Cerita dan refleksi seputar rutinitas harian seorang imam katolik. Viva Christo Rey!

Kamis, 29 Mei 2025

Keperawanan Abadi Maria: Antara Misteri Inkarnasi dan Misogini Reformis

 

Oleh: Seorang Katolik yang (masih) Percaya Inkarnasi

“Karena bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37).


I. Pendahuluan: Ketika Rahim Menjadi Bahan Olok-Olok

Bagi sebagian kalangan Protestan, terutama mereka yang mengidolakan literalitas dan mengidap trauma terhadap Gereja Katolik, keperawanan Maria—khususnya yang disebut "perpetual"—bukan hanya sulit diterima, tetapi dianggap mengancam teologi pernikahan, bahkan tatanan moral itu sendiri. Dalam sebuah tulisan berjudul “The Perpetual Virginity of Mary: An Attack on the Marriage Covenant,” Nathan Wright mencoba melawan dogma Katolik ini dengan menyusun sebuah esai yang campur aduk antara asumsi biologis, kekhawatiran moralistik, dan kebencian khas anti-Roma.

Artikel ini hendak menjawab, sekaligus membongkar kerangka berpikir yang cacat secara metafisik, miskin secara historis, dan dangkal secara teologis.


II. Asumsi Protestan: Seks sebagai Anugerah atau Keharusan?

Wright menyuguhkan satu premis sentral: pernikahan yang sah dan benar adalah pernikahan yang diwujudkan melalui hubungan seksual. Dari sinilah ia menyerang keperawanan abadi Maria sebagai bentuk pelanggaran terhadap “kontrak” pernikahan ilahi. Namun ini menunjukkan reduksionisme vulgar: bahwa cinta, kesetiaan, dan panggilan suci pernikahan tunduk pada logika genital.

Dengan kata lain, menurut Wright, Yusuf wajib "mengklaim haknya" atas tubuh Maria, karena jika tidak, perkawinan mereka tidak sah. Ironis, karena dalam upaya membela martabat pernikahan, ia justru menyamakannya dengan kontrak pemenuhan biologis, bukan persekutuan spiritual.

Padahal, metafisika Katolik mengajarkan bahwa tubuh manusia adalah sacramentum—tanda misteri ilahi. Seks dalam pernikahan bukanlah kewajiban kategoris, melainkan partisipasi dalam kasih yang bebas dan penuh makna. Tidak adanya hubungan seksual dalam pernikahan Maria dan Yusuf bukanlah cacat, melainkan eksepsi suci yang mendalam karena keduanya diberi peran unik dalam misteri keselamatan.


III. Pernikahan dalam Terang Inkarnasi: Bukan Sekadar Konsumasi

Dogma Perpetual Virginity bukanlah warisan dari teks apokrif semata sebagaimana dituduhkan. Ia lahir dari kontemplasi mendalam Gereja akan misteri Inkarnasi: bahwa Maria adalah Theotokos, Bunda Allah.

Mari kita ulang: Maria mengandung Allah. Ia menjadi Tabut Perjanjian Baru. Jika Uza tewas hanya karena menyentuh tabut lama (2 Sam 6:6-7), apakah layak dikatakan bahwa Yusuf “wajib” bersatu secara seksual dengan Maria demi mempertahankan kesakralan pernikahan?

Di sinilah teologi Protestan gagal memahami convenientia—yaitu kesesuaian teologis dan metafisik antara Maria dan Putranya. Karena Yesus adalah Kudus, rahim-Nya pun kudus. Keperawanan Maria bukanlah pelarian dari seksualitas, tetapi manifestasi tertinggi dari penyerahan total kepada Allah. Tubuhnya menjadi altar pertama bagi Sang Sabda.


IV. Logika Gagal: Ketika “Sampai” Jadi Pembatalan Dogma

Wright dengan tergesa menyimpulkan bahwa kata “tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan” (Mat 1:25) berarti hubungan terjadi sesudahnya. Namun argumen ini adalah bentuk kekeliruan linguistik klasik (equivocation fallacy). Dalam Kitab Suci, kata “hingga” (heΓ³s) tidak selalu menyiratkan perubahan status setelahnya.

Contoh? "Aku akan menyertai kamu sampai akhir zaman" (Mat 28:20)—apakah berarti setelah itu Yesus meninggalkan kita?

Gereja memahami bahwa Matius hanya menegaskan keperawanan Maria pada saat kelahiran Yesus, tanpa komentar lebih lanjut mengenai sesudahnya. Silence in Scripture is not affirmation. Yang menafsirkan sebaliknya, sebenarnya hanya memaksakan eisegesis terhadap teks.


V. Saudara-Saudara Yesus dan Reduksi Keluarga

Argumen tentang “saudara-saudara Yesus” sudah lama dijadikan dalih untuk menyangkal keperawanan Maria. Namun, dalam budaya Semitik, kata “adelphos” mencakup saudara kandung, sepupu, bahkan kerabat yang tinggal serumah.

Apakah Protestan hari ini tidak tahu, atau enggan tahu, bahwa dalam Kitab Suci tidak ada kata khusus untuk “sepupu”? Sama seperti Lot disebut “saudara Abraham” padahal ia keponakan, demikian pula Yakobus, Yudas, Simon disebut “saudara Yesus”, padahal secara tradisi kuno—dan disahkan oleh para Bapa Gereja—mereka adalah anak dari Maria lain (istri Kleopas).


VI. Dogma sebagai Penjaga Misteri, Bukan Pengganti Akal

Wright menuduh dogma Katolik sebagai “jalan pintas untuk menghindari pertanggungjawaban teologis.” Namun yang luput ia pahami adalah bahwa dogma tidak mengganti nalar, tetapi menjaganya dari kesesatan. Dogma tidak dibentuk untuk "melawan Alkitab", tetapi untuk membaca Kitab dalam terang Tradisi dan Akal Budi.

Menuduh dogma sebagai gnostik adalah ironis, sebab justru Protestanisme-lah yang sering terjebak dalam gnostisisme praktis: memisahkan roh dari tubuh, iman dari perbuatan, kasih dari pengorbanan, dan dalam kasus ini, memaksa pernikahan tunduk pada fungsi seksualnya semata.


VII. Penutup: Keperawanan Maria adalah Ikon Injil

Keperawanan Maria yang abadi bukanlah ide gila dari Roma, tetapi buah dari kontemplasi mendalam akan misteri keselamatan. Maria tidak kehilangan apa pun karena tidak bersetubuh. Justru ia menjadi ikon Gereja: murni, tak terbagi, dan berserah total.

Menolak keperawanan Maria dengan alasan "martabat perkawinan" justru menghina dua hal sekaligus: kehormatan Yusuf yang taat, dan kehendak Allah yang suci.

Kalau tubuh Maria terlalu suci untuk suaminya, itu bukan hinaan, melainkan kehormatan: karena tubuh itu telah menjadi tabernakel Inkarnasi. Dalam terang itulah, keperawanan Maria menjadi bukan sekadar keajaiban biologis, tetapi lambang transenden dari sebuah panggilan: menjadi milik Allah seutuhnya.


πŸ”” Catatan Kritis untuk Para Pembaca Protestan:

Jika Anda membaca ini dan merasa “terlalu Romawi,” mungkin itu karena Anda telah terlalu lama percaya bahwa tubuh adalah milik Anda sendiri, bukan milik Tuhan. Tapi Maria tahu lebih baik.

Dan ya, Maria tahu… tapi Protestan tampaknya belum tahu.

 

Rabu, 28 Mei 2025

Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika Klasik

 

BAHAN KULIAH TEOLOGI KRISTOLOGI

Topik: Kenaikan Yesus ke Surga dalam Perspektif Metafisika Klasik


I. PENDAHULUAN

Peristiwa Kenaikan Yesus ke surga (Kis 1:9-11) merupakan bagian integral dari misteri Paska: tidak hanya kebangkitan tubuh-Nya dari kematian, tetapi juga pengangkatan kodrat manusiawi-Nya ke dalam kemuliaan ilahi. Dalam kerangka metafisika klasik—terutama filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas—kenaikan ini tidak boleh direduksi menjadi simbolisme atau alegori, tetapi harus dimengerti sebagai perubahan aktual dalam mode keberadaan Yesus sebagai Tuhan dan manusia.


II. KENAIKAN DAN PERSATUAN HIPOSTATIK

Yesus Kristus adalah satu Pribadi Ilahi (Persona Verbi) yang memiliki dua kodrat—ilahi dan manusiawi—yang tidak tercampur namun bersatu secara hipostatik. Ini ditegaskan oleh Konsili Kalcedon (451 M): "unus et idem Filius, Dominus noster Iesus Christus... in duabus naturis, inconfuse, immutabiliter, indivise, inseparabiliter".

Dalam Kenaikan, bukan hanya jiwa atau unsur spiritual Kristus yang naik, melainkan seluruh pribadi-Nya—termasuk tubuh manusiawi yang telah dimuliakan. Tubuh ini bukan lagi tunduk pada hukum ruang-waktu, tetapi telah diubah secara eskatologis (glorificatio corporis).

"Kenaikan bukanlah perpisahan, melainkan transformasi cara kehadiran Kristus dalam dunia dan Gereja." (Paus Benediktus XVI, Homili Kenaikan Tuhan, 2012)


III. PEMBACAAN METAFISIK: DARI AKTUALITAS MENUJU GLORIFIKASI

1. Potensia dan Actus Purus

Menurut St. Thomas Aquinas, hanya Tuhan yang adalah actus purus (aktualitas murni), tanpa potensi yang belum terwujud. Kodrat manusiawi Kristus, meski sempurna, tetap berada dalam keadaan potensial dalam sejarah (bisa menderita, bisa mati, bisa dibatasi).

Melalui Kebangkitan dan Kenaikan, potensi tubuh manusiawi ini diwujudkan sepenuhnya: tidak lagi dapat binasa, tidak lagi terbatas, dan kini berpartisipasi dalam kemuliaan ilahi. Ini sejalan dengan Summa Theologiae III, q.57 yang menegaskan bahwa Kenaikan adalah tindakan kehendak Kristus dalam tubuh yang telah dimuliakan.

2. Mode Keberadaan yang Baru

Dalam terminologi metafisika, kita bisa membedakan antara esse naturale (cara keberadaan alamiah) dan esse gloriosum (cara keberadaan dalam kemuliaan). Kenaikan menandai transisi dari esse naturale menuju esse gloriosum, tanpa menghilangkan kodrat manusiawi-Nya.


IV. KONSEKUENSI TEOLOGIS DAN ESKATOLOGIS

1. Meneguhkan Nilai Tubuh

Kenaikan menyangkal segala bentuk dualisme atau gnostisisme yang meremehkan tubuh. Tubuh manusia—yang sebelumnya sarana penderitaan—sekarang menjadi sarana partisipasi penuh dalam realitas ilahi.

"Tubuh manusia dalam Kristus kini berada dalam Allah dan karena itu berada di mana saja Allah hadir." (Joseph Ratzinger, Jesus of Nazareth: Holy Week)

2. Kehadiran yang Transenden

Kristus tidak lagi hadir secara lokal seperti dalam kehidupan duniawinya, tetapi secara sakramental dan transenden. Ia hadir secara substansial dalam Ekaristi, secara spiritual dalam Gereja, dan secara providensial dalam sejarah.

"Dengan duduk di sebelah kanan Bapa, Kristus tidak meninggalkan ciptaan, tetapi menjadi Penjaga dan Pengantara abadi bagi umat manusia." (Katekhismus Gereja Katolik, no. 665–667)

3. Janji Eskatologis bagi Umat Manusia

Kenaikan adalah prototypon bagi kebangkitan dan pemuliaan umat manusia. Apa yang terjadi pada Kristus akan terjadi juga pada umat-Nya (lih. 1Kor 15:20-23). Ini mengandung harapan bahwa keseluruhan eksistensi manusia—tubuh dan jiwa—ditujukan untuk hidup kekal dalam Allah.


V. KESIMPULAN

Kenaikan Kristus adalah realitas metafisik dan historis yang menegaskan persatuan antara Allah dan manusia. Dalam peristiwa ini, kodrat manusia tidak dihancurkan, melainkan dimuliakan. Melalui lensa metafisika klasik, kita memahami bahwa yang naik bukan sekadar roh atau simbol, melainkan pribadi Kristus secara utuh—sebagai jaminan bahwa keselamatan bersifat total, mencakup tubuh dan jiwa dalam kesatuan eksistensial.

"Ubi caput, ibi membra: Dimana Kepala berada, di sana pula tubuh akan berada." — St. Leo Agung


Referensi Tambahan:

  • Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q.57-59
  • Katekismus Gereja Katolik, no. 659–667
  • Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity
  • Konsili Kalcedon (451 M), Definisi Iman

 

Senin, 26 Mei 2025

MENGAPA GEREJA KATOLIK TIDAK BISA SALAH, TAPI GEREJA-GEREJA PROTESTAN PASTI DAN MESTI SALAH

 

Rule no 1 Gereja Katolik tidak bisa salah, rule no. 2 Kalau Gereja Katolik salah lihat Rule no. 1

Untuk menjelaskan mengapa Gereja Katolik, yakni Gereja Kristus, tidak bisa salah, kita perlu masuk ke dalam dua jalur analisis: logika dan metafisika. Keduanya saling melengkapi: logika menegaskan konsistensi internal, sementara metafisika menyelidiki dasar realitas yang menopang keberadaan Gereja itu sendiri.

 

I. PENDEKATAN LOGIS: Argumen dari Konsistensi dan Otoritas

1. Premis Teologis: Kristus adalah Kebenaran

“Akulah jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 14:6)

Jika Kristus adalah kebenaran, dan Ia mendirikan suatu Gereja, maka mustahil Ia mendirikan Gereja yang dapat mengajarkan kesesatan, karena itu bertentangan dengan kodrat-Nya sendiri sebagai Kebenaran.

2. Premis Historis: Gereja Didirikan Kristus

“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)

Kristus secara eksplisit mendirikan Gereja. Maka, jika Gereja itu bisa salah dalam hal iman dan moral, maka seluruh misi penyelamatan Kristus menjadi relatif, sebab tidak ada jaminan bahwa kebenaran akan sampai ke setiap generasi.

3. Premis Logis: Otoritas Ilahi Harus Tak Mungkin Salah (Infallible)

Kalau Gereja bisa salah, maka:

  • Kita tidak bisa yakin akan kebenaran mana pun yang diajarkan Gereja.
  • Maka, iman menjadi problem subjektif—tergantung selera, akal budi, atau teks.
  • Tetapi jika iman adalah jawaban atas pewahyuan objektif, maka pewahyuan itu memerlukan penafsir yang tak mungkin salah (infallible).

πŸ“Œ Incoherency Alert: Jika Gereja bisa salah, maka otoritasnya hilang. Tetapi tanpa otoritas Gereja, tidak ada dasar obyektif untuk menentukan mana Kitab Suci, mana doktrin sejati, bahkan mana Kristus. Maka, Protestanisme yang menolak infalibilitas Gereja, secara logis menolak landasan iman itu sendiri—ironisnya sambil mengklaim iman yang "murni".

 

II. PENDEKATAN METAFISIKA: Natur Gereja sebagai Tubuh Mistis Kristus

1. Gereja sebagai Corpus Christi Mysticum

Menurut St. Paulus, “Gereja adalah tubuh Kristus” (lih. 1 Kor 12:27; Ef 1:23). Tubuh itu bukan metafora kosong—ia adalah realitas ontologis.

Maka jika Kristus adalah Kepala, dan Gereja adalah tubuh-Nya, maka tubuh itu:

  • Mengalirkan kehidupan ilahi (gratia) dari Kepala,
  • Bersatu secara substansial dengan Kristus melalui Roh Kudus,
  • Tidak mungkin bertentangan dengan Kepala-nya (yakni mengajarkan doktrin yang salah).

πŸ‘‰ Konsekuensi metafisis: Jika Gereja salah mengajar, maka berarti Kristus sendiri—Kebenaran itu—bersalah. Ini absurd dan blasfem.

2. Gereja Sebagai Instrumentum Universale Salutis

Gereja adalah alat universal keselamatan. Dalam metafisika Aristotelian-Thomistik, alat (instrumentum) tidak bisa beroperasi menyimpang dari tujuannya selama dikendalikan langsung oleh agen utama (di sini: Kristus dan Roh Kudus).

Maka, selama Kristus tetap sebagai kepala Gereja (dan ini dogma iman), tidak mungkin instrumen ini menyesatkan.

πŸ“Œ Kalau Gereja dapat salah secara ajaran, maka keselamatan menjadi problem epistemik dan ontologis: siapa yang tahu apa yang benar?

3. Metafisika Sakramental: Kehadiran Ilahi dalam Gereja

  • Gereja bukan sekadar perkumpulan sosial atau teologis.
  • Ia memiliki struktur ontologis: sakramental, hierarkis, dan rohani.
  • Sakramen, terutama Ekaristi, tidak mungkin ada tanpa Gereja yang sah dan tidak bisa salah, sebab Ekaristi menyatakan Kristus sendiri secara real.

Kesimpulan metafisis: Gereja Katolik tidak mungkin salah karena menjadi partisipasi langsung dalam Logos yang ilahi, bukan karena kekuatan manusiawi atau sejarah, tetapi karena realitas supernatural yang mendasarinya.

 

 

III. KESIMPULAN

Secara logika: Gereja yang didirikan oleh Kebenaran (Kristus) harus bebas dari kesalahan dalam pengajaran iman dan moral.

Secara metafisika: Gereja sebagai Tubuh Kristus, sebagai alat keselamatan, dan sebagai realitas sakramental, secara ontologis tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran ilahi yang menghidupinya.

Maka, Gereja Katolik—dan hanya Gereja Katolik—tidak bisa salah dalam ajaran iman dan moral karena ia adalah manifestasi konkret dari kehadiran Logos dalam sejarah. Menyangkal hal ini berarti:

menyangkal bahwa kebenaran bisa dikenal,
menyangkal bahwa wahyu bisa dijaga,
dan pada akhirnya, menyangkal bahwa Kristus sungguh hadir sebagai Tuhan dan Guru umat manusia.

 

Berikut adalah elaborasi logis dan metafisis yang menegaskan bahwa yang bisa salah justru adalah gereja-gereja Protestan, dan mengapa mereka memang mesti salah:

 

πŸ›‘ I. GEREJA-GEREJA PROTESTAN BISA DAN TELAH SALAH: PENEGASAN LOGIS

1. Mereka Menolak Otoritas yang Menjamin Kebenaran

Protestan menolak Magisterium Gereja (otoritas ajaran yang tak mungkin salah) dan menggantikannya dengan:

  • Interpretasi pribadi (private judgment)
  • Fragmentasi denominasi
  • "Sola Scriptura" yang justru tidak ada di dalam Kitab Suci

🧠 Konsekuensi logis:
Jika setiap orang bebas menafsirkan, maka kebenaran menjadi relativistik. Maka, yang benar bukanlah apa yang diajarkan oleh Tuhan, tapi apa yang saya rasa Tuhan ajarkan. Ini bukan iman—ini opini religius.

πŸ“Œ Hasil riil: > Lebih dari 40.000 denominasi Protestan di dunia, semuanya mengklaim Roh Kudus, semuanya bertolak belakang dalam ajaran.

Pertanyaan sederhana: Kalau semuanya Roh Kudus yang memimpin, lalu Roh Kudus bingung sendiri?

 

2. Mereka Berdiri di Atas Dasar yang Bisa Runtuh

Gereja Katolik berdiri di atas otoritas Kristus yang dijamin tak mungkin salah, melalui:

  • Tradisi Suci
  • Magisterium
  • Kitab Suci yang ditentukan oleh Gereja

Sementara Protestan berdiri di atas:

  • Kitab Suci (yang mereka terima dari Gereja Katolik)
  • Penafsiran manusia yang tidak dijamin Roh Kudus
  • Doktrin buatan Reformator

πŸ“Œ Sarkasme logis: Protestan itu seperti anak yang mewarisi rumah dari ayahnya, lalu mengusir ayahnya dan mengklaim bahwa rumah itu asli milik sendiri.

 

🧩 II. PENDEKATAN METAFISIKA: GEREJA PROTESTAN TIDAK BERPARTISIPASI DALAM KEPALA YANG SATU

1. Inkonsistensi Ontologis

Gereja adalah tubuh dari satu kepala: Kristus (Ef 1:22–23). Tubuh yang banyak kepala atau kepala yang banyak tubuh adalah abnormalitas ontologis.

Namun Protestan justru mewujudkan:

  • Banyak kepala: Calvin, Luther, Zwingli, Wesley, Ellen White, dll.
  • Banyak tubuh: Baptist, Lutheran, Advent, Pentakosta, dll.
  • Tak ada satu tubuh mistik universal: hanya federasi manusiawi

🧠 Maka secara metafisis, Protestan bukan tubuh, tetapi fraksi biologis terpisah yang memutus diri dari sumber kehidupan.

 

2. Roh Kudus Tidak Bisa Bertentangan Dengan Diri-Nya

Jika satu gereja Protestan berkata “Baptisan bayi itu sah,” dan gereja Protestan lain berkata “baptisan bayi itu setan,” lalu keduanya mengklaim Roh Kudus—ini mustahil.

Roh Kudus tidak bisa bertentangan dengan Diri-Nya sendiri.

Jadi yang salah siapa? Keduanya? Ya, kemungkinan besar ya.

πŸ“Œ Ironi metafisik: Gereja Protestan tidak didirikan oleh Kristus. Ia lahir 1500 tahun kemudian, dari pembangkangan teologis dan politis. Maka, ia tidak memiliki “ontologi ilahi,” melainkan hanya konstruksi manusiawi.

 

🧨 III. KESIMPULAN TEGAS DAN RINGKAS:

Gereja Katolik tidak bisa salah

Karena ia dijamin oleh Kristus dan Roh Kudus secara logis dan metafisis

Gereja-gereja Protestan pasti bisa salah

Karena:

  • Berdiri di atas interpretasi pribadi yang tidak dijamin kebenarannya
  • Tidak memiliki otoritas objektif
  • Bertentangan satu sama lain
  • Tidak memiliki kontinuitas ontologis dengan Tubuh Kristus

Jadi kalau Anda mencari kebenaran yang tak bisa salah, Anda tidak akan menemukannya di antara gereja-gereja Protestan yang saling membantah satu sama lain, tapi hanya dalam Gereja Katolik, satu-satunya yang berdiri di atas batu karang Petrus.

#GerejaKatolik #ApologetikaKatolik #ProtestanSalah #SolaScripturaGagal #TubuhKristus #GerejaTakBisaSalah #KatolikSejati #FilsafatKatolik #KebenaranSatu #KristusTidakBingung #GerejaKristus #LogikaIman #MetafisikaIman

 

Misteri Barnabas: Injil yang Tak Diakui Siapa-Siapa Tapi Dibelai Islamis

Ada siaran YouTube berjudul “Injil Barnabas Bukan Karangan Muslim” oleh Ustaz Ahmad Kainama di kanal Ayasofya. Secara umum, video ini berupaya membela otentisitas Injil Barnabas sebagai “nubuatan” kenabian Muhammad dan menyerang kredibilitas Kitab Suci Kristen, khususnya Perjanjian Baru. Di balik retorika populis dan tendensiusnya, ada sejumlah klaim historis dan teologis yang bermasalah secara serius.

Berikut tanggapan dari perspektif Katolik, baik secara sejarah, teologi, maupun logika, terhadap klaim-klaim utama dalam dokumen tersebut:

 

πŸ”₯ 1. Klaim bahwa Injil Barnabas bukan karangan Muslim

Fakta Historis:

  • Injil Barnabas tidak dikenal dalam tradisi Kristen awal maupun dalam daftar kanon apapun yang sah, termasuk Dekretum Gelasianum (492-496).
  • Teks Injil Barnabas baru muncul dalam sejarah paling awal pada abad ke-16 dalam bahasa Italia dan Spanyol, yang merupakan periode pasca-Islamisasi Andalusia dan interaksi panjang dengan dunia Muslim.
  • Teks ini mengandung banyak kesalahan anakronistik: misalnya menyebut “tong minyak” di Galilea, sistem feodalisme, dan penggunaan istilah “perak dinar”, yang tidak ada pada zaman Yesus.
  • Teks tersebut secara teologis sangat selaras dengan doktrin Islam, termasuk: Yesus tidak disalib, Muhammad adalah Mesias sejati, dan Trinitas ditolak — semua ini bertentangan total dengan iman Kristen apostolik sejak awal.

Salah Paham Kainama:

  • Ia menyamakan surat Barnabas (yang memang dikenal dalam tulisan Bapa Gereja seperti Klemen dan Origen) dengan Injil Barnabas — padahal keduanya adalah dokumen yang berbeda secara radikal.
  • Surat Barnabas ditulis sekitar abad ke-1/2, mengandung pemahaman Kristen awal yang ortodoks (meskipun tidak masuk kanon). Sedangkan Injil Barnabas adalah dokumen rekayasa berisi doktrin Islamisasi terhadap Yesus.

 

πŸ”₯ 2. Klaim bahwa Injil Barnabas lebih tua dari Islam karena disebut dalam Decretum Gelasianum

Fakta:

  • Yang disebut dalam Decretum Gelasianum adalah "Epistula Barnabae" (Surat Barnabas), bukan “Evangelium Barnabae” (Injil Barnabas). Ini adalah kebingungan fatal antara dua dokumen yang sangat berbeda.
  • Epistula Barnabae adalah teks non-kanonik Kristen abad ke-2, tidak dikenal di kalangan Muslim dan tidak pernah berisi ajaran Islam atau menyebut Muhammad.
  • Adapun Injil Barnabas yang memuat nama Muhammad dan menyangkal penyaliban baru ditemukan dalam bentuk manuskrip bahasa Italia di tangan komunitas Muslim abad ke-16-17.

 

πŸ”₯ 3. Klaim bahwa kitab Barnabas membuktikan Islam lebih asli dari Kekristenan

Inkoheren secara logis dan historis:

  • Jika Barnabas (sahabat Paulus) benar-benar menulis kitab ini dan menyatakan Yesus bukan Tuhan, maka mengapa tidak ada satu pun Bapa Gereja awal yang menyitir ajaran semacam ini?
  • Mengapa teks ini tidak pernah disebutkan dalam Konsili Ekumenis awal, bahkan oleh para heretik?
  • Gereja Katolik telah memiliki kriteria kanonisitas sejak awal: apostolisitas, kesesuaian doktrin, dan penggunaan liturgis. Injil Barnabas tidak memenuhi ketiganya.

 

πŸ”₯ 4. Klaim bahwa Kekristenan kacau karena ada dua versi Alkitab (73 vs 66 kitab)

Penjelasan Katolik:

  • Kanon 73 kitab sudah ditegaskan sejak Konsili Hippo (393) dan Kartago (397) serta dikonfirmasi kembali oleh Konsili Trente (1546).
  • Versi 66 kitab milik Protestan adalah hasil penghapusan sepihak oleh Martin Luther terhadap kitab-kitab Deuterokanonika yang digunakan Yesus dan para Rasul dalam Septuaginta (terjemahan Yunani PL).
  • Adanya perbedaan bukan bukti “kekacauan”, tetapi mencerminkan perpecahan paska Reformasi, bukan sejak zaman awal Gereja.

 

πŸ”₯ 5. Klaim bahwa Al-Qur’an satu-satunya wahyu tanpa keraguan dan umat Islam tidak perlu "mengais-ngais" ke kitab lain

Kontradiksi Internal Islam:

  • Jika Islam tidak perlu "mengais-ngais", mengapa harus merujuk ke Injil Barnabas yang sangat problematik dan tidak diakui bahkan oleh Gereja manapun?
  • Jika Injil Barnabas diklaim sebagai bukti kenabian Muhammad, maka umat Islam justru sedang mengandalkan teks luar (yang inkonsisten) untuk membenarkan wahyu mereka sendiri.

 

πŸ’₯ Simpulan Apologetik Katolik:

Injil Barnabas bukanlah teks Kristen kuno, melainkan propaganda sinkretis pasca-Islam yang menciptakan “Yesus versi Qur’ani.”

Klaim Kainama sangat ceroboh secara historis, membingungkan dokumen yang berbeda (surat vs injil), dan tidak sanggup memahami prinsip kanonisasi dalam Gereja Katolik. Ironisnya, dalam upaya membuktikan Muhammad dalam Injil, ia justru memperkuat argumen bahwa Islam membutuhkan legitimasi dari Kekristenan. Sayangnya, yang dijadikan acuan bukan Injil yang sahih dan historis, tapi dokumen pseudo-historis yang bahkan para sarjana Muslim sendiri seperti Yusuf al-Qaradawi dan Jamal Badawi anggap tidak otentik.

 

Minggu, 18 Mei 2025

Paus Baru dan Bunda Maria dari Pompeii — Warisan Devosi dan Harapan Gereja

 

1. Peristiwa Penting: Terpilihnya Paus Leo XIV pada Pesta Maria dari Pompeii

Pada 8 Mei 2025, Gereja Katolik menerima Paus baru, Paus Leo XIV, tepat pada Pesta Bunda Maria dari Rosario di Pompeii. Dalam pidato pertamanya, beliau tidak hanya menyampaikan salam damai dari Kristus yang bangkit, tetapi juga secara langsung mengundang umat untuk berdoa Salam Maria bersama, secara eksplisit menyebut Maria dari Pompeii. Tindakan ini bukan sekadar simbolis, tetapi mencerminkan sebuah arah rohani dan misi pembaruan yang berakar pada sejarah Gereja.

 

2. Maria dari Pompeii: Devosi yang Membangkitkan Iman

Devosi ini dimulai melalui Bartolo Longo, seorang mantan pengacara yang pernah terjerat dalam dunia okultisme, namun mengalami pertobatan dan menemukan panggilannya dalam menyebarkan doa Rosario. Di Lembah Pompeii, ia membangun kembali iman umat yang sudah lama memudar dengan mengajak mereka berdoa Rosario, terutama dengan bantuan lukisan tua Maria dari Rosario yang menjadi pusat devosi. Munculnya berbagai mukjizat menyuburkan kepercayaan umat, dan akhirnya dibangunlah Basilika Maria dari Rosario di Pompeii, yang menjadi pusat peziarahan.

 

3. Paus Leo XIII: Bapa Rosario dan Dukungan terhadap Pompeii

Paus Leo XIII (menjabat 1878–1903) adalah tokoh kunci dalam mendukung dan mengafirmasi devosi ini secara resmi. Beliau:

  • Menyebut Bartolo Longo sebagai “Manusia Rosario”.
  • Menulis sebelas ensiklik tentang Rosario, mendorong umat untuk menjadikan Rosario sebagai senjata rohani dalam menghadapi modernisme dan krisis iman.
  • Meresmikan gereja di Pompeii dan mengangkat devosi ini ke tingkat universal.

Dengan demikian, nama “Leo” yang kini digunakan oleh Paus Leo XIV menjadi gema rohani dari Paus Leo XIII, sebagai tanda kontinuitas dalam semangat doa dan pembaruan melalui Maria.

 

4. Paus Fransiskus dan Maria dari Pompeii: Devosi yang Hidup di Zaman Modern

Paus Fransiskus secara pribadi menunjukkan kedekatan dengan devosi ini. Pada 2015, ia mengutus Delegasi Kepausan untuk memimpin doa Rosario di Basilika Pompeii, dan menyampaikan pesan spiritual bahwa "Maria adalah Bunda yang tidak pernah meninggalkan kita". Ia menekankan pentingnya devosi sederhana seperti Rosario dalam membangun iman keluarga dan Gereja.

Devosi kepada Maria dari Pompeii di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus memperlihatkan kesederhanaan yang kuat, spiritualitas pertobatan, dan kasih sayang Gereja kepada umat kecil dan lemah.

 

5. Paus Leo XIV: Harapan Baru, Akar yang Dalam

Dengan menyebut Maria dari Pompeii dalam pidato pertamanya, Paus Leo XIV mengangkat kembali semangat pembaruan melalui doa dan pertobatan pribadi, sekaligus mengajak seluruh Gereja untuk melihat Maria bukan hanya sebagai sosok penuh kasih, tetapi sebagai Ratu Rosario yang menuntun pada pertobatan dan kedamaian.

Sebagaimana Bartolo Longo dan Paus Leo XIII pernah menunjukkan kekuatan devosi dalam zaman krisis, Paus Leo XIV kini mengajak kita untuk kembali ke sumber kekuatan Gereja: doa dan devosi yang sungguh-sungguh kepada Maria.

 

6. Aplikasi Kateketis untuk Umat

  • Mengenal kembali Rosario: Pelajari kembali struktur dan makna Rosario sebagai doa Kristologis.
  • Meneladani Bartolo Longo: Pengampunan dan pertobatan tidak hanya mungkin, tapi dapat menghasilkan buah pelayanan luar biasa.
  • Melihat kepemimpinan Gereja secara rohani: Nama dan simbol Paus bukan sekadar administratif, tetapi punya makna spiritual yang berakar dalam sejarah keselamatan.
  • Menghormati peran Maria dalam sejarah Gereja: Dari Pompeii ke Vatikan, dari pribadi ke komunitas, Maria hadir sebagai penolong dalam membangun persekutuan.

 

Penutup

Pesta Maria dari Pompeii, Paus Leo XIII, Paus Fransiskus, dan kini Paus Leo XIV—semuanya terhubung dalam benang merah rohani: Rosario, pertobatan, dan misi Gereja untuk membangun perdamaian dan iman dalam dunia yang gersang secara spiritual. Mari kita tanggapi ajakan ini dengan membuka hati bagi Maria, yang selalu menunjuk kita kepada Kristus.

 

Senin, 12 Mei 2025

Doa Bersama Para Kudus: Kesaksian Gereja Perdana dan Ajaran Katolik

Salah satu keberatan yang sering diajukan oleh saudara-saudari kita dari kalangan Protestan terhadap iman Katolik adalah praktik memohon doa dari para kudus dan malaikat. Mereka mempertanyakan: Mengapa orang Kristen perlu berdoa kepada orang-orang yang telah meninggal dunia? Apakah ini tidak bertentangan dengan iman kepada Kristus sebagai satu-satunya Pengantara?

Namun, ajaran Gereja Katolik tidak berdiri di luar Kitab Suci dan Tradisi, melainkan justru berakar kuat pada keduanya. Dalam Mazmur, umat beriman diajak untuk memuji Tuhan bersama para malaikat dan bala tentara surgawi:

“Pujilah Tuhan, hai para malaikat-malaikat-Nya, hai orang-orang perkasa yang melakukan firman-Nya... Pujilah Tuhan, semua bala tentara-Nya...” (Mzm. 103:20–21)
“Pujilah Dia, semua malaikat-Nya, pujilah Dia, semua bala tentara-Nya!” (Mzm. 148:2)

Dalam Kitab Wahyu, kita melihat bahwa mereka yang telah dimuliakan di surga tidak hanya menyembah Tuhan, tetapi juga mempersembahkan doa-doa umat Allah:

“...masing-masing memegang kecapi dan cawan emas penuh dengan dupa, yaitu doa orang-orang kudus.” (Why. 5:8)
“Dan asap dupa naik dengan doa-doa orang-orang kudus dari tangan malaikat di hadapan Allah.” (Why. 8:4)

Ini menunjukkan bahwa doa tidak berhenti di batas kematian. Orang-orang kudus yang kini hidup dalam kemuliaan bersama Kristus, justru semakin sempurna dalam kasih dan kedekatan dengan Allah, dan karena itu doa-doa mereka lebih berdaya guna. Yakobus menulis:

“Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yak. 5:16)

Maka permohonan doa kepada para kudus bukanlah pengganti Yesus Kristus, Pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia (1 Tim. 2:5), tetapi merupakan wujud nyata dari persekutuan para kudus — satu tubuh Kristus yang tidak terpisahkan oleh kematian. Sebagaimana kita tidak ragu meminta doa dari sesama umat di bumi, demikian pula kita percaya bahwa para kudus di surga dapat dan mau berdoa bagi kita, karena kasih Allah yang telah menyempurnakan mereka.

Para Bapa Gereja perdana mengakui hal ini secara terbuka. Mereka tidak hanya menerima ajaran Alkitab tentang syafaat para kudus, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan spiritual mereka:

Klemens dari Aleksandria (208 M):
“Ia berdoa dalam persekutuan para malaikat... dan meskipun ia berdoa sendirian, ia memiliki koor para kudus berdiri bersamanya dalam doa.” (Miscellanies 7:12)

Origenes (233 M):
“Bukan hanya Imam Besar (Kristus) yang berdoa bagi mereka yang berdoa dengan tulus, tetapi juga para malaikat... dan juga jiwa para kudus yang telah wafat.” (Prayer 11)

Siprianus dari Kartago (253 M):
“Marilah kita selalu berdoa satu sama lain, di kedua sisi kematian.” (Surat 56)

Yohanes Krisostomus (392 M):
“Orang yang memakai mahkota raja... memohon kepada para kudus agar menjadi pelindungnya di hadapan Allah.” (Homili atas 2 Korintus 26)

Agustinus dari Hippo (400–416 M):
“Umat Kristen merayakan peringatan para martir agar mereka dibantu oleh doa-doa para martir.” (Melawan Faustus; Homili atas Yohanes 84)

Ajaran ini juga terangkum dalam liturgi kudus, seperti dalam Liturgi St. Basil (373 M):

“Dengan perintah Putra-Mu yang tunggal, kami bersekutu dengan kenangan para kudus-Mu... melalui doa dan permohonan mereka, kasihanilah kami semua.”

Semua ini menjadi bukti historis bahwa sejak awal, Gereja mengimani bahwa para kudus berdoa bersama dan bagi kita. Keyakinan ini bukan devosi pribadi yang terlambat muncul, tetapi bagian integral dari spiritualitas dan liturgi Kristen perdana.

 

Untuk Saudara-saudari Seiman

Kami mengajak umat Kristen dari berbagai denominasi untuk merenungkan realitas spiritual ini dalam terang kasih Kristus yang menyatukan seluruh umat tebusan — baik yang masih berziarah di bumi maupun yang telah dimuliakan. Doa bersama para kudus bukanlah bentuk pemisahan dari Kristus, melainkan ekspresi terdalam dari tubuh Kristus yang satu dan tidak terpecah. Ia, Sang Kepala, menghidupkan semua anggotanya — dan melalui Dia, kita saling menopang dalam doa.

Semoga dengan roh kerendahan hati dan cinta kasih yang mempersatukan, kita semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, dengan menyatukan suara dalam litani surgawi: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah semesta alam.”

 

Landasan FIlosofis dan Teologis Communio Sanctorum

berikut ini adalah elaborasi mendalam mengenai asumsi, logika, dan metafisika yang mendasari ajaran Katolik tentang persekutuan para kudus, terutama dalam kaitannya dengan doa bersama dan permohonan doa kepada para kudus, sebagaimana dikembangkan dalam teologi Katolik dan diwarisi dari Tradisi Gereja purba.

 

🧭 1. Asumsi Dasar: Realitas Tubuh Mistik Kristus yang Tak Terbagi oleh Kematian

Ajaran Katolik tentang persekutuan para kudus berakar pada keyakinan fundamental bahwa Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus (Corpus Mysticum). Dalam tubuh ini, semua yang dibaptis — baik yang masih hidup di dunia (Ecclesia militans), yang disucikan di api pemurnian (Ecclesia patiens), maupun yang telah dimuliakan di surga (Ecclesia triumphans) — tetap bersatu sebagai satu komunio:

"Karena kita, sekalipun banyak orang, adalah satu tubuh di dalam Kristus" (Rm 12:5)

Asumsi ini membentuk dasar spiritual dan ontologis bahwa tidak ada pemisahan mutlak antara hidup dan mati di dalam Kristus, sebab:

  • Kehidupan kekal bukan sekadar keadaan masa depan, tetapi realitas rohani yang sudah dimulai sejak baptisan (lih. Yoh 5:24).
  • Kematian jasmani bukanlah akhir dari komunikasi antara anggota tubuh Kristus.

 

🧠 2. Logika Teologis: Relasi Kasih Tidak Terhenti oleh Kematian

Logika internal dari ajaran ini berpijak pada dua gagasan utama:

a. Kasih sebagai ikatan antaranggota tubuh Kristus

Dalam kasih yang menyatukan, orang percaya saling menopang — termasuk melalui doa dan syafaat. Jika kasih itu tetap hidup setelah kematian (karena kasih tidak berkesudahan, 1 Kor 13:8), maka persekutuan dalam doa juga tetap berlanjut.

“Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita.” (1 Kor 12:26)

b. Doa tidak dibatasi oleh ruang dan waktu

Doa adalah tindakan spiritual, bukan sekadar verbal. Maka syafaat dapat melampaui batas dunia fisik, termasuk antara yang hidup dan yang telah meninggal. Orang-orang kudus yang telah dimuliakan tidak menjadi pasif, tetapi justru lebih hidup dan lebih bersatu dengan kehendak Allah, sehingga doa-doa mereka menjadi lebih manjur.

 

πŸ” 3. Metafisika: Realitas Transendental dari Komunio Sanctorum

Dari sisi metafisika, ajaran tentang persekutuan para kudus bergantung pada pemahaman akan ontologi jiwa, waktu, dan keberadaan dalam Kristus:

a. Keberadaan jiwa tidak hilang dalam kematian

Gereja mengajarkan bahwa jiwa manusia bersifat immaterial dan kekal. Maka para kudus tetap eksis secara personal dan sadar, bukan lenyap ke dalam ketidakadaan.

b. Waktu dalam kekekalan

Para kudus yang telah masuk dalam “aionios” — dimensi kekekalan Allah — tidak lagi dibatasi oleh waktu kronologis seperti kita. Mereka berada dalam “kairos”, waktu Allah, sehingga dapat berdoa bagi kita yang masih dalam waktu duniawi.

c. Kehadiran dalam Kristus sebagai dasar komunikasi spiritual

Dalam realitas spiritual, seluruh umat tebusan bersatu dalam Kristus yang adalah “satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia” (1 Tim 2:5). Tetapi pengantaraan ini tidak menutup pengantaraan partisipatif, di mana para kudus menjadi alat dalam pengantaraan Kristus, bukan pesaing-Nya.

Analogi: Seperti sinar matahari yang menyinari segala sesuatu melalui kaca jendela, demikian pula rahmat Kristus menjangkau kita melalui doa para kudus, yang telah sepenuhnya bersatu dengan-Nya.

 

✝️ 4. Dimensi Kristologis dan Eklesiologis

a. Kristologi: Kristus sebagai Kepala

Segala doa dan syafaat para kudus mengalir dari persatuan mereka dengan Kristus sebagai Kepala. Mereka tidak memiliki kuasa atas nama diri sendiri, tetapi sebagai bagian dari tubuh-Nya yang telah dimuliakan.

b. Eklesiologi: Gereja sebagai komunio kasih

Gereja bukan sekadar organisasi, melainkan “komunio kasih” yang menyatukan seluruh umat dalam satu relasi Trinitaris. Karena itu, persekutuan doa tidak terbatas pada umat di dunia, tetapi juga mereka yang telah menyelesaikan perjalanan iman.

 

πŸ’¬ Penutup: Apologetik dalam Dialog Ekumenis

Dalam dialog ekumenis, penting untuk menekankan bahwa permohonan doa kepada para kudus bukanlah penyembahan (latreia), melainkan bentuk penghormatan (dulia) dan permohonan kasih. Sama seperti kita dengan wajar meminta saudara seiman untuk mendoakan kita, demikian pula kita percaya bahwa para kudus di surga yang telah mencapai kesempurnaan kasih terus peduli dan berdoa bagi kita.

Jadi, iman Katolik tentang persekutuan para kudus adalah penegasan akan kesatuan tubuh Kristus yang melampaui ruang, waktu, dan bahkan kematian — sebuah kesatuan yang dibangun dalam cinta kasih, hidup oleh Roh Kudus, dan dipersatukan dalam Kristus Sang Pengantara tunggal.

Mari kita lihat Keberatan Protestan dan Refutasi Katolik.

Keberatan paling mendasar dari sebagian besar kalangan Protestan terhadap praktik Katolik meminta doa dari para kudus adalah bahwa "hanya ada satu Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Yesus Kristus" (1 Timotius 2:5). Mereka memahami ayat ini sebagai larangan total atas segala bentuk perantaraan spiritual selain Kristus, dan menyamakan permohonan doa kepada para kudus sebagai bentuk "pengantara tandingan" atau bahkan penyembahan kepada makhluk ciptaan.

Refutasi Katolik terhadap keberatan ini dapat ditegaskan secara sistematis dan teologis sebagai berikut:

 

πŸ”₯ REFUTASI INTI: Kristus adalah satu-satunya Pengantara secara absolut dan esensial, tetapi para kudus dapat berperan sebagai pengantara partisipatif dalam tubuh Kristus.

1. Konteks 1 Timotius 2:5 Tidak Menolak Perantaraan Relatif

Surat 1 Timotius 2:1–5 justru memulai dengan perintah agar umat saling mendoakan:

“Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang...” (1 Tim 2:1)

Lalu dalam ayat 5, ditegaskan:

“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”

Ayat ini tidak meniadakan bentuk doa syafaat antarumat, melainkan menegaskan bahwa semua bentuk syafaat dan doa kita — termasuk doa para kudus — hanya berdaya karena bersumber dari dan diterima dalam pengantaraan Kristus.

2. Kitab Suci Menunjukkan Banyak Pengantara Relatif

Alkitab penuh dengan contoh orang beriman yang bertindak sebagai pengantara:

  • Abraham memohon bagi Sodom (Kej. 18:23–33)
  • Musa berdoa bagi Israel yang berdosa (Kel. 32:11–14)
  • Paulus minta didoakan oleh umat (Rm. 15:30; 2 Kor. 1:11)
  • Malaikat dan tua-tua di surga menyampaikan doa-doa umat (Why. 5:8; 8:3–4)

Jika pengantaraan manusia atau malaikat secara umum dilarang, maka semua bentuk doa syafaat antarumat pun menjadi tidak sah — padahal inilah praktik alkitabiah dan eklesial sejak awal.

 

🧠 LOGIKA IMAN: Meminta doa kepada orang kudus = meminta bantuan sesama anggota tubuh Kristus

Dalam tubuh Kristus, semua anggota saling menopang. Maka meminta doa dari para kudus tidak berbeda secara prinsip dari meminta saudara kita di komunitas untuk mendoakan kita.

"Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita..." (1 Kor 12:26)

Perbedaannya hanyalah bahwa para kudus:

  • Sudah disempurnakan dalam kasih
  • Sudah sepenuhnya bersatu dengan kehendak Allah
  • Tidak lagi terbelenggu oleh kelemahan dan dosa

Maka, permohonan doa kepada mereka lebih berdasar pada iman kepada kuasa kasih Allah yang menyatukan Gereja di surga dan di bumi.

 

πŸ›‘️ REFUTASI TERHADAP TUDUHAN PENYEMBAHAN

Tuduhan bahwa doa kepada orang kudus adalah bentuk penyembahan (latreia) kepada makhluk adalah kesalahpahaman terhadap pembedaan teologis yang mapan dalam Gereja Katolik:

  • Latreia = penyembahan sejati yang hanya diberikan kepada Allah
  • Dulia = penghormatan kepada para kudus sebagai hamba Allah
  • Hyperdulia = penghormatan khusus kepada Maria, karena perannya sebagai Bunda Allah

Gereja tidak pernah mengajarkan menyembah orang kudus. Yang kita lakukan adalah memohon doa mereka, sebagaimana kita mohon doa sesama umat.

 

✝️ KESIMPULAN TEOLOGIS:

Praktik memohon doa dari para kudus:

  • tidak bertentangan dengan keunikan Kristus sebagai Pengantara satu-satunya,
  • tidak menggantikan Kristus, melainkan berakar dalam tubuh-Nya, yaitu Gereja,
  • sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi, serta
  • memperdalam makna persekutuan umat beriman lintas dunia dan surga.

Dengan demikian, keberatan Protestan tentang doa kepada orang kudus didasarkan pada pembacaan sempit terhadap teks dan pemahaman yang terputus dari tradisi apostolik. Ajaran Katolik bukan menambahkan pengantara tandingan, tetapi menegaskan kuasa Kristus yang bekerja melalui anggota-anggota tubuh-Nya — baik yang hidup maupun yang telah dimuliakan.

 

Hieronimus, Maria, dan Protestanisme: Sebuah Catatan Sinis untuk Mereka yang Gemar Memilih-Milih

  patris allegro

 

Ketika berbicara tentang ajaran Katolik mengenai Maria, satu hal yang terus-menerus menjadi bahan perdebatan—dan seringkali diperlakukan secara serampangan oleh sebagian Protestan—adalah doktrin keperawanan abadi Maria (perpetua virginitas Mariae). Ajaran ini, yang secara dogmatis ditegaskan oleh Gereja Katolik dan dijaga sejak para Bapa Gereja perdana, mendapat serangan klasik dari Helvidius, seorang penulis abad ke-4 yang mendalilkan bahwa Maria memiliki anak-anak lain selain Yesus.

Namun sayangnya, seperti yang akan kita lihat, roh Helvidius tampaknya berinkarnasi kembali dalam tafsiran Protestan modern, yang dengan penuh semangat memperlakukan ayat-ayat seperti "saudara-saudara Yesus" secara literalistik, seraya menutup mata terhadap warisan interpretatif Gereja perdana.

 

1. Helvidius Hidup Lagi dalam Tafsiran Protestan

Helvidius, sebagaimana dicatat dan dibantah telak oleh St. Hieronimus dalam traktat Contra Helvidium (383 M), berargumen bahwa ayat-ayat Injil seperti Markus 6:3 ("bukankah Ia ini saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?") adalah bukti biologis bahwa Maria memiliki anak-anak lain. Hieronimus, dengan kekuatan filologis dan teologis yang sangat mendalam, membantahnya dengan menunjukkan bahwa istilah “saudara” dalam konteks Semitik tidak harus berarti anak kandung satu ibu. Ia menyatakan secara keras bahwa Helvidius tidak hanya keliru, tetapi juga menghina martabat Bunda Allah yang kudus.

Ironisnya, tafsiran Helvidius ini justru dihidupkan kembali oleh sebagian kalangan Protestan, bukan karena munculnya bukti baru atau temuan arkeologis, melainkan karena adanya pergeseran prinsip hermeneutik sejak masa Reformasi. Para Reformator, dengan semboyan sola Scriptura yang mereka agungkan, memutuskan untuk menafsirkan Kitab Suci secara literalistik, terlepas dari konteks linguistik, budaya, atau tradisi apostolik yang mendahuluinya. Maka tidak heran, bagi mereka, saudara berarti saudara, titik. Bahwa Yesus hidup dalam konteks budaya Yahudi—di mana "saudara" mencakup sepupu, kerabat, bahkan sahabat dekat—diabaikan demi metode bacaan yang tampaknya "ilmiah" tetapi ahistoris.

 

2. Devosi kepada Maria? Itu Masalah, Kata Mereka

Bagian yang lebih menggelikan adalah bahwa sebagian Protestan tidak hanya menolak keperawanan abadi Maria karena alasan eksegesis, tetapi juga karena alergi terhadap devosi. Dalam semangat "kembali kepada Kristus", Maria harus didudukkan kembali sebagai "perempuan biasa", bahkan lebih biasa dari ibu baptis lokal. Devosi kepada Maria dianggap sebagai gangguan terhadap Kristosentrisme, padahal, justru Maria yang paling setia mengatakan, “Lakukanlah apa yang dikatakan-Nya.”

Mereka ingin Yesus tanpa Maria, seakan-akan misteri Inkarnasi bisa terjadi tanpa rahim, dan sejarah keselamatan bisa dijalankan tanpa keterlibatan perempuan yang paling diberkati itu. Ini bukan sekadar penolakan devosi, tapi sebuah bentuk pencabutan akar dari batang pohon keselamatan itu sendiri.

 

3. Hieronimus: Dikutip Bila Cocok, Dibuang Bila Mengganggu

Di sinilah kita sampai pada puncak sinisme akademik. Banyak kalangan Protestan bersedia mengutip St. Hieronimus—tokoh Katolik, penerjemah Alkitab Vulgata, seorang rahib yang taat kepada otoritas paus—hanya ketika kutipan-kutipannya bisa dijadikan alat untuk menolak Deuterokanonika. Ya, mereka senang menyoroti bahwa Hieronimus awalnya ragu terhadap kitab-kitab seperti Tobit, Yudit, atau Makabe.

Namun mereka dengan cermat mengabaikan bahwa Hieronimus kemudian tunduk pada otoritas Gereja, menerjemahkan kitab-kitab itu juga ke dalam Vulgata, dan tidak pernah memisahkan diri dari kesatuan Katolik. Ia bukan pemikir bebas yang memilih-milih dogma; ia adalah seorang putra Gereja yang taat, yang ketika berbeda pandangan, tidak memecah Gereja, tapi patuh dalam iman.

Sungguh menarik—dan agak menjengkelkan—melihat bagaimana figur Katolik seperti Hieronimus bisa diklaim oleh kalangan Protestan secara sepihak, tanpa mau menerima keseluruhan tubuh teologi dan spiritualitasnya. Mereka mengutip Hieronimus ketika sesuai dengan argumen mereka, lalu membuangnya ke dalam lemari relik ketika ia berbicara tentang keperawanan Maria, otoritas paus, atau pentingnya tradisi.

 

4. Keperawanan Maria adalah Dogma, Bukan Ide Pribadi

Bagi Gereja Katolik, keperawanan abadi Maria bukan pendapat spekulatif, melainkan dogma iman yang telah ditegaskan dalam Konsili Lateran (649), diteguhkan kembali dalam Konsili Trente (1545–1563), dan dicantumkan secara eksplisit dalam Katekismus (KGK 499–501). Penolakan terhadap dogma ini bukan sekadar beda tafsir, melainkan penolakan terhadap struktur pewahyuan yang mencakup Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium.

Maka ketika Protestan berkata: “Tidak ada di Alkitab bahwa Maria tetap perawan,” jawabannya sederhana: tidak ada pula di Alkitab bahwa hanya Alkitab yang menjadi sumber iman. Prinsip sola Scriptura sendiri tidak ada dalam Kitab Suci. Jadi, jika mereka ingin konsisten dengan logika mereka sendiri, mereka harus berhenti menyebut Hieronimus, karena pria itu hidup dan mati dalam keyakinan bahwa Gereja adalah tiang penopang kebenaran, bukan teks tertulis belaka.

 

Penutup: Kejujuran Intelektual dan Kepatuhan Iman

Apologi ini bukan ditujukan untuk menyakiti rekan-rekan Protestan yang tulus, melainkan untuk mengajak mereka berhenti bermain-main dengan kutipan dan potongan sejarah, serta mengundang mereka untuk melihat bahwa Gereja Katolik tidak takut terhadap Kitab Suci, tetapi membacanya dalam roh yang sama dengan para Bapa Gereja yang mereka kutip sepotong-sepotong.

"Hieronimus bukan milik kubu yang menjadikan Alkitab senjata polemik, melainkan milik Gereja yang menjadikan Alkitab sebagai sabda hidup dalam kesatuan iman."

 

Minggu, 11 Mei 2025

Martin Luther: Nabi Kebebasan atau Tukang Pecah Belah?

 —Sebuah Otopsi Kritis atas Pengkultusan Seorang Imam yang Memberontak

Martin Luther adalah imam Katolik. Dan anehnya, di mata banyak umat Protestan, itu adalah satu-satunya fakta historis yang tidak perlu dibahas. Yang penting: ia memberontak. Ia menantang Paus. Ia menulis 95 tesis. Ia menjadi semacam “Musa” baru yang membebaskan umat dari "perbudakan Gereja Katolik." Ironis? Tentu. Tapi yang lebih ironis adalah bagaimana tokoh ini—yang semula cuma ingin mereformasi dari dalam—berakhir menjadi simbol revolusi spiritual yang tak ia rancang.

1. Pahlawan yang Tidak Pernah Berniat Menjadi Pahlawan

Luther tidak ingin menciptakan gereja baru. Tapi umat Protestan menciptakan ratusan dari yang ia mulai. Ia hanya ingin dialog akademik. Tapi umat Protestan menyulapnya menjadi ikon perlawanan. Ia percaya akan Sakramen, liturgi, bahkan kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Tapi sebagian besar gereja Protestan hari ini malah mencampakkannya bersama dengan altar.

Kesimpulan sinis pertama: Reformasi dirayakan bukan karena mengikuti Luther, tapi karena menolak apa pun yang bernapas Katolik.

2. Sola Scriptura: Mantra Sakti yang Menjadi Bumerang

Salah satu warisan Luther yang paling diagung-agungkan adalah sola scriptura—Kitab Suci sebagai satu-satunya otoritas iman. Kedengarannya suci dan masuk akal. Tapi ketika diterapkan tanpa filter, hasilnya bukan kebebasan rohani, melainkan tsunami tafsir pribadi.

Hari ini, atas nama Luther, orang bisa menafsirkan Alkitab sesuka hati: satu ayat bisa membenarkan kapitalisme rakus, ayat lain bisa digunakan untuk menjustifikasi perang. Luther bermaksud mengganti otoritas Paus dengan otoritas Firman. Tapi kini, setiap individu menjadi Paus atas tafsirnya sendiri.

Kesimpulan sinis kedua: Dalam membunuh satu paus, Reformasi melahirkan sejuta paus baru—dan semuanya merasa infalibel.

3. Luther Melawan Otoritas, Lalu Mendirikan Otoritas Baru

Luther mengecam Gereja Katolik karena otoritarianisme dogmatis. Tapi dengan segera, ia sendiri menetapkan pengakuan iman baru (Augsburg Confession) dan membangun sistem gereja yang harus tunduk pada otoritas negara. Ia mencerca kurikulum skolastik, tapi lalu memaksakan tafsirnya sendiri sebagai norma.

Bahkan, ketika Zwingli berbeda pendapat dengannya soal Ekaristi, Luther mengutuknya sekeras ia mengutuk Roma. Jadi, reformasi itu untuk siapa?

Kesimpulan sinis ketiga: Luther tidak menyingkirkan dogma; ia hanya menukar dogma lama dengan dogma barunya sendiri.

4. Dari Imam Katolik ke Ikon Pop Protestan

Ironi terbesar adalah bagaimana Protestan modern melupakan bahwa Luther adalah imam Katolik—dididik dalam tradisi Katolik, berakar dalam liturgi Katolik, dan mati tanpa pernah menyangkal seluruh iman Katoliknya. Tapi dalam ingatan publik Protestan, ia dipotong-potong: hanya sisi heroiknya yang dikenang, sisi keimamannya dilenyapkan.

Dan yang lebih gawat: Protestan kontemporer sering kali membenci Katolik lebih keras daripada Luther sendiri. Bahkan Luther—dengan segala retorika pedasnya—masih percaya akan Maria sebagai Bunda Allah dan hormat pada tradisi suci. Tapi Protestan modern lebih suka menyembah "gereja tak berwujud" dan menolak semua yang tidak terlihat di Alkitab.

Kesimpulan sinis keempat: Protestan hari ini menyembah bayang-bayang Luther yang mereka ciptakan sendiri, bukan Luther yang sesungguhnya.


Penutup: Siapa yang Sebenarnya Diselamatkan oleh Luther?

Sejarah tidak bisa dibohongi: Luther membuka pintu perubahan, tapi juga membuka kotak Pandora. Ia adalah imam yang mencari kebenaran, tapi dijadikan bendera oleh mereka yang lebih tertarik pada kebebasan tanpa tanggung jawab.

Luther bukan pahlawan, dan bukan pula penjahat. Tapi ketika ia dipakai sebagai ikon untuk melawan Gereja yang ia sendiri tak pernah ingin tinggalkan, maka yang kita lihat bukan lagi sejarah—melainkan legenda. Dan legenda, seperti semua mitos, bukan untuk dipercaya, tapi untuk dibongkar.

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blog Archive