sepanjang sejarah: "Tetelestai." Kata ini, yang dalam Injil Yohanes 19:30 diterjemahkan sebagai "Sudah selesai," bukan sekadar ungkapan kematian. Ia adalah deklarasi kemenangan, puncak penggenapan janji Allah, dan jantung spiritualitas Kristiani. Dalam renungan ini, kita akan mendalami makna kata ini dari berbagai dimensi: biblis, teologis, metafisika Thomistik, dan personalisme. Semua ini akan membantu kita memahami apa artinya bagi hidup kita hari ini.

 

1. Makna Biblis: Janji yang Digenapi

Secara literal, "tetelestai" berasal dari bahasa Yunani, bentuk perfect tense dari kata kerja teleo (τελέω), yang berarti menyelesaikan, menggenapi, atau membayar lunas. Dalam konteks Yohanes 19:30, kata ini mengacu pada kenyataan bahwa segala sesuatu yang perlu digenapi oleh Yesus telah terlaksana.

Dalam Injil Yohanes sendiri, tercatat bahwa sebelum mengucapkan kata ini, Yesus tahu bahwa "segala sesuatu telah selesai" (Yoh 19:28). Dengan demikian, "tetelestai" adalah pernyataan aktif dari pengenalan Yesus akan karya-Nya sebagai Sang Penebus.

Yesus telah menggenapi nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama:

  • Nubuat Yesaya 53 tentang Hamba Tuhan yang menderita.
  • Mazmur 22 yang menggambarkan penderitaan Mesias.
  • Nubuat tentang pengkhianatan, penderitaan, hingga pencurahan anggur asam.

Semua ini digenapi secara sempurna. Maka, "tetelestai" berarti bahwa rencana Allah yang telah dirancang sejak kejatuhan manusia pertama telah mencapai klimaksnya. Allah setia pada janji-Nya.

 

2. Makna Teologis: Kemenangan Salib

Dalam sudut pandang teologi, "tetelestai" adalah deklarasi tegas bahwa keselamatan telah diperoleh secara penuh melalui karya Yesus Kristus. Dalam teologi Katolik, penebusan dosa manusia dilakukan oleh Kristus melalui penderitaan dan kematian-Nya, sebagai Imam dan sekaligus Kurban.

Di dalam Surat kepada Ibrani, dinyatakan bahwa Kristus mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selamanya (Ibrani 10:10). Dengan demikian, tidak ada lagi kurban yang perlu diulang. Salib bukanlah kekalahan, melainkan kemenangan.

Kata "tetelestai" juga memiliki konotasi hukum dan ekonomi pada zaman Yunani kuno. Kata ini sering dituliskan pada kuitansi untuk menandakan bahwa hutang telah lunas. Maka, dalam terang iman, Yesus membayar penuh harga dosa umat manusia. Ia tidak hanya menderita; Ia menyelesaikan. Ia tidak sekadar wafat; Ia mengalahkan dosa.

Dengan ini, hidup kita sebagai umat Kristiani tidak lagi ditentukan oleh ketakutan akan hukuman, tetapi oleh syukur atas kasih karunia yang telah dicurahkan.

 

3. Makna Metafisika Thomistik: Tujuan Sempurna dan Kasih Ilahi

Santo Thomas Aquinas, dalam pendekatan metafisiknya, memandang bahwa semua ciptaan bergerak menuju tujuan akhir (telos) yang adalah kebaikan sempurna, yaitu Allah sendiri. Dalam konteks ini, "tetelestai" menjadi deklarasi bahwa misi Inkarnasi telah mencapai tujuannya.

Dalam Summa Theologiae, Aquinas menyatakan bahwa karya keselamatan adalah alasan utama Allah menjadi manusia. Dengan kematian-Nya di kayu salib, Yesus menyempurnakan tindakan kasih sebagai manusia yang dipersatukan secara hipostatik dengan Keilahian-Nya.

Menurut Aquinas:

  • Sebuah tindakan disebut sempurna jika mencapai tujuan akhirnya (actus perfectus).
  • Tindakan Kristus yang menyerahkan diri di salib adalah tindakan kasih paling sempurna.
  • Kasih tersebut tidak hanya manusiawi, tetapi ilahi—karena dilakukan oleh Pribadi Kedua Tritunggal.

Maka, dari perspektif metafisika, "tetelestai" adalah puncak dari seluruh gerakan realitas menuju Allah: melalui Salib, manusia dipulihkan dalam relasinya dengan Pencipta.

 

4. Perspektif Personalisme: Kasih yang Memberi Diri

Personalism, khususnya seperti diajarkan oleh St. Yohanes Paulus II, menekankan bahwa pribadi manusia adalah subjek yang memiliki kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab moral. Dalam terang personalisme, "tetelestai" adalah pernyataan kasih pribadi yang tertinggi.

Yesus mengucapkan kata ini bukan sebagai korban pasif, tetapi sebagai pribadi yang secara bebas menyerahkan diri-Nya demi keselamatan orang lain:

"Tidak seorang pun mengambil nyawa-Ku daripada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri." (Yoh 10:18)

Pengorbanan Kristus adalah bentuk tertinggi dari personal gift—pemberian diri secara total dan bebas demi kebaikan sesama. Maka, "tetelestai" bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang pemenuhan panggilan eksistensial manusia untuk mengasihi secara total.

Yesus menunjukkan bahwa hanya melalui kasih yang memberi diri, manusia menjadi sepenuhnya dirinya. Dalam penderitaan, dalam relasi, dalam pelayanan, manusia menemukan martabat tertingginya.


5. Implikasi Pastoral dan Spiritualitas Pribadi

Apa artinya "tetelestai" bagi kita yang hidup hari ini? Renungan ini mengajak kita merenungkan beberapa buah spiritual:

  • Hidup kita memiliki tujuan: Kita bukan hidup dalam kekacauan, tetapi dalam terang rencana Allah yang telah digenapi dalam Kristus. Kita dipanggil untuk masuk ke dalam karya keselamatan itu.
  • Kasih mengatasi penderitaan: Salib yang dahulu menjadi lambang kutukan telah menjadi lambang kemenangan. Penderitaan hidup bukan akhir dari segalanya, tetapi jalan menuju pemurnian dan persatuan dengan Kristus.
  • Panggilan untuk memberi diri: Kita dipanggil untuk meniru kasih Kristus dengan memberi diri, entah dalam keluarga, pelayanan, pekerjaan, atau komunitas. Kasih bukan teori, tetapi tindakan nyata.
  • Iman dalam kemenangan Kristus: Ketika kita menghadapi dosa, kegagalan, dan kelemahan, kita diingatkan bahwa Kristus telah menang. Kita tinggal masuk ke dalam kemenangan-Nya melalui tobat, Ekaristi, dan hidup dalam kasih.

 

Penutup: Kata Terakhir yang Membuka Harapan

"Tetelestai" bukanlah akhir. Ia adalah permulaan. Ketika Yesus mengatakan "Sudah selesai," Ia sedang membuka babak baru dalam sejarah manusia: babak keselamatan.

Dalam setiap luka, ada harapan. Dalam setiap salib, ada kasih. Dalam setiap penderitaan, ada penebusan. Marilah kita hidup dalam terang kata ini, dan menjadikan "tetelestai" sebagai nyanyian iman dalam setiap langkah hidup kita.

"Segala sesuatu telah selesai." (Yohanes 19:30) – Dan karena itu, segala sesuatu menjadi baru.

 

Selasa, 08 April 2025

Api Penyucian dalam Terang Kitab Suci dan Tradisi: Tanggapan Katolik terhadap Keberatan Protestan


Pendahuluan

Salah satu ajaran Gereja Katolik yang sering ditolak oleh umat Protestan adalah doktrin tentang api penyucian (purgatori). Keberatan umum mencakup pandangan bahwa purgatori tidak eksplisit dalam Kitab Suci, bahwa karya Kristus di salib sudah cukup, serta bahwa para Bapa Gereja tidak memiliki otoritas dalam hal iman. Artikel ini bertujuan memberikan tanggapan apologetik yang sistematis berdasarkan Kitab Suci, ajaran para Bapa Gereja, serta dokumen Magisterium Gereja.


1. Otoritas Kitab Suci dan Tradisi Suci

Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman Kristiani bersumber dari dua pilar utama: Kitab Suci dan Tradisi Suci, yang ditafsirkan secara sah oleh Magisterium Gereja (lih. Dei Verbum 9-10). Oleh karena itu, kesaksian para Bapa Gereja tidak dilihat sebagai tambahan, melainkan sebagai saksi hidup dari Tradisi Apostolik.

"Adalah jelas, dari tradisi para rasul, bahwa Gereja... menaruh keyakinan akan penyucian sesudah mati dan karena itu juga berdoa untuk orang-orang mati." (Katekismus Gereja Katolik [KGK] 1032)


2. Makna 1 Korintus 3:15 dan Ajaran Para Bapa Gereja

Dalam 1 Korintus 3:15, Paulus menulis: "Ia akan diselamatkan, tetapi seperti melalui api." Ayat ini ditafsirkan oleh banyak Bapa Gereja sebagai indikasi adanya penyucian setelah kematian.

  • St. Agustinus menulis bahwa api ini bukan neraka, karena orang tersebut diselamatkan, tetapi bukan juga kenyamanan, karena ia menderita melalui api penyucian (lih. Enarrationes in Psalmos 37.3; Enchiridion 69).

  • St. Siprianus menggambarkan penderitaan penyucian sebagai jalan pemurnian setelah kematian bagi mereka yang tidak mati dalam kesucian sempurna (Surat 51.20).

  • St. Thomas Aquinas menyebut dosa-dosa ringan yang masih melekat pada jiwa sebagai kayu, jerami, dan tunggul yang harus dibakar oleh api (lih. Summa Theologiae I-II q.89 a.2).


3. Kristus sebagai Penebus Sempurna dan Peran Purgatori

Gereja tidak mengajarkan bahwa purgatori adalah tambahan atas karya Kristus, melainkan sebagai aplikasi dari rahmat penebusan Kristus kepada jiwa-jiwa yang masih perlu dimurnikan.

"Setiap dosa, bahkan dosa ringan, memerlukan penyucian baik di dunia ini atau sesudah kematian, di negara yang disebut oleh Gereja sebagai api penyucian." (KGK 1472)

Penyucian ini bukan untuk dosa berat yang belum diampuni, melainkan untuk akibat dosa yang masih melekat dan untuk dosa ringan yang belum disucikan sepenuhnya.


4. Kesaksian Magisterium: Konsili dan Katekismus

Konsili-konsili Gereja telah menegaskan doktrin purgatori secara eksplisit:

  • Konsili Lyon II (1274): "Jika mereka meninggal dalam kasih Tuhan, tetapi belum cukup disucikan... jiwa-jiwa mereka disucikan setelah mati..." (Denzinger 856)

  • Konsili Firenze (1439): "Mereka yang benar-benar bertobat tetapi belum sepenuhnya memperbaiki dosa mereka... dibantu oleh doa-doa Gereja, terutama oleh Kurban Misa." (Denzinger 1304)

  • Konsili Trente (1545-1563): "Ada api penyucian, dan jiwa-jiwa di dalamnya dibantu oleh doa umat beriman." (Denzinger 1820)


5. Tanggapan terhadap Keberatan-Keberatan Khusus

a. "Kristus sudah cukup (Sola Fide, Solus Christus)"

Tanggapan Katolik: Keselamatan memang hanya melalui Kristus, tetapi pemurnian merupakan bagian dari karya Kristus yang membersihkan umat-Nya (lih. Ibr 12:14). Api penyucian adalah tindakan penyembuhan dari kasih Kristus, bukan penambahan atas salib.

b. "Tidak ada kata 'purgatori' dalam Alkitab"

Tanggapan Katolik: Banyak doktrin tidak dinyatakan secara eksplisit dalam satu istilah (misalnya Trinitas), namun keberadaannya tersirat dalam keseluruhan Kitab Suci. Doa bagi orang mati (2 Makabe 12:46) dan ayat-ayat seperti 1 Kor 3:15, Mat 12:32, dan 1 Ptr 1:7 menjadi dasar yang kuat.

c. "Para Bapa Gereja bukan otoritas final"

Tanggapan Katolik: Para Bapa Gereja adalah saksi iman yang hidup dan berakar dalam ajaran para rasul. Kesaksian mereka penting dalam memahami penerimaan iman sejak awal Gereja.


Penutup

Api penyucian bukan doktrin yang diciptakan oleh Gereja Katolik di kemudian hari, melainkan keyakinan kuno yang bersumber dari pewahyuan Allah yang satu dalam Kitab Suci dan Tradisi. Doktrin ini menegaskan kasih dan keadilan Allah, serta harapan akan pemurnian sempurna sebelum perjumpaan abadi dengan Allah yang Mahakudus.

"Barangsiapa tidak suci, tidak dapat melihat Tuhan." (lih. Ibrani 12:14)

Senin, 07 April 2025

Jalan Cinta yang Berpijar: Perjumpaan Metafisika Thomistik dan Personalisme Wojtyła dalam Lintasan Pelayanan Mgr. Petrus Turang

Pendahuluan

Filsafat bukan hanya tentang teori-teori abstrak, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari dengan makna yang mendalam. Salah satu motto yang telah menginspirasi banyak orang, khususnya di Nusa Tenggara Timur, adalah "Berkeliling sambil berbuat baik", yang dipegang oleh Mgr. Petrus Turang. Saat ini, kita berkumpul untuk mengenang dan memberi penghormatan kepada beliau, yang baru saja berpulang dan dimakamkan dengan penuh kehormatan di Katedral Kupang.

Motto beliau mencerminkan cara hidup yang penuh kasih dan pengabdian kepada sesama, sesuatu yang sangat relevan untuk kita renungkan dalam perspektif filsafat. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi dua perspektif filsafat yang dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang motto ini, yakni metafisika Thomistik dan personalisme Karol Wojtyła.

 

1. Mgr. Petrus Turang: Di Antara Panggilan Akal Budi dan Keagungan Hati

Hari ini, kita mengucapkan selamat jalan kepada seorang tokoh yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan dan umat-Nya, Mgr. Petrus Turang. Beliau adalah seorang gembala yang tidak hanya memberikan petunjuk spiritual, tetapi juga teladan hidup melalui motto beliau yang sederhana namun penuh makna: "Berkeliling sambil berbuat baik."

Mgr. Turang telah mengabdikan dirinya untuk melayani umat dengan penuh kasih, meneladani hidup Kristus dalam setiap langkahnya. Beliau mengajarkan kita untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi untuk menjangkau tangan kita kepada orang lain yang membutuhkan bantuan. Beliau hidup sesuai dengan panggilan untuk berbuat baik, tidak hanya di gereja, tetapi di setiap aspek kehidupan, dari pertemuan pribadi hingga pelayanan sosial.

Kehidupan Mgr. Petrus Turang adalah kehidupan yang penuh dengan perjalanan—baik itu perjalanan fisik maupun spiritual. Beliau mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan yang lebih besar, sebuah misi untuk membawa kebaikan bagi sesama. Kini, meskipun beliau telah pergi, pesan-pesan kasih dan kebaikan beliau akan terus hidup dalam diri kita.

Mari kita berdoa agar Tuhan menerima roh beliau dalam damai-Nya, dan semoga kami yang ditinggalkan dapat terus menghidupi warisan beliau melalui tindakan kasih yang tulus kepada sesama.

2. Metafisika Thomistik: Berkeliling sebagai Perjalanan Menuju Kebaikan

Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog abad pertengahan, menekankan bahwa setiap manusia diciptakan dengan tujuan yang lebih tinggi—untuk menemukan kebahagiaan sejati melalui penyatuan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, hidup kita bisa dipandang sebagai perjalanan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual.

Berkeliling di sini tidak hanya berarti berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Ini mencerminkan perjalanan eksistensial kita menuju kebaikan yang lebih tinggi, yang bisa kita capai melalui tindakan moral yang baik. Dalam pandangan Thomistik, kebaikan ini tidak tergantung pada selera pribadi, tetapi pada hukum moral universal yang mengarah pada Tuhan.

Berbuat baik, dalam pemikiran Aquinas, berarti bertindak sesuai dengan hukum moral dan dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Melalui kebajikan, yaitu kebiasaan bertindak baik yang diperoleh dengan latihan, seseorang bisa memenuhi potensinya sebagai makhluk rasional yang berfungsi sesuai dengan tujuan alaminya. Maka, berkeliling sambil berbuat baik menjadi semacam metafora untuk kehidupan yang berfokus pada perbaikan moral, yang diwarnai dengan tindakan baik yang mendekatkan kita pada Tuhan.

3. Personalisme Karol Wojtyła: Berkeliling dalam Menghargai Martabat Manusia

Karol Wojtyła, yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus II, mengembangkan filosofi personalisme, yang menempatkan martabat manusia sebagai inti dari segala pemikiran moral dan etika. Dalam personalisme, manusia bukan hanya objek atau alat untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi subjek yang memiliki martabat tak terhingga dan kebebasan untuk memilih.

Berkeliling menurut perspektif personalisme berarti menjalani hidup dengan penuh kesadaran terhadap martabat pribadi kita dan orang lain. Setiap langkah kita harus diambil dengan kesadaran penuh akan kebebasan pribadi dan nilai intrinsik setiap individu. Berkeliling bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan hubungan kita dengan orang lain.

Berbuat baik, dalam kerangka personalisme, melibatkan tindakan yang menghormati martabat orang lain sebagai subjek yang bebas dan berharga. Wojtyła mengajarkan bahwa tindakan moral harus selalu memperhatikan kebebasan dan nilai intrinsik setiap individu. Dengan demikian, berbuat baik bukan hanya tentang memberi bantuan, tetapi juga tentang mengakui dan menghargai kebebasan dan martabat orang lain dalam setiap interaksi kita.

4. Ketika Ada Bertemu Persona: Hakikat Manusia dalam Aquinas dan Wojtyła

Meskipun kedua filsuf ini memiliki pandangan yang berbeda, keduanya sepakat bahwa kebaikan dalam hidup manusia berhubungan dengan tujuan yang lebih tinggi—baik itu melalui pencapaian kebahagiaan yang sejati (Aquinas) atau melalui penghargaan terhadap martabat dan kebebasan pribadi (Wojtyła).

  • Aquinas menekankan bahwa kebaikan tercapai melalui tindakan moral yang selaras dengan hukum alam dan hukum ilahi. Hidup yang baik adalah hidup yang diarahkan untuk mencapai tujuan akhir manusia, yaitu persatuan dengan Tuhan.
  • Wojtyła lebih menekankan pada hubungan antarpribadi, di mana berbuat baik berarti menghargai kebebasan dan martabat orang lain. Berkeliling sambil berbuat baik menjadi cara untuk menghidupi nilai-nilai ini dalam hubungan kita dengan sesama.

Keduanya memberikan wawasan yang saling melengkapi: Aquinas mengajarkan tentang tindakan moral yang berorientasi pada tujuan akhir, sementara Wojtyła mengajarkan bagaimana kita dapat menjalani hidup yang baik dengan penuh penghargaan terhadap kebebasan dan martabat setiap individu.

5. Mulai Hari Ini: Aquinas dan Wojtyła Mengajak Kita Hidup Lebih Manusiawi

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan pemikiran ini dalam kehidupan sehari-hari? Berikut beberapa refleksi praktis:

1.    Pahami tujuan hidup Anda: Baik dalam perspektif Thomistik maupun personalisme Wojtyła, penting untuk memiliki kesadaran akan tujuan hidup yang lebih tinggi. Bagi Aquinas, ini berarti mengarahkan hidup pada pencapaian kebahagiaan yang sejati dengan Tuhan, sedangkan bagi Wojtyła, ini berarti memahami bahwa hidup adalah tentang menghargai dan menghidupi martabat pribadi kita dan orang lain.

2.    Tindakan moral: Dalam kehidupan sehari-hari, kita diundang untuk berbuat baik melalui tindakan moral yang menghormati hukum moral universal (Aquinas) dan martabat individu (Wojtyła). Ini bisa dimulai dengan sikap yang penuh perhatian terhadap orang lain, serta bertindak dengan kesadaran penuh akan kebebasan dan nilai orang lain.

3.    Berkeliling dengan tujuan yang lebih tinggi: Berkeliling bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual yang diarahkan pada kebaikan. Setiap langkah dalam hidup haruslah bertujuan untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada tujuan tertinggi—baik itu kebahagiaan dalam persatuan dengan Tuhan (Aquinas) atau pemahaman dan penghargaan terhadap martabat manusia (Wojtyła).

Kesimpulan

Motto "Berkeliling sambil berbuat baik" mengandung ajakan untuk menjalani hidup dengan penuh makna, baik dalam aspek spiritual maupun sosial. Dari perspektif metafisika Thomistik, ini adalah perjalanan menuju kebaikan yang lebih tinggi, sedangkan dalam perspektif personalisme Karol Wojtyła, ini adalah panggilan untuk menghargai martabat pribadi dan kebebasan orang lain dalam setiap tindakan kita. Keduanya mengajarkan bahwa berkeliling sambil berbuat baik adalah lebih dari sekadar perjalanan fisik—itu adalah perjalanan moral dan spiritual yang memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan, diri kita sendiri, dan sesama.

Dalam kenangan Mgr. Petrus Turang, yang kini telah berpulang, kita diajak untuk terus berkeliling sambil berbuat baik, menghidupi kehidupan yang penuh kasih, dan menghargai martabat setiap orang, sesuai dengan warisan beliau yang tak ternilai.

 

Menjawab Kritik Budi Asali dan Loraine Boettner: Klarifikasi Ajaran Iman Katolik

 Oleh: Patris Allegro

Pendahuluan

Kritik terhadap Gereja Katolik seringkali berulang dalam pola dan sumber yang sama, terutama dari kalangan Reformed. Salah satu sumber favorit adalah buku Roman Catholicism karya Loraine Boettner, yang oleh para sarjana Katolik maupun non-Katolik telah lama dikritik sebagai contoh buruk dari penelitian teologis yang bias dan tidak akurat. Budi Asali, yang menyusun pengajarannya dengan merujuk pada Boettner, mengulang tuduhan-tuduhan lama dengan kemasan baru: Gereja Katolik dituduh menambah ajaran Alkitab, menyembah berhala, dan menyimpang sejak abad ke-4.

Artikel ini bertujuan untuk membantah klaim-klaim tersebut secara sistematis dan menunjukkan bahwa ajaran Katolik tidak hanya alkitabiah, tetapi juga berdasar pada Tradisi Apostolik dan konsisten sepanjang sejarah Gereja.


I. Tentang Sumber dan Metodologi: Kritik terhadap Boettner dan Budi Asali

Boettner bukan seorang sejarawan Gereja atau teolog Katolik. Ia menulis Roman Catholicism pada tahun 1962, dan sejak itu bukunya menjadi semacam "kitab suci" anti-Katolik bagi banyak pengkritik Protestan. Masalah utamanya adalah penggunaan kutipan yang tidak akurat, logika simplistik, dan pemahaman yang keliru tentang doktrin Katolik. Budi Asali, dengan meniru Boettner, mengulangi kesalahan yang sama: menilai doktrin Katolik hanya dari luar, tanpa merujuk pada dokumen magisterial resmi atau penjelasan Gereja sendiri.


II. Soal Keselamatan: Apakah Katolik Menolak “Sola Fide”?

Klaim: Gereja Katolik mengajarkan keselamatan melalui iman plus perbuatan, yang berarti menolak keselamatan karena iman saja (sola fide).

Tanggapan Katolik:

Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan adalah karunia murni dari Allah, diterima melalui iman, tetapi iman yang hidup dan bekerja dalam kasih (lih. Gal 5:6). Yakobus 2:24 menyatakan dengan jelas: “Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Maka, iman yang menyelamatkan bukanlah iman yang mati atau hanya deklaratif.

Kesalahpahaman Boettner dan Budi Asali terletak pada dikotomi palsu antara iman dan perbuatan, seolah keduanya saling meniadakan. Padahal, iman yang sejati menghasilkan buah, dan itu adalah perbuatan kasih. Ini bukanlah legalisme, tetapi partisipasi dalam rahmat Kristus.


III. Otoritas: Alkitab Saja atau Bersama Tradisi dan Magisterium?

Klaim: Gereja Katolik menambahkan sumber otoritas di luar Alkitab, yaitu tradisi dan Paus.

Tanggapan Katolik:

Katolik tidak menolak Alkitab—bahkan Katolik yang menghimpun dan menetapkan kanon Alkitab. Tetapi Gereja sejak awal hidup dari tiga pilar otoritatif: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium (pengajaran resmi Gereja).

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan sola scriptura. Bahkan 2 Tesalonika 2:15 menyatakan, “Sebab itu, berdirilah teguh dan peganglah segala ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan maupun tertulis.” Dengan kata lain, tradisi lisan dan tertulis memiliki otoritas yang sama.

Paus bukanlah “pengganti Alkitab,” tetapi pelayan sabda dan pengikat kesatuan Gereja, sesuai dengan mandat Petrus (lih. Mat 16:18-19, Yoh 21:15-17).


IV. Maria dan Para Kudus: Apakah Penyembahan atau Penghormatan?

Klaim: Penghormatan Katolik kepada Maria dan para kudus adalah penyembahan berhala.

Tanggapan Katolik:

Ini adalah kesalahan terminologis. Dalam ajaran Katolik, hanya Allah yang disembah (latria). Maria dan para kudus dihormati (dulia) dan Maria secara istimewa diberi penghormatan khusus (hyperdulia) karena perannya sebagai Bunda Allah (Theotokos).

Menghormati orang kudus bukanlah menyembah mereka, sebagaimana kita menghormati orang tua, guru, atau pahlawan nasional tanpa menyembah mereka. Kita juga meminta doa mereka, sama seperti meminta doa dari teman. Apakah meminta teman mendoakan kita berarti kita menjadikan dia “perantara pengganti Kristus”? Tentu tidak.


V. Api Penyucian: Alkitabiah atau Rekayasa Abad ke-6?

Klaim: Doktrin api penyucian ditemukan tahun 593 dan tidak alkitabiah.

Tanggapan Katolik:

Doktrin api penyucian berasal dari prinsip kasih dan keadilan Allah. Orang yang mati dalam rahmat tetapi belum sepenuhnya suci akan dimurnikan (lih. 1 Kor 3:15). Juga dalam 2 Makabe 12:45 (kitab yang ditolak oleh kalangan Protestan setelah Reformasi), tertulis bahwa doa bagi orang mati adalah hal yang baik dan saleh.

Bahkan para Bapa Gereja awal seperti St. Augustine dan St. Gregory Nyssa sudah menyebutkan api penyucian jauh sebelum 593. Jadi bukan penemuan, tapi klarifikasi dan perkembangan doktrin.


VI. Transubstansiasi: Iman Mistik, Bukan Magis

Klaim: Transubstansiasi tidak alkitabiah dan baru muncul di abad pertengahan.

Tanggapan Katolik:

Transubstansiasi adalah istilah filosofis untuk menjelaskan realitas rohani: bahwa roti dan anggur sungguh menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. Yoh 6:51-56, Mat 26:26-28). Gereja tidak “menemukan” ini, tetapi menjelaskannya dengan kategori metafisika Aristotelian.

Istilahnya memang dipertegas pada Konsili Lateran IV (1215), tetapi iman akan Kehadiran Nyata Kristus sudah sejak awal Gereja. Lihat tulisan St. Ignatius dari Antiokhia (abad ke-1) yang menyebut Ekaristi sebagai “daging Yesus Kristus”.


VII. Bahasa Latin, Sakramen, dan Lain-lain: Apakah Semua Tambahan?

Klaim: Penggunaan bahasa Latin, 7 sakramen, dan doa Rosario adalah penambahan manusiawi.

Tanggapan Katolik:

Bahasa Latin bukanlah sarana pengaburan, tetapi simbol kesatuan liturgi. Banyak umat awam kala itu paham bahasa Latin, dan bahkan kini banyak bagian liturgi sudah dalam bahasa lokal.

Soal sakramen, semua 7 memiliki dasar dalam Kitab Suci. Protestan memang hanya mengakui 2 secara eksplisit, tetapi itu bukan berarti yang lain “tidak alkitabiah”. Misalnya:

  • Pengurapan orang sakit (lih. Yak 5:14-15),
  • Imamat (lih. Yoh 20:22-23),
  • Pernikahan (lih. Ef 5:31-32),
  • Penguatan (lih. Kis 8:14-17),
  • Pengakuan dosa (lih. Yoh 20:23).

Doa Rosario bukan mantra, tapi meditasi atas Injil bersama Maria. Ulangan doa hanyalah bentuk kontemplatif, bukan pemaksaan kepada Tuhan.


Penutup: Siapa yang Menambah-Nambahkan?

Ironisnya, para pengkritik Katolik seperti Boettner dan Budi Asali sering kali menuduh Gereja menambah-nambahkan ajaran. Namun mereka sendiri telah menolak Tradisi Apostolik yang menjadi bagian integral dari pewahyuan Kristen (lih. 2 Tes 2:15), dan membangun gereja-gereja baru di luar garis historis Gereja yang didirikan Kristus.

Sebagai umat Katolik, kita tidak takut terhadap pertanyaan—tetapi kita harus menjawab dengan akal budi, kasih, dan kejujuran sejarah. Gereja Katolik bukanlah gereja buatan manusia, tetapi Tubuh Kristus yang satu, kudus, katolik, dan apostolik—yang dijaga oleh Roh Kudus sepanjang zaman.

 

Minggu, 06 April 2025

Tafsir Pribadi di Luar Gereja: Sebuah Kritik Patristik dan Thomistik terhadap Prinsip Sola Scriptura

Pendahuluan Reformasi Protestan pada abad ke-16 menandai salah satu titik balik dalam sejarah Kekristenan. Prinsip "Sola Scriptura" atau "Kitab Suci saja" menjadi fondasi utama gerakan ini. Dengan prinsip ini, para Reformator menolak otoritas Magisterium Gereja Katolik dan menyerukan agar setiap orang Kristen dapat menafsirkan Kitab Suci secara pribadi. Namun, dari sudut pandang tradisi Patristik dan pemikiran Thomistik, pemisahan antara Kitab Suci dan otoritas Gereja bukanlah langkah yang sah secara teologis maupun historis. Artikel ini mengkaji kritik terhadap prinsip tafsir pribadi berdasarkan warisan para Bapa Gereja dan ajaran Santo Thomas Aquinas.

I. Kitab Suci Lahir dari Gereja, Bukan Sebaliknya Para Bapa Gereja dengan tegas mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dalam konteks kehidupan liturgis dan tradisi apostolik Gereja. Santo Irenaeus dari Lyon menulis, "Apabila seseorang ingin mengetahui kebenaran, maka ia harus bertanya kepada mereka yang telah menerima pengajaran dari para rasul" (Against Heresies, III.4.1). Demikian pula, Santo Athanasius menegaskan bahwa Kitab Suci hanya dapat dipahami secara benar dalam terang iman Gereja.

Implikasinya jelas: menafsirkan Kitab Suci di luar Gereja berarti memisahkan teks dari konteks hidup yang melahirkannya. Gereja adalah rahim dari mana Kitab Suci dilahirkan dan dijaga.

II. Gereja sebagai Penafsir Sah Kitab Suci Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae menyatakan, "Kepada Gereja lah dipercayakan penafsiran Kitab Suci" (II-II, q.1, a.10). Ia menyadari bahwa akal budi manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kebenaran ilahi. Oleh karena itu, akal tidak boleh menjadi ukuran tertinggi dalam menafsirkan wahyu. Wahyu ilahi harus dijelaskan dalam terang otoritas Gereja, yang menerima mandat dari Kristus melalui para rasul.

Dalam pandangan Thomistik, akal budi tunduk kepada iman, dan iman tunduk kepada otoritas Gereja. Penafsiran pribadi yang dilepaskan dari Magisterium menempatkan individu sebagai tolok ukur kebenaran iman, dan hal ini bertentangan dengan sifat Gereja sebagai "tiang penopang dan dasar kebenaran" (1 Tim 3:15).

III. Bahaya Tafsir Pribadi tanpa Gereja Salah satu akibat dari tafsir pribadi yang tidak dikaitkan dengan otoritas Gereja adalah lahirnya ribuan denominasi dengan ajaran dan tafsir yang saling bertentangan. Ini menimbulkan relativisme doktrinal dan membingungkan umat beriman.

Santo Vincentius dari Lérins (abad ke-5) memberikan kriteria iman yang otentik: "Apa yang diimani oleh semua orang, di semua tempat, dan sepanjang waktu." Tafsir pribadi seringkali gagal memenuhi kriteria ini karena cenderung subjektif dan kontekstual.

IV. Kristus Mendirikan Gereja sebagai Otoritas Pengajar Dalam Injil Matius 16:18-19, Kristus berkata kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku..." Dan dalam Matius 28:19-20, Ia memberikan Amanat Agung kepada para rasul. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Kristus mendirikan Gereja dan memberikan otoritas pengajaran kepada para rasul dan penerus mereka.

Kristus tidak memberikan Kitab Suci kepada individu untuk ditafsirkan menurut kehendak pribadi, melainkan mempercayakan pewartaan dan penafsiran kepada Gereja yang adalah tubuh-Nya sendiri.

V. Analogi Final: Surat dari Raja Kitab Suci dapat dianalogikan sebagai surat cinta dari Raja kepada umat-Nya. Surat tersebut hanya dapat dijelaskan secara sah oleh para utusan resmi sang Raja. Jika setiap warga merasa berhak menafsirkan surat tersebut sesuka hati, maka maksud asli sang Raja akan hilang dan kekacauan pun terjadi.

Demikianlah, menafsirkan Kitab Suci di luar Gereja berarti membajak surat kerajaan dan menuliskan ulang isinya tanpa otoritas.

Kesimpulan Dalam terang ajaran Patristik dan Thomistik, jelas bahwa Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi dan Magisterium Gereja. Gereja adalah penafsir yang sah karena ia menerima mandat langsung dari Kristus dan menjaga kesinambungan ajaran para rasul. Prinsip tafsir pribadi di luar otoritas Gereja bukan hanya keliru secara historis, tetapi juga berisiko besar dalam hal keselamatan iman.

Maka, jalan yang benar bukanlah pemisahan, melainkan pembaruan dalam kesatuan. Gereja selalu terbuka untuk reformasi internal, namun tidak pernah membuka pintu untuk perpecahan otoritas.

Katolik Jual Pengampunan Dosa? Klaim Lama, Logika Dangkal

 

Setiap kali argumen Protestan mulai melemah, ada satu kartu mati yang selalu mereka mainkan:

“Katolik itu dulu jual pengampunan dosa.”
Satu kalimat yang diulang seperti kaset rusak, seolah menjadi dogma baru di luar Alkitab mereka.

Tentu saja mereka jarang paham apa itu indulgensi, apalagi mau baca Catechismus Ecclesiae Catholicae atau dokumen Konsili Trente. Kenapa harus repot membaca kalau bisa terus hidup nyaman dalam mitos yang diwariskan sejak abad ke-16?

Mari saya bantu.

📌 Pertama, indulgensi bukan pengampunan dosa.

Dosa hanya bisa diampuni lewat pertobatan sejati dan sakramen tobat.
Indulgensi hanya menghapus hukuman temporal — semacam rehabilitasi spiritual setelah luka dosa dibersihkan.
Kalau dosa itu pelanggaran, indulgensi bukan penghapus catatan kriminal, tapi lebih seperti penghapusan masa tahanan ringan setelah orangnya benar-benar tobat.
Tapi bagi mereka yang alergi pada tradisi, ini tentu terlalu “kompleks” untuk dipahami.

📌 Kedua, ya — pernah ada penyalahgunaan indulgensi.

Namanya juga manusia. Bahkan rasul Kristus pernah menjual Yesus seharga 30 keping perak. Tapi apakah karena Yudas menjual Tuhan, maka seluruh Gereja layak dibubarkan?

Kalau satu pedagang indulgensi bernama Tetzel menyimpang, kenapa seluruh Gereja harus dituduh korup?
Kalau satu pendeta salah tafsir, haruskah seluruh denominasi dianggap bidat?
Oh, tunggu... Kalau pakai logika Protestan, mungkin iya.

📌 Ketiga, ini bukan argumen sejarah — ini senjata retoris.

Kalimat “Katolik jual dosa” bukan lahir dari cinta pada kebenaran, tapi dari semangat memecah tubuh Kristus. Ia lahir dari lidah yang tidak tahu membedakan antara fakta dan propaganda.

Apakah mereka pernah membaca dokumen asli abad ke-16? Tidak.
Apakah mereka tahu bahwa indulgensi masih berlaku hingga hari ini, tanpa jual beli, tanpa pemerasan? Tidak juga.
Tapi mereka pandai mengulang klise kuno demi mempertahankan reformasi setengah matang.

📌 Keempat, mari kita balik tanya:

Jika Gereja Katolik salah karena pernah disalahgunakan,
maka siapa yang akan minta maaf atas ribuan denominasi Protestan yang saling pecah satu sama lain?
Siapa yang bertanggung jawab atas mimbar-mimbar yang menjual janji mujizat dengan persembahan uang?
Atau atas pendeta yang berseru, “Tuhan akan memberkati kamu kalau kamu kasih persepuluhan tepat waktu”?

Kalau indulgensi disebut "jual dosa", apa bedanya dengan teologi kemakmuran?
Bedanya cuma gaya marketing. Yang satu Latin dan bergema di basilika; yang satu Inggris palsu dan viral di YouTube.

📌 Terakhir: jangan menghakimi sejarah dari balik tembok kebodohan teologis.

Jangan terus hidup dari mitos yang dibentuk oleh dendam.
Indulgensi bukan skandal.
Yang skandal adalah orang-orang yang tahu sejarah separuh, tapi bicara seolah menguasai keseluruhan.


Gereja Katolik memang pernah salah dalam praktik. Tapi Protestan salah dalam logika. Dan itu lebih memalukan.

Dua Gembala di Bulan Paskah

Di bulan April yang sarat makna Paskah—bulan kebangkitan dan pengharapan—Gereja Katolik mengenang wafatnya dua gembala besar: Santo Yohanes Paulus II (2 April 2005) dan Mgr. Petrus Turang (4 April 2024). Dua uskup, dua konteks, namun satu semangat: menjadi gembala yang setia sampai akhir.

Karol Wojtyła, yang kita kenal sebagai Yohanes Paulus II, datang dari Polandia—negeri yang digerogoti komunisme dan penderitaan. Namun dari tanah itu tumbuh seorang Paus yang menggetarkan dunia dengan kelembutan, ketegasan, dan semangat manusiawi yang luar biasa. Ia berdiri sebagai suara bagi yang bisu, harapan bagi yang terpinggirkan, dan jembatan bagi dunia yang tercerai-berai.

Mgr. Petrus Turang datang dari Minahasa, wilayah mayoritas Protestan di Sulawesi Utara. Ia diutus menjadi Uskup Agung di Kupang, Nusa Tenggara Timur—daerah lain yang juga berakar kuat dalam tradisi Protestan. Dalam konteks ini, Mgr. Turang menjalankan misinya bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan kesabaran pastoral, pengajaran yang kokoh, dan kesetiaan pada ajaran Gereja.

 

Dua wilayah yang jauh secara geografis—Roma dan Kupang, namun dalam diri dua uskup ini, kita melihat panggilan yang sama: menghadirkan Gereja sebagai terang dalam kegelapan zaman, sebagai rumah yang tidak lelah mengasihi, mengajar, dan menuntun.

 

Dari Wojtyła, kita belajar untuk tidak takut menghadapi dunia.
Dari Turang, kita belajar untuk tidak lelah menjaga kawanan kecil dengan hati yang besar.

Kini, keduanya telah "menyelesaikan pertandingan yang baik" (2 Tim 4:7), dan kita yang masih berjalan, dipanggil untuk melanjutkan kesetiaan mereka, di tempat dan waktu kita sendiri.

 

Sabtu, 05 April 2025

PERRANSIIT BENEFACIENDO AD VITAM AETERNAM!

 

Mari kita bersama merenungkan kedalaman makna wafatnya Uskup Agung Emeritus Kupang, Mgr. Petrus Turang, dengan motto "Pertransiit benefaciendo" ("Ia berlalu sambil berbuat baik" - Kis 10:38),

 

1. Kematian sebagai Penyempurnaan "Pertransiit Benefaciendo"

Motto Mgr. Turang merujuk pada hidup Yesus yang "berjalan berbuat baik" hingga kematian-Nya. Dalam terang iman Katolik:

  • Kematian adalah akhir perjalanan duniawi, tetapi awal persatuan dengan Kristus. Seperti Yesus yang "telah menyelesaikan karya yang Bapa berikan kepada-Nya" (Yoh 17:4), Mgr. Turang telah menyelesaikan tugas penggembalaannya.
  • Kesetiaan pada kebenaran (sifat tegas & blak-blakannya) mencerminkan kesaksian iman (martirion), meski bukan martir darah.
  • Kelembutan dalam relasi menunjukkan caritas (kasih Kristiani), yang adalah hukum tertinggi (1 Kor 13:13).

Kematiannya mengingatkan bahwa kesetiaan pada kebenaran dan kasih harus berjalan bersama, sebagaimana hidup Kristus.

 

2. Jiwa yang Abadi dan Tubuh yang Fana

Menurut St. Thomas Aquinas:

  • Manusia adalah "jiwa yang menghidupkan tubuh" (anima forma corporis). Kematian Mgr. Turang adalah perpisahan sementara jiwa dari tubuh, tetapi bukan kehancuran total.
  • Jiwa rasional (anima intellectiva) bersifat abadi karena mampu mengenal kebenaran universal (seperti kebaikan, keadilan, dan Allah). Sifat tegas Mgr. Turang dalam kebenaran adalah ekspresi jiwa rasional yang mencari Bonum Verum (Kebaikan dan Kebenaran Objektif).
  • Tubuh akan dibangkitkan pada akhir zaman—sehingga penghormatan pada jenazahnya adalah pengakuan akan martabat tubuh sebagai bagian dari pribadi.


Kematian bukanlah akhir, melainkan transisi menuju kepenuhan hidup dalam Allah.

 

3. Martabat Pribadi dan Relasi yang Menguduskan

Mgr. Turang dikenal tegas dalam prinsip tetapi lembut dalam relasi. Ini selaras dengan personalisme Katolik (seperti pemikiran St. Yohanes Paulus II):

  • Setiap pribadi unik dan bernilai mutlak karena diciptakan secara imago Dei (gambar Allah). Ketegasannya adalah bentuk penghormatan pada kebenaran objektif, sementara kelembutannya adalah pengakuan akan martabat pribadi orang lain.
  • Relasi yang menguduskan: Kepemimpinannya bukan sekadar administratif, tetapi pelayanan kasih yang membentuk komunio (persekutuan).

Pesan bagi Gereja Kupang:
Warisan terbesarnya bukan hanya kebijakan pastoral, tetapi teladan sebagai "pribadi yang utuh"—berintegritas dalam kebenaran dan berbelas kasih dalam relasi.


Peristiwa berpulangnya Mgr. Turang mengajar dan menegaskan kepada kita semua tiga hal berikut:

1.    Iman Katolik → Kematiannya adalah pemenuhan motto hidupnya"Pertransiit benefaciendo", kini ia berjumpa dengan Kristus, Sang Gembala Agung.

2.    Metafisika Thomistik → Jiwa abadinya kini dalam tangan Allah, menantikan kebangkitan tubuh.

3.    Personalisme → Ketegasan & kelembutannya meninggalkan jejak pribadi yang otentik, menginspirasi umat untuk hidup dalam kebenaran & kasih.

 

Ajaran Hidup dari Kepergian Sang Gembala

  • Bagi yang berduka: Jangan berhenti pada kesedihan, tetapi hiduplah seperti dia—berpegang pada kebenaran dan berbelas kasih.
  • Bagi Gereja Kupang: Teruskan semangatnya dengan setia pada iman dan giat dalam pelayanan.
  • Bagi Mgr. Turang sendiri"Requiem aeternam dona ei, Domine" (Semoga Tuhan menganugerahinya istirahat kekal).

"Kematian seorang uskup bukanlah akhir karyanya, melainkan awal penggenapannya dalam Tuhan."

 

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget